Mabes TNI menegaskan, keterlibatan TNI dalam penanganan pandemi merupakan tugas negara dan urgensi untuk melindungi rakyat dari Covid-19. Pihak TNI dan Polri berkomitmen akan mengedepankan pendekatan yang humanis.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelibatan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam berbagai bidang penanganan pandemi Covid-19 dinilai dapat melegitimasi kesewenang-wenangan terhadap masyarakat sipil. Selama setahun terakhir, setidaknya terjadi 29 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani wabah.
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada periode April 2020-Juli 2021 telah terjadi 29 peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat dalam penanganan pandemi Covid-19. Peristiwa yang dimaksud meliputi penembakan gas air mata dalam aksi demonstrasi, penangkapan secara sewenang-wenang, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil. Selain itu, terjadi pula penganiayaan, pembubaran perkumpulan secara paksa, serta bentrokan antara aparat dan warga.
Dari semua peristiwa tersebut, 19 kasus di antaranya melibatkan anggota Polri, 4 kasus melibatkan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan 1 kasus yang melibatkan anggota TNI. Selain itu, satuan tugas gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol PP juga terlibat dalam empat kasus, adapun aparatur sipil negara tercatat terlibat pada satu kasus.
”Sejumlah peristiwa itu telah merenggut 1 korban jiwa, 3 orang luka-luka, dan 364 orang ditangkap sewenang-wenang,” kata Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldy dihubungi dari Jakarta, Selasa (27/7/2021).
Ia menambahkan, kekerasan terhadap masyarakat sipil merupakan salah satu dampak dari pelibatan aparat keamanan dalam berbagai bidang penanganan pandemi Covid-19. ”Keterlibatan itu sekaligus menandakan bahwa pemerintah lebih mengutamakan pendekatan keamanan ketimbang pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Padahal, penggunaan pendekatan keamanan tidak efektif dan dapat memunculkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia,” kata Andi.
Menurut dia, pendekatan keamanan yang tetap diutamakan selama pandemi berpotensi menjadi titik awal kembalinya legitimasi kesewenang-wenangan aparat terhadap masyarakat sipil. Itu perlu dihindari karena bertentangan dengan agenda reformasi sektor pertahanan dan keamanan.
Staf Riset dan Dokumentasi Kontras Rozy Brilian menambahkan, turut sertanya TNI dalam penanganan pandemi juga bertentangan dengan tugas pokok institusi tersebut. Dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI memang memiliki tugas dalam operasi militer selain perang. Pasal tersebut menyebutkan 14 jenis kegiatan operasi, tetapi penanganan bencana non-alam atau wabah penyakit tidak termasuk di dalamnya.
Selain itu, keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam vaksinasi Covid-19 juga menjadi sorotan. Menurut Rozy, pendekatan intelijen bertentangan dengan prinsip pelayanan publik yang semestinya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
”Dominasi aparat dalam penanganan pandemi membuat kita seolah-olah ada dalam situasi darurat keamanan, bukan darurat kesehatan. Ke depan diperlukan langkah terobosan dalam menangani pandemi dengan lebih mengedepankan pendekatan humanis,” kata Rozy.
Menurut dia, peran aparat dalam pandemi Covid-19 sebaiknya diprioritaskan untuk membantu sosialisasi pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu, aparat perlu terlebih dulu memastikan bahwa masyarakat sudah memahami kebijakan yang dimaksud, khususnya pembatasan kegiatan, sebelum menegakkan hukum terhadap pelanggaran. Sebab, pelanggaran yang terjadi tidak serta-merta karena kesengajaan, sering kali warga melanggar karena ketidaktahuan atau keterpaksaan demi menyambung hidup.
Komitmen humanis
Pelibatan TNI dan Polri dalam penanganan pandemi Covid-19 sudah dilakukan sejak awal pandemi Covid-19 di Tanah Air. Kedua institusi itu diperbantukan tidak hanya dalam agenda pembatasan kegiatan masyarakat, tetapi juga dalam penanganan pasien, penyaluran bantuan sosial, dan vaksinasi. Terakhir, personel TNI dan Polri juga dilibatkan sebagai pelacak (tracer) kasus Covid-19.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Penerangan Internasional Pusat Penerangan TNI Kolonel Laut (P) Djawara Whimbo mengatakan, keterlibatan TNI dalam penanganan pandemi Covid-19 merupakan tugas negara yang wajib dilaksanakan. TNI dinilai mampu membantu karena memiliki struktur hingga ke lingkup wilayah masyarakat terkecil dengan rantai koordinasi yang jelas. Meski demikian, hal ini merupakan tantangan tersendiri untuk ikut serta mengatasi situasi darurat yang tidak hanya mengancam warga, tetapi juga prajurit TNI.
Kepada setiap prajurit yang bertugas di lapangan, kata Whimbo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menekankan agar mereka menggunakan pendekatan yang humanis. Itu pun menjadi komitmen semua prajurit.
Oleh karena itu, ia menyesalkan jika masih ada sikap prajurit yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia. Hal itu terkadang dipicu situasi di lapangan yang mengharuskan mereka mengambil tindakan cepat tanpa mengoordinasikannya terlebih dulu. ”Mereka yang terbukti bertindak tidak sesuai (melakukan kekerasan) kami tarik dari lapangan untuk dibina,” kata Whimbo.
Ia menambahkan, saat ini TNI ikut serta mempercepat vaksinasi Covid-19 agar bisa mencapai target Presiden Joko Widodo, yakni mencapai 1 juta dosis per hari. Pihaknya juga turut membantu persiapan fasilitas isolasi mandiri dan isolasi terpadu di setiap wilayah.
Selain itu, TNI juga ikut menjadi petugas pelacak atau tracer kasus Covid-19. Kemarin, sejumlah Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI AD, Bintara Pembina Potensi Maritim (Babinpotmar) TNI AL, dan Bintara Pembina Potensi Dirgantara (Babinpotdirga) TNI AU mengikuti pelatihan tracer digital di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta. Mereka akan ditempatkan di setiap posko pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro untuk membantu tenaga kesehatan di puskesmas yang ada di setiap desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri sekaligus Kepala Operasi Aman Nusa II Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan, pihaknya juga berkomitmen untuk menggunakan pendekatan yang humanis. Terutama dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dalam masa perpanjangan PPKM level 4 hingga tanggal 2 Agustus 2021. Hal itu dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi secara masif, baik secara langsung dengan mobil patroli maupun melalui media sosial.
”Dilakukan pada komunitas level terkecil, penegakan prokes dilakukan dengan cara humanis, hindari cara arogan,” kata Arief.
Terkait dengan perpanjangan PPKM level 4, Arief juga meminta semua jajaran kepolisian untuk mengintensifkan Operasi Aman Nusa II. Di antaranya dalam pengaturan operasional pasar tradisional, pedagang kaki lima, dan warung makan agar semua pihak disiplin terhadap peraturan jam operasional dan protokol kesehatan. Selain itu, juga mengawal penyaluran bantuan sosial agar tepat sasaran.