Banyak Kasus Pencurian Data Pribadi yang Menggantung
Pencurian data pribadi di instansi publik ataupun privat berulang kali terjadi, tetapi banyak yang belum bisa diungkap pelakunya oleh kepolisian. Pengusutan hingga tuntas mendesak karena ini menyangkut keamanan negara.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri diminta menunjukkan komitmen untuk mengusut tuntas pencurian data pribadi penduduk, baik yang terjadi pada instansi publik maupun privat. Sejauh ini, pengusutan kasus-kasus tersebut masih menggantung.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus pencurian data pribadi warga kembali terjadi. Kali ini diduga terjadi pada data nasabah perusahaan asuransi jiwa BRILife. Sebanyak 2 juta data klien BRILife dan 463.000 dokumen dijual di situs forum peretas Raidforums dengan harga 7.000 dollar AS atau sekitar Rp 101 juta dengan asumsi kurs Rp 14.428 per dollar AS.
Berdasarkan investigasi internal BRILife, ditemukan bahwa terdapat pelaku kejahatan siber yang memasuki sistem BRILife Syariah, sistem yang berdiri sendiri terpisah dari sistem inti BRILife. Jumlah data nasabah yang bocor tidak lebih dari 25.000, bukan 2 juta data sebagaimana beredar di dunia maya.
Untuk merespons kebocoran data ini, BRILife berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Adapun menyangkut penegakan hukum, koordinasi juga dilakukan dengan Badan Reserse Kriminal Polri serta Badan Sandi dan Siber Negara.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategi Studies, Bambang Rukminto, mengatakan, pembobolan data pribadi warga yang ada dalam sistem elektronik telah berulang kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah bank swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) juga menjadi sasaran. Akan tetapi, belum pernah ada hasil penyelidikan yang signifikan untuk mengungkap sejumlah kasus tersebut.
Sepanjang 2020-2021, setidaknya Bareskrim Polri menangani dua kasus kebocoran data besar, yakni kebocoran 279 juta data peserta Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan 91 juta data pengguna Tokopedia. Namun, pengusutan kasus yang melibatkan dua institusi tersebut masih menggantung.
Kasus kebocoran data yang telah diungkap salah satunya terkait dengan pemengaruh politik Denny Siregar. Pada Juli 2020, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap seorang pegawai kontrak di Grapari Telkomsel Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, yang membobol data milik Denny Siregar dari Telkomsel. Data yang dicuri diunggah ke media sosial dengan alasan sentimen pribadi.
Bambang mengingatkan, pimpinan Polri harus berkomitmen menuntaskan sejumlah kasus kebocoran data. Sebab, Polri dinilai tidak kekurangan sumber daya untuk mengungkap kebocoran data.
Hal itu penting karena di era informasi, penguasaan data dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis kejahatan lain sekaligus ancaman bagi kepentingan publik. ”Tanpa ada kebijakan kepemimpinan yang tegas, kasus-kasus itu tidak akan selesai. Seahli apa pun penyidik di lapangan, pengambilan keputusan ada pada pimpinan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Selama ini, kata Bambang, penanganan kejahatan siber yang dilakukan oleh Polri masih berfokus pada pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong atau hoaks. Padahal, jenis kejahatan siber tidak hanya itu. Kasus seperti kebocoran data juga mendesak untuk dituntaskan karena menyangkut keamanan negara.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto menegaskan komitmennya pada penuntasan kasus kejahatan siber. Namun, pada tahap awal, pihaknya harus mampu mendudukkan perkara secara jelas.
Terkait dengan pengungkapan kebocoran data, Agus mengaku membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Penyidik harus memanggil sejumlah pihak untuk meminta klarifikasi karena banyak informasi yang harus digali agar tindak pidana dan pelakunya bisa terungkap dengan jelas.
”Memanggil orang untuk klarifikasi, kan, ada tenggat waktunya. Mereka bisa meminta tunda atau tidak hadir. Panggilan kedua juga dengan tenggat waktu, jadi memang butuh waktu,” kata Agus.
Ia menambahkan, hal ini berbeda dengan kasus penyebaran hoaks atau penistaan agama yang dianggap mengandung unsur pemecah belah persatuan bangsa. Dalam kasus tersebut, setelah bukti dan keterangan saksi didapatkan, penyidik akan meminta analisis dari ahli. Saat ini, jumlah ahli yang dapat membantu kerja tersebut cukup banyak sehingga kerja penyidikan pun lebih cepat.
Terkait dengan dugaan kebocoran data nasabah BRI Life, Agus mengatakan, pihaknya tengah melakukan penyelidikan awal mengenai informasi tersebut. Saat ini penyelidikan dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika mengatakan, pihaknya masih mendalami informasi untuk menyimpulkan kebocoran data terjadi di mana dan seperti apa.
”Informasi ini awalnya muncul di media sosial, kemudian diambil media sehingga kami harus dalami terlebih dulu dan berkoordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim,” ujarnya.