Kian Kuat, Desakan agar Pimpinan KPK Patuhi Ombudsman
Kali ini, desakan muncul dari PP Muhammadiyah. Jika pimpinan KPK tak kunjung melaksanakan perintah Ombudsman terkait tes wawasan kebangsaan pegawai KPK, Presiden punya kewenangan untuk mengambil alih.
Unjuk rasa terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK oleh mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa IPB University di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (2/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Desakan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK agar mematuhi hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia atas pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK semakin kuat.
Kali ini, desakan muncul dari Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jika pimpinan KPK tak kunjung melaksanakan perintah Ombudsman, Presiden Joko Widodo diminta mengambil alih dan mengangkat pegawai KPK yang tidak lolos tes tersebut.
Desakan dari Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tersebut tertuang dalam pernyataan sikap yang dirilis pada Selasa (26/7/2021). Pernyataan sikap ditandatangani Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Rahardjo dan Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Rahmat Muhajir Nugroho.
Dalam pernyataan sikap disebutkan, KPK sebagai lembaga antikorupsi kebanggaan publik seharusnya dapat berdiri sebagai lembaga yang memberikan konsepsi yang jelas terkait visi dan misi pemberantasan korupsi. KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tujuannya, meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi serta berdiri pada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Dosen Program Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Trisno Raharjo menyampaikan keterangan sebagai saksi ahli secara virtual dalam lanjutan sidang permohonan pengujian atas UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Dampak dari tugas-tugas KPK itu ternyata mengganggu kelompok-kelompok birokrat yang korup, pebisnis yang busuk, dan politikus yang tunamoral sehingga menginginkan adanya pelemahan KPK.
Desain pengalihan status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara yang merupakan buah dari UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dinilai menjadi salah satu upaya pelemahan itu. Ini telah terkuak setelah Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK yang ”menghilangkan” penyelidik, penyidik, dan pegawai terbaik lainnya di KPK.
Atas problem tersebut dan hasil pemeriksaan ORI, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah melihat pentingnya hasil TWK yang digelar KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk tidak dijadikan penentu dalam menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK. Selain itu, tidak dijadikan dasar untuk meloloskan atau tidak pegawai KPK dalam alih status menjadi ASN. Apalagi, BKN telah dinilai oleh ORI tidak memiliki kompetensi sebagai penyelenggara TWK pegawai KPK.
”Kedua, meminta Presiden, sesuai hasil pemeriksaan ORI, mengambil alih kewenangan alih status pegawai KPK dan membatalkan hasil TWK tersebut, serta mengangkat 75 pegawai KPK yang tidak lolos dalam TWK untuk diangkat sebagai ASN.” Demikian seperti dikutip dari pernyataan sikap tersebut.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK (nonaktif) Sujanarko (tengah) mewakili pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan saat melapor ke Ombudsman RI di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (19/5/2021).
Untuk diketahui, pekan lalu, ORI merilis hasil pemeriksaan terkait pelaksanaan TWK pegawai KPK. Dari hasil pemeriksaan, ORI menemukan malaadministrasi berlapis dalam tes tersebut. Tak hanya itu, ada juga malaadministrasi yang mengarah pada dugaan pidana.
Atas hasil pemeriksaan itu, ORI meminta pimpinan KPK dan BKN untuk melakukan sejumlah tindakan korektif. Salah satunya, mengalihkan status 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK menjadi ASN sebelum akhir Oktober 2021.
Selain dari PP Muhammadiyah, desakan kepada pimpinan KPK agar mematuhi hasil pemeriksaan ORI juga muncul dari Koalisi Guru Besar Antikorupsi. Pimpinan KPK harus segera mematuhi putusan ORI karena, sebagai aparat penegak hukum, KPK sudah selayaknya taat atas keputusan lembaga negara yang dimandatkan langsung oleh undang-undang untuk memeriksa dugaan malaadminstrasi. Selain itu, temuan ORI penting ditindaklanjuti di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPK.
Jika KPK tetap enggan melaksanakan temuan ORI, Presiden diminta mengambil alih. ”Ini penting untuk segera menyudahi kegaduhan di tengah situasi pandemi Covid-19. Selain itu, penting pula untuk dicatat, selaku eksekutif tertinggi, baik KPK maupun BKN, wajib hukumnya mengikuti arahan Presiden,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa Marwan Mas, salah satu guru besar di koalisi tersebut.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Perwakilan 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan dan kuasa hukumnya berfoto bersama seusai mengadu di Kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (24/5/2021).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Rabu (28/7), mengatakan, sebagai pimpinan tertinggi eksekutif, Presiden Joko Widodo punya kewenangan mengambil alih polemik kepegawaian KPK. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), misalnya, Presiden adalah pimpinan tertinggi PNS yang memiliki kewenangan terkait manajemen ASN.
”Jadi, (Presiden) memiliki kewenanganan untuk mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan ASN,” kata Feri.
Selain itu, Presiden memiliki kewenangan untuk mengambil alih karena, mengacu pada UU KPK, terminologinya bagi para pegawai KPK adalah alih status menjadi ASN. Tak ada namanya seleksi sebagai syarat para pegawai menjadi ASN.
Hingga kini, belum ada respons terbaru dari KPK ataupun BKN terkait hasil pemeriksaan ORI. Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan akan mempelajari terlebih dulu hasil pemeriksaan ORI sebelum bersikap.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa, anggota Dewan Pengawas KPK Indriyanto Seno Adji, Ketua KPK Firli Bahuri, dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kiri ke kanan) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait pengumuman hasil asesmen tes wawasan kebangsaan dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021).
Bukti tambahan
Para pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK memberikan bukti tambahan dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Rabu. Pemberian bukti baru ini berdasarkan pada Peraturan Dewan Pengawas KPK No 3/2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) peraturan tersebut, tidak diatur status aduan atas putusan pemeriksaan pendahuluan yang menyatakan tidak cukup bukti. Tindak lanjut atas putusan tersebut hanya memberitahukan kepada pelapor dengan tembusan kepada atasan langsung terlapor. Dengan kata lain, pemeriksaaan pendahuluan yang menyatakan dugaan pelanggaran kode etik dinyatakan tidak cukup bukti, tidak mengakibatkan laporan aduan tersebut akan ditutup atau tidak bisa dibuka lagi untuk diperiksa.
”Kami menganggap laporan aduan tertanggal 18 Mei 2021 dengan tambahan data dan informasi tertanggal 16 Juni 2021 masih bisa dibuka pemeriksaannya dengan pemberian bukti-bukti baru untuk mencukupi bukti dugaan pelanggaran dimaksud dan dilanjutkan ke sidang etik,” tutur Hotman Tambunan, salah satu pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Ia menuturkan, para pegawai memiliki dua alasan kuat untuk memberikan bukti tambahan kepada Dewan Pengawas. Pertama, beberapa perbuatan dalam Laporan Pemeriksaan Pendahuluan Dewas bukanlah perbuatan yang dimaksudkan oleh pelapor. Kedua, temuan Ombudsman RI yang menunjukkan adanya malaadministrasi dan pelanggaran lain dalam TWK yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
Selain itu, Dewas dalam laporan pendahuluan tidak menemukan bukti rapat pimpinan yang dalam rapat tersebut Ketua KPK Firli Bahuri secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa TWK tidak berakibat lulus atau tidak lulus. Para pegawai memberikan bukti keberadaan rapat tersebut.