Bidik Aspek Karakteristik Masyarakat untuk Berantas Korupsi
Pemberantasan korupsi akan membuahkan hasil jika aspek-aspek karakteristik masyarakat Indonesia yang bidimensional dibidik secara menyeluruh. Aspek-aspek ini mulai dari aspek individual, sosial-kultural, hingga moral.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Moralitas menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya pencegahan korupsi. Oleh sebab itu, sanksi moral dari masyarakat perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan terhadap pelaku korupsi. Sanksi ini mampu menghasilkan sistem integritas yang baik untuk mencegah korupsi.
”Moralitas menjadi lebih utama dari politik, moralitaslah yang menghakimi politik,” kata politisi senior Partai Golkar, Fahmi Idris, melalui keterangan tertulis, Senin (26/7/2021).
Hal tersebut diungkapkan Fahmi saat mempertahankan disertasi ”Korupsi pada Masyarakat yang Menjunjung Tinggi Keadilan Sosial: Refleksi Kritis Berbasis Kontraktualisme Rawls”. Dalam sidang terbuka promosi doktor secara virtual tersebut, ia lulus dengan predikat cum laude dengan nilai rata-rata 87,5 sehingga berhak menyandang gelar doktor ilmu filsafat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Moralitas membentuk aturan-aturan yang perlu dipatuhi manusia untuk bertahan hidup secara kolektif. Sementara politik adalah usaha-usaha individual untuk bertahan hidup. Politik dapat mengorbankan masyarakat dan moralitas dapat mengorbankan individual.
Fahmi mengatakan, moralitas adalah bagian yang sangat penting dalam upaya pencegahan korupsi. Oleh sebab itu, moralitas harus benar-benar bisa menghakimi perilaku politik. Sebab, perilaku politik juga merupakan bentuk respons manusia terhadap usaha bertahan hidup yang dibentuk oleh budaya serta refleksi dialogis manusia sehingga apa pun unsur turunan dari kedua respons adaptif ini harus saling mendukung.
”Moralitas membentuk aturan-aturan yang perlu dipatuhi manusia untuk bertahan hidup secara kolektif. Sementara politik adalah usaha-usaha individual untuk bertahan hidup. Politik dapat mengorbankan masyarakat dan moralitas dapat mengorbankan individual,” ujarnya.
Dalam disertasinya, Fahmi menekankan perlunya dipertimbangkan sanksi moral dan sanksi hukum dalam mengambil keputusan terhadap pelaku korupsi. Sanksi moral yang dibangun oleh agama dan refleksi dialogis perlu didukung oleh hukum, sementara hukum yang ada perlu didukung oleh sanksi moral dari masyarakat.
Sanksi moral yang diberikan masyarakat, misalnya berupa ekspresi kemarahan, kemarahan verbal, menyalahkan, memberi kecaman, ketidaksetujuan, teguran, kritik moral pemaparan, boikot, penghindaran, bahkan kebencian yang didukung oleh hukum, akan memberikan umpan balik negatif pada individu yang berniat korupsi. Hal itu bisa menghasilkan sistem integritas yang baik untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kesejahteraan sosial serta kelangsungan hidup masyarakat.
Ia mencontohkan, pasal pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP) perlu dipertegas sehingga Ayat 3 yang berbunyi ”tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri” mencakup korupsi sebagai bentuk kepentingan umum. Pada sistem integritas ini, seiring waktu akan tercipta sanksi moral yang diberikan kepada diri sendiri yang memungkinkan kesadaran individual mengenai betapa buruknya korupsi.
Temuan penting dari penelitian ini adalah pemberantasan korupsi akan membuahkan hasil jika aspek-aspek karakteristik masyarakat Indonesia yang bidimensional dibidik secara menyeluruh. Aspek-aspek ini mulai dari aspek individual, sosial-kultural, hingga aspek moral.
Jika nilai-nilai religius antikorupsi telah mampu terinternalisasi, setiap bias kognitif untuk melakukan perbuatan korupsi dapat disanggah oleh rasa bersalah dan penyesalan sebagai wujud sanksi moral pada diri sendiri.
”Temuan penting dari penelitian ini adalah pemberantasan korupsi akan membuahkan hasil jika aspek-aspek karakteristik masyarakat Indonesia yang bidimensional dibidik secara menyeluruh. Aspek-aspek ini mulai dari aspek individual, sosial-kultural, hingga aspek moral,” ucap Fahmi.
Aspek individual mengandung komponen kognitif yang mencegah korupsi menggunakan refleksi dialogis. Kemudian, aspek sosio-kultural mencegah korupsi menggunakan pendekatan agama yang disangkutpautkan dengan keadilan sosial. Adapun aspek moral mencegah korupsi menggunakan pendekatan sanksi moral baik kognitif maupun afektif.
Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengatakan, sanksi moral sangat dekat dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, terutama norma kesusilaan dan agama. Namun, penggunaan sanksi moral bukan jalan keluar dalam pencegahan korupsi.
Sebab, saat ini korupsi telah mengalami pengerdilan makna yang bersifat normatif. Masalah keseharian, seperti konflik kepentingan dan pemberian upeti yang sejatinya merupakan bentuk gratifikasi, justru dianggap bukan masalah moral. Apalagi, moral kini bisa dimanipulasi dengan menggerakkan mesin di media sosial.
”Sanksi moral baru mungkin dilakukan ketika pijakan norma kesusilaan dan agama memiliki perkembangan yang mengadaptasi problem ekonomi politik, tidak hanya parsial,” ujar Herlambang.