Saat ini demokrasi Indonesia tengah menghadapi gangguan yang dapat mengancam ikatan kebangsaan. Sejumlah pihak memanfaatkan asas demokrasi untuk hal-hal yang mengancam keutuhan bangsa.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural pejuang hak asasi manusia Munir dan aktivis demokrasi Soe Hok Gie menghiasi dinding Gang Alfurqon, Cipondoh, Tangerang, Banten, Sabtu (20/3/2021). Keduanya telah menjadi ikon pejuang HAM dan demokrasi yang mewariskan semangat kebangsaan dengan menempatkan kemanusiaan sebagai salah satu nilai terpenting dalam kehidupan bernegara.
JAKARTA, KOMPAS — Ikatan antara kebangsaan dan demokrasi yang semestinya saling memperkuat saat ini bergerak ke arah yang berlawanan. Proses demokrasi cenderung digunakan untuk memanipulasi tindakan yang mengancam kebangsaan.
Kondisi demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Dalam laporan The Economist Intellegence Unit (EIU) pada 2020, skor Indeks Demokrasi Indonesia pada 2020 adalah 6,3 atau turun dari setahun sebelumnya, yaitu 6,48. Raihan itu merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir, sekaligus menempatkan Indonesia pada kategori demokrasi cacat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengakui, saat ini demokrasi Indonesia tengah menghadapi gangguan yang dapat mengancam ikatan kebangsaan. Sejumlah pihak memanfaatkan asas demokrasi untuk hal-hal yang mengancam keutuhan bangsa dengan melakukan aksi kekerasan, intoleransi, dan peredaran berita bohong atau hoaks yang dapat memecah belah masyarakat. Hal ini ironis karena demokrasi merupakan sistem politik yang disepakati para pendiri bangsa untuk mengakomodasi seluruh elemen masyarakat Indonesia yang sangat beragam untuk bersama-sama membangun negara. Oleh karena itu, keduanya semestinya saling memperkuat.
”Kebangsaan dan demokrasi seharusnya berkembang dan berjalan seimbang, tetapi saat ini rupanya pincang, karena yang satu mengintervensi yang lain, bukan menguatkan,” kata Mahfud saat membuka webinar ”Masa Depan Kebangsaan dan Demokrasi Indonesia” yang digelar secara daring pada Senin (26/7/2021). Diskusi itu merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-50 Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Dalam webinar tersebut hadir pula Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, Ketua Dewan Pimpinan CSIS Harry Tjan Silalahi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, pakar aliansi kebangsaan Yudi Latif, dan pendiri Wahid Foundation Yenny Wahid.
Lebih dari itu, kata Mahfud, upaya yang menggerogoti ikatan kebangsaan itu justru dilakukan melalui proses demokrasi yang sah secara formal konstitusional. Diskriminasi yang menyebabkan intoleransi antarkalangan masyarakat, misalnya, merupakan dampak dari proses demokrasi yang mengutamakan suara mayoritas. Padahal, jati diri bangsa Indonesia tidak mengenal konsep mayoritas dan minoritas, tetapi mengedepankan gotong royong dan kebersamaan semua pihak.
Ia menambahkan, korupsi yang merajalela tidak bisa dimungkiri juga merupakan ekses dari proses demokrasi. Para pejabat yang terungkap mengambil keuntungan pribadi dari uang negara merupakan orang-orang yang terpilih dari pemilu yang demokratis. Mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk membuat peraturan demi kepentingan pribadi. Untuk memuluskan niat itu, tidak jarang terjadi kongkalikong antara pejabat ekskutif dan legislatif.
Menurut Mahfud, berbagai macam persoalan demokrasi telah terpetakan dengan jelas. Saat ini dibutuhkan sumbangan pemikiran untuk menuntaskannya sesuai dengan prosedur demokrasi. Bukan cara di luar prosedur untuk menjatuhkan kekuasaan secara langsung. ”Yang diperlukan adalah langkah secara demokratis untuk mengubah situasi yang ditimbulkan oleh fakta penyanderaan terhadap demokrasi,” ujarnya.
Pendiri Wahid Foundation Yenny Wahid menambahkan, perkembangan demokrasi juga menghadapi tantangan khusus seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Di era digital ini, sekat antarnegara telah melebur sehingga memengaruhi kualitas demokrasi. Peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia dapat diterima dengan cepat oleh siapa saja dan menginspirasi masyarakat dalam bertindak.
Kecepatan persebaran informasi itu juga berdampak pada banjir informasi di tengah masyarakat. Salah satu yang tidak bisa dihindari dari banjir informasi adalah masifnya peredaran hoaks yang sering kali mendelegitimasi, memprovokasi, dan mendorong masyarakat melakukan aksi radikal menyangkut hal-hal yang ia percaya kebenarannya. Hal ini berbahaya karena dapat memicu konflik yang memecah belah masyarakat.
”Meski demikian, kita tidak boleh pesimistis karena era digital juga menghadirkan peluang sebagai solusi masalah kebangsaan. Platform digital bisa menjadi sarana mempererat komunikasi dan interaksi positif antarkelompok yang berbeda pandangan. Ini bisa mengurangi prasangka dan mempromosikan perdamaian,” kata Yenny.
Ketahanan bangsa
Menurut Yenny, bangsa Indonesia terbukti memiliki resiliensi yang tinggi. Ketahanan itu sekaligus membantah prediksi para ahli yang pernah memperkirakan bahwa Indonesia tidak akan bertahan sebagai entitas negara pada awal 2000-an. Untuk memperkuat ketahanan itu, sistem demokrasi harus diperkuat. Mekanisme suara terbanyak harus benar-benar merepresentasikan kepentingan masyarakat, bukan kalangan tertentu.
Selain itu, masyarakat dan para pemimpin perlu lebih mengedepankan ”rasa” untuk memunculkan kepercayaan antarmasyarakat. Rasa saling percaya merupakan hal terpenting yang dibutuhkan untuk memunculkan kembali ikatan kebangsaan. ”Satu-satunya cara adalah tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, semua orang harus berkorban. Parpol jangan hanya mencari uang dan jabatan, semua pihak harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan bangsa, baru ’rasa’ kita akan bisa bangkit dan kita akan bisa keluar dari segala macam krisis. Pandemi ini ujian kita, apakah kita akan bersatu atau tidak,” kata Yenny.
Pakar aliansi kebangsaan Yudi Latif mengatakan, daya sintas suatu bangsa ditentukan oleh interaksi elemen kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Elemen kebangsaan yang merupakan domain kultural atau pengembangan tata nilai semestinya ditumbuhkan secara optimal di tengah komunitas agama dan pendidikan. Baik agama maupun pendidikan merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses pembangunan rasa kebangsaan Indonesia.
Sementara itu, elemen demokrasi terkait dengan tata kelola pemerintahan. Berbagai penelitian dan sejarah membuktikan, pemerintahan yang dipimpin oleh tirani dan oligarki tidak akan bertahan lama. Pemerintahan yang demokratis semestinya memberikan ruang lebih besar kepada kelas menengah berdasarkan meritokrasi. Perwakilan setiap golongan yang ada juga perlu diakomodasi dalam penyelenggaraan negara untuk menghindari dominasi oligarki.