Tak hanya meminta maaf, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo juga mencopot Komandan Satuan Polisi Militer dan Komandan Lanud JA Dimara sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang dilakukan dua anggota TNI AU.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara atau TNI AU melanjutkan proses hukum terhadap dua anggota Polisi Militer TNI Angkatan Udara yang menganiaya warga Merauke, Papua, dan mencopot dua pemimpin mereka. Kekerasan atas alasan apa pun semestinya bisa dihindari, terutama di Papua, karena bisa memicu konflik yang lebih luas dan semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Setelah melakukan evaluasi dan pendalaman, saya akan mengganti Komandan Lanud JA Dimara beserta Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Rabu (28/7/2021), menyatakan akan mengganti Komandan Lanud Johanes Abraham Dimara (Lanud Dma) Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto dan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud Dma Mayor Pom Antariksa Irawan. Penggantian keduanya terkait dengan tindak kekerasan yang dilakukan dua anggota TNI AU terhadap seorang warga di Merauke, Papua, Senin (26/7/2021).
”Setelah melakukan evaluasi dan pendalaman, saya akan mengganti Komandan Lanud JA Dimara beserta Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara,” kata Fadjar.
Ia menambahkan, baik Komandan Lanud JA Dimara maupun Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara harus mempertanggungjawabkan kejadian tersebut. Sebab, mereka juga bertugas membina anggota.
TNI AU memastikan proses penanganan kasus akan diakukan secara transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Saat ini, proses hukum terhadap dua anggota Polisi Militer TNI AU yang dimaksud telah memasuki tahap penyidikan oleh Satpom Lanud Dma. Dua pelaku kekerasan itu juga telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana.
”Serda A dan Prada V telah ditetapkan sebagai tersangka tindak kekerasan oleh penyidik. Saat ini, kedua tersangka menjalani penahanan sementara selama 20 hari untuk kepentingan proses penyidikan selanjutnya,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah.
Ia melanjutkan, selama penyidikan, tim penyidik akan menuntaskan berita acara penyidikan (BAP). Nantinya, BPA tersebut akan dilimpahkan kepada oditur militer untuk proses hukum berikutnya.
Terkait hukuman yang akan dijatuhkan, Indan tidak memungkiri semua pihak menunggu proses yang tengah berjalan. Namun, ia berharap kedua tersangka dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di lingkungan TNI.
Sebelumnya, video penganiayaan yang dilakukan dua anggota Polisi Militer TNI AU viral di dunia maya. Dalam video terlihat, dua oknum tersebut bertindak berlebihan saat mengamankan seorang warga Merauke yang diduga sedang mabuk dan membuat keributan di sebuah warung. Peristiwa tersebut diakui TNI AU terjadi pada Senin lalu.
Atas kejadian tersebut, Fadjar Prasetyo juga meminta maaf dan menekankan bahwa kejadian itu sepenuhnya kesalahan anggota. Tidak ada niatan apa pun di baliknya, apalagi perintah kedinasan. Ia berjanji akan menindak tegas pelaku dan melakukan evaluasi internal setelah peristiwa ini.
Jaga Papua
Kekerasan saat penegakan PPKM saja tidak boleh terjadi, apalagi kekerasan oleh aparat negara terhadap masyarakat yang itu tidak berkaitan dengan tugas-tugasnya dan prioritas penanganan pandemi. Jelas hal tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Secara terpisah, Ketua DPR Puan Maharani meminta aparat menghindari kekerasan terhadap masyarakat, terlebih dalam kondisi sulit karena pandemi Covid-19. Hal itu penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap upaya penanggulangan wabah yang tengah dilakukan pemerintah. ”Kekerasan saat penegakan PPKM saja tidak boleh terjadi, apalagi kekerasan oleh aparat negara terhadap masyarakat yang itu tidak berkaitan dengan tugas-tugasnya dan prioritas penanganan pandemi. Jelas hal tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan,” ujarnya.
Menurut Puan, kekerasan aparat semestinya tidak perlu terjadi atas alasan apa pun. Aparat sebagai ujung tombak pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum seharusnya mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis kepada masyarakat.
Lebih jauh, Puan juga menekankan, stabilitas di Papua harus menjadi prioritas bagi setiap aparat yang bertugas di sana. Keberadaan sejumlah pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan jangan ditambah dengan insiden yang tidak diperlukan. ”Menangkan selalu hati rakyat Papua dan seluruh rakyat Indonesia. Kita semua harus fokus pada penanganan pandemi Covid-19, menjaga stabilitas negara, dan juga kepercayaan rakyat kepada negara dan aparat-aparatnya. Arahkan energi bangsa ini ke sana,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, kekerasan yang dilakukan anggota TNI AU menunjukkan kesenjangan antara realitas digital yang selama ini dibangun dan realitas di lapangan. Di dunia maya, TNI AU dikenal dengan berbagai konten humanis dan interaksi yang cair dengan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, prajurit masih kerap sulit mengendalikan diri, bahkan memperlihatkan kekerasan yang tidak patut di ruang publik terhadap masyarakat sipil.
”Harus ada proses hukum yang adil, mengingat para tersangka berasal dari lingkungan penegak hukum militer yang semestinya menjadi teladan soal kedisiplinan, ketaatan pada hukum, serta selalu waspada menjaga perilakunya di ruang publik, apalagi di daerah konflik. Sanksi yang dijatuhkan dapat lebih berat untuk menjadi peringatan bahwa kelengahan dan kelalaian seperti itu tidak dapat ditoleransi,” kata Fahmi.
Ia menambahkan, TNI juga harus terus mengingatkan para personelnya di lapangan, terutama di daerah rentan konflik, seperti Papua, untuk selalu berhati-hati, waspada, dan disiplin. Apalagi, dalam waktu dekat akan menjadi tuan rumah pekan olahraga nasional (PON) pada Oktober mendatang, maka kesalahan sekecil apa pun yang berpotensi memicu masalah dan ketidakpuasan yang meluas harus dapat dihindari.