Kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang 2020 dinilai belum memuaskan. Hasil riset PSHK menunjukkan, dari 37 RUU yang masuk Prolegnas, hanya 13 RUU yang disahkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan tanggapan pemerintah terkait hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang 2020 dinilai belum memuaskan berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Dari 50 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional 2020 dan kemudian direvisi menjadi 37 RUU, hanya 13 RUU di antaranya yang berhasil disahkan. Sebagian besar RUU itu pun merupakan ratifikasi dan perjanjian internasional, bukan merupakan RUU inisiatif DPR ataupun pemerintah.
Dalam buku Legislasi Masa Pandemi: Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020, yang diluncurkan pada Selasa (27/7/2021) secara daring, PSHK mencatat, tren legislasi DPR yang kurang memuaskan itu ternyata belum juga membaik dibandingkan dengan perode DPR sebelumnya. PSHK mencatat, dalam enam tahun terakhir, penyelesaian target Prolegnas Prioritas tahunan tidak pernah tercapai. Pada 2015, DPR hanya meloloskan tiga RUU menjadi UU dari 40 RUU yang ditargetkan.
Dari 50 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional 2020 dan kemudian direvisi menjadi 37 RUU, hanya 13 RUU di antaranya yang berhasil disahkan.
Tren itu terus berulang pada tahun berikutnya. Pada 2016, DPR hanya mengesahkan 10 RUU dari 50 RUU yang ditargetkan; 2017, hanya 6 RUU dari 52 RUU; 2018, hanya 5 RUU dari 50 RUU; 2019, hanya 14 dari 55 RUU; dan 2020, hanya 3 dari 37 RUU. Penghitungan UU yang disahkan DPR ini mengecualikan UU kumulatif terbuka, yang antara lain berupa kewajiban ratifikasi perjanjian internasional, konvensi internasional, penetapan APBN, penetapan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), pembentukan daerah provinsi atau kota, serta tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam diskusi bertajuk ”Legislasi Masa Pandemi: Sorotan atas Kinerja DPR dalam Satu Tahun Pandemi Covid-19”, peneliti PSHK, Nabila, mengatakan, dengan hanya tiga RUU yang diloloskan oleh DPR (2020), capaian itu sangat minim. Kondisi pandemi Covid-19 diakui memberikan dampak dalam kerja-kerja legislasi DPR. Namun, jika dibandingkan dengan situasi normal, capaian DPR itu pada kenyataannya memang tidak banyak beranjak.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti sidang paripurna di Kompleks Parlmen, Jakarta, Kamis (6/5/2021). Rapat paripurna ini merupakan pembukaan masa persidangan V Tahun Sidang 2020-2021.
Tidak hanya dari segi kuantitas, dari sisi subtansi dan prosedur, PSHK juga memberikan catatan minus pada kinerja legislasi DPR. ”Dari aspek kepatuhan terhadap prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, banyak pelanggaran terhadap prosedur formil pembentukan UU. Salah satunya yang menonjol ialah pembahasan UU Cipta Kerja yang dilakukan di masa reses, di luar jam kerja, dan tidak ada pengambilan suara terbanyak di dalam paripurna. Selain itu, draf juga berubah setelah pengesahan di paripurna dan penggunaan metode omnibus yang juga belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan,” paparnya.
Khusus mengenai UU Cipta Kerja, menurut Nabila, rendahnya partisipasi publik juga patut menjadi catatan bagi DPR. Pembahasan UU yang mengatur sekitar 79 UU lintas sektoral itu pun dipandang terburu-buru sehingga mengabaikan kepentingan berbagai pihak, terutama kelompok buruh. Partisipasi publik yang diharapkan dari pembahasan suatu RUU pun hendaknya tidak semata-mata formalitas.
Secara umum, menurut PSHK, RUU yang disahkan oleh DPR pada 2020 juga bermasalah dari segi subtansi. Hal itu menunjukkan pembentukan UU yang tidak berdasarkan pada kebutuhan mendesak di masyarakat. Sebagai contohnya ialah tidak adanya RUU yang disahkan berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. RUU yang dibahas pun dipandang sekadar merespons kepentingan ekonomi dan politik sebagai dampak dari pandemi.
PSHK juga memberikan catatan atas hilangnya kewenangan pengawasan anggaran DPR dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur Penetapan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Di dalam UU itu, DPR memberikan hak imunitas kepada penyelenggara negara yang melakukan kebijakan anggaran berkaitan dengan penanganan Covid-19. Selain itu, DPR juga merelakan hak penganggaran yang dimilikinya kepada presiden, dan melegalkan kekuasaan absolut presiden melalui UU tersebut.
Satu UU lain yang disoroti PSHK ialah pengesahan UU MK yang susbtansinya sama sekali tidak mengatur penguatan kelembagaan MK, tetapi hanya membahas soal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi. Perpanjangan masa jabatan itu dipandang hanya sebagai hadiah untuk hakim MK dan diduga ada barter politik dengan pemeriksaan uji materi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ketika itu sedang berproses di MK.
Tidak merepons pandemi
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri
Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengatakan, legislasi yang dilahirkan sepanjang 2020 tidak merespons pada kebutuhan untuk menangani Covid-19. Ia mencontohkan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang substansinya justru mengatur soal penanganan dampak pandemi terhadap sistem keuangan negara, bukannya mengatur soal penanganan pandemi Covid-19.
”Kedaruratan yang dimaksud di dalam perppu itu ternyata bukan Covid-19, tetapi dampak ekonominya sehingga sistem keuangannya yang harus diselamatkan. Jadi, tidak ada penanganan Covid-19 sama sekali. Ini yang sangat menyedihkan karena sejak awal yang kita butuhkan ialah kedaruratan menghadapi pandemi Covid-19,” tuturnya.
Legislasi yang dilahirkan sepanjang 2020 tidak merespons pada kebutuhan untuk menangani Covid-19.
Faisal mengatakan, jika pemerintah sejak awal fokus pada penanganan pandemi, dan bukan dampak pandemi terhadap sistem keuangan dan ekonomi, situasinya saat ini mungkin bisa berbeda. Indonesia pun sebenarnya telah memiliki UU Kekarantinaan Kesehatan yang dapat diterapkan dalam situasi darurat kesehatan. Akan tetapi, pola pikir yang berkembang saat itu ialah menyelamatkan ekonomi dan membuat situasi yang dihadapi sama dengan krisis ekonomi 1998.
”Jadi, yang dipikirkan ialah menyelamatkan sektor keuangannya. Supaya trauma masa lalu tidak terjadi, yakni ketika penyelenggara negara diproses hukum saat menjalankan anggaran, pembuat kebijakannya pun diamankan dulu agar tidak dikriminalisasi. Seperti itu mindset-nya,” ucapnya.
Sementara itu, Co-Founder LaporCovid-19, Irma Hidayana, menuturkan, keterbukaan dan penyampaian komunikasi krisis dari pemerintah kepada publik mesti dibenahi. Data yang valid juga mesti disampaikan oleh pemerintah.
Informasi kesembuhan dan berita positif lainnya memang baik, menurut Irma, tetapi dalam kondisi krisis, pola komunikasi yang mesti dikedepankan ialah dari sisi pendekatan kesehatan publik. ”Bukan hanya informasi yang menenangkan, yang membuat orang terus berpikir positif sehingga membuatnya abai dan tidak taat protokol kesehatan (prokes). Kalau sudah begini, nanti masyarakat yang disalahkan,” katanya.
Menanggapi hasil riset PSHK, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya mengatakan, kritik dan masukan dari publik itu diterima oleh pihaknya dengan baik. Namun, ia menegaskan, DPR juga telah melakukan sejumlah hal untuk memperbaiki kinerja legislasi di tengah kondisi pandemi. DPR antara lain mengubah tata tertib yang memungkinkan DPR untuk rapat secara virtual, termasuk dalam membahas RUU.
Kedua, dengan kondisi pandemi ini, DPR justru lebih punya ruang untuk menyampaikan segala proses legislasi itu terbuka ke hadapan publik. Kini, hampir semua rapat di DPR dapat diakses melalui media sosial dan disaksikan oleh publik luas. Pembahasan sejumlah RUU yang kontroversial, seperti UU Cipta Kerja, menurut Willy, disebutnya telah dilakukan secara terbuka.