Ikatan Kebangsaan Kian Rapuh, Pengamalan Pancasila Mesti Diperkuat
Keterbelahan masyarakat setelah dua pemilihan umum presiden (pilpres) semakin terasa saat bangsa harus menghadapi berbagai krisis akibat pandemi Covid-19. Kondisi itu membuat ikatan kebangsaan semakin rapuh.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19 menjadi ujian yang dapat merapuhkan ikatan kebangsaan Indonesia. Diperlukan penguatan tata nilai atau dimensi mental spiritual masyarakat untuk menjamin keutuhan dan kemajuan bangsa ke depan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Membangun Jiwa Pancasila” yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, secara daring, Rabu (28/7/2021). Dalam diskusi, hadir Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dan Wakil Forum Rektor Indonesia sekaligus Rektor Universitas Islam Malang Maskuri.
Sebagai pembicara, hadir pula pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, Guru Besar Universitas Indonesia Bambang Wibawarta, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat, dan Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Wisnubroto. Selain itu, diskusi juga dihadiri oleh aktivis pendidikan, yakni Dhitta Puti Sarasvati dan Karina Adistiana.
Di tengah pandemi Covid-19, pembelahan itu juga semakin terasa justru karena elite memolitisasi sentimen primordial untuk memobilisasi dukungan dalam ajang elektoral. Jika terjadi terus-menerus, hal ini berpotensi mengancam keutuhan bangsa.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, beberapa waktu terakhir ikatan kebangsaan Indonesia terindikasi merapuh. Hal itu, di antaranya, terlihat dari terjadinya pembelahan masyarakat karena perbedaan pilihan politik. Di tengah pandemi Covid-19, pembelahan itu juga semakin terasa justru karena elite memolitisasi sentimen primordial untuk memobilisasi dukungan dalam ajang elektoral. Jika terjadi terus-menerus, hal ini berpotensi mengancam keutuhan bangsa.
Untuk menjamin keutuhan dan kemajuan bangsa, kata Pontjo, diperlukan pendekatan baru untuk membangun kebangsaan yang berperadaban, yaitu dengan jalan budaya. Pendekatan budaya ini terkait erat dengan dimensi mental spiritual atau tata nilai yang terkandung dalam Pancasila. ”Ranah mental spiritual diyakini sebagai determinan atau faktor penentu keberhasilan bagi kemajuan sebuah bangsa. Hal ini juga telah disadari Presiden pertama RI Soekarno yang bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bagian penting yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional,” ujarnya.
Merujuk sejarawan Yuval Noah Harari, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat menambahkan, ke depan negara yang mampu bertahan dan maju di tengah perkembangan teknologi ditandai dengan adanya rasa kebangsaan yang kuat, maju secara sains dan teknologi, serta memiliki pemerintahan yang efektif. ”Jika ukuran tersebut diterapkan di Indonesia, kita masih kedodoran di tengah percaturan global ke depan ini,” katanya.
Perkuat akar
Akar bangsa ini adalah cita-cita, memori kolektif, nilai hidup, spiritualitas, mental, itulah akar yang harus diperkuat.
Komaruddin menilai, nasionalisme Indonesia saat ini masih dalam proses menjadi. Indonesia diikat oleh memori kolektif berupa cita-cita untuk mencapai kemajuan bersama yang terumuskan dalam Pancasila. Pancasila mengandung nilai-nilai universal sekaligus menjadi jalan tengah di antara berbagai ideologi besar dunia. Hal itu semestinya bermanfaat sebagai pedoman untuk memajukan bangsa.
Namun, hingga saat ini Pancasila belum menancap kokoh dalam pembangunan bangsa. Mengibaratkan sebuah pohon, Komaruddin menilai, Indonesia saat ini lebih fokus memperhatikan batang, daun, dan buah, tetapi tidak berusaha membangun akar yang kuat. ”Akar bangsa ini adalah cita-cita, memori kolektif, nilai hidup, spiritualitas, mental, itulah akar yang harus diperkuat,” ucapnya.
Untuk memastikan Pancasila sebagai tata nilai terus menancap dalam dimensi kehidupan bangsa, menurut Komaruddin, diperlukan pihak yang mampu menjaganya. Selama ini, gerakan keagamaan yang terikat kuat dengan masyarakat Indonesia tak mampu berperan menjadi penjaga. Semestinya, nilai tersebut diperkuat oleh spiritualitas, dipelihara dalam kebudayaan lokal yang dilindungi negara. Akan tetapi, untuk melindungi itu, negara harus terlebih dulu menjamin adanya pemerintahan yang efektif, mampu membangun sains dan teknologi, serta menjaga soliditas identitas nasional.
Guru Besar Universitas Indonesia Bambang Wibawarta mengatakan, upaya menjaga soliditas identitas nasional itu menghadapi tantangan tersendiri di tengah perkembangan teknologi informasi. Penduduk Indonesia sebagian besar merupakan generasi milenial yang memiliki pandangan dan pengetahuan yang relatif sama dengan penduduk berusia serupa di negara-negara lain.
Selain itu, karakter keragaman Indonesia juga memperlihatkan bahwa semua kelompok masih memiliki identitas yang kuat. Tanpa pengelolaan yang baik, potensi benturan antarkelompok masih akan selalu muncul.
Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif menambahkan, jika Pancasila diterima sebagai pandangan hidup atau weltanschauung, sudah semestinya Pancasila menjadi sudut pandang dalam membangun negara. Dalam menjalankan tugasnya, negara juga tidak hanya wajib menjamin keamanan dan kebutuhan materiil masyarakat, tetapi juga terkait soal mentalitas untuk membangun peradaban.
Peradaban, kata Yudi, merupakan hasil interaksi ranah tata nilai atau mental kultural, tata kelola atau sosial politik, dan tata kesejahteraan atau material teknologi. Ketiganya harus dijalankan secara seimbang. ”Pancasila dengan sifatnya yang saling terkait melihat peradaban sebagai hasil interaksi dinamis di antara tiga ranah itu. Jadi, pembangunan tata nilai, tata kelola, dan tata kesejahteraan itu saling memengaruhi,” katanya.