KPK dan pemerintah seharusnya mengikuti putusan Ombudsman RI (ORI). Dengan demikian, kegaduhan yang muncul karena persoalan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK tak berlarut-larut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah fokus seluruh elemen bangsa pada penanganan pandemi Covid-19, sepatutnya Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kepegawaian Negara tak memunculkan polemik baru. Putusan Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan diharapkan dapat segera dijalankan. Dengan demikian, KPK dapat kembali fokus pada pengawasan dan pencegahan korupsi, apalagi pandemi ini banyak uang telah digelontorkan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/7/2021), mengatakan, KPK dan pemerintah seharusnya mengikuti putusan Ombudsman RI (ORI). Dengan demikian, kegaduhan yang muncul saat ini, salah satunya persoalan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, tak berlarut-larut.
”Dalam kondisi wabah Covid-19 yang masih meningkat, baiknya KPK, pemerintah, dan Presiden Jokowi menyudahi kegaduhan ini,” ujar Azyumardi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ombudsman meminta pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara untuk melaksanakan sejumlah tindakan korektif menyusul ditemukannya malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK. Salah satunya, meminta 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK untuk diangkat jadi aparatur sipil negara (ASN) sebelum 30 Oktober 2021.
Presiden sebagai pimpinan puncak eksekutif, menurut Azyumardi, seharusnya bisa menyudahi polemik ini.
Presiden sebagai pimpinan puncak eksekutif, menurut Azyumardi, seharusnya bisa menyudahi polemik ini apabila misalnya KPK, BKN, dan instansi pemerintah terkait lainnya tak kunjung melaksanakan putusan ORI. Kemudian, perintah Presiden tersebut wajib dipatuhi.
”Presiden Jokowi seharusnya punya political will untuk menyudahi kegaduhan,” tutur Azyumardi.
Selain soal pandemi, lanjut Azyumardi, dengan menyudahi polemik ini, KPK bisa kembali fokus pada pemberantasan korupsi. Apalagi, pandemi ini banyak uang digelontorkan. Jika terus berpolemik, pengawasan dan pencegahan dikhawatirkan tak akan berjalan optimal.
”Dengan menyudahi kegaduhan ini, KPK bisa didorong publik supaya lebih proaktif dan lebih berani melakukan penindakan atau pemberantasan korupsi yang kian meluas lewat dana bantuan sosial dan sebagainya sehingga tidak hanya berlindung di dalam ungkapan pengawasan atau pencegahan,” ucap Azyumardi.
Menagih komitmen KPK
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani berpandangan, untuk menyudahi polemik ini, sebaiknya dicari solusi terbaik dengan tetap berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Selain itu, penyelesainnya juga harus sesuai dengan aturan, mulai dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang No 5/214 tentang ASN, serta peraturan-peraturan pelaksana lainnya.
”Sebenarnya itu memang harus dikedepankan. Bukan memperlakukan yang 51 pegawai tersebut seolah-olah sudah berstatus final dan mengikat untuk diberhentikan,” ucap Arsul.
Untuk diketahui, sebelumnya, pimpinan KPK, BKN, Lembaga Administrasi Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Hukum dan HAM telah memutuskan pemberhentian 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK. Sementara 24 pegawai lain terancam diberhentikan jika tak lolos pembinaan.
Arsul melihat, salah satu cara mengedepankan penyelesaian yang tetap merujuk pada AAUPB dan aturan dimaksud sebenarnya sudah dilaksanakan oleh KPK bersama instansi terkait ketika mereka memberikan kesempatan kepada 24 pegawai yang semula TMS untuk mengikuti pembinaan. Namun, ia mempertanyakan, mengapa kesempatan yang sama tak juga diberikan kepada 51 pegawai yang lain.
Hemat saya sebagai anggota Komisi III DPR, ya, sebaiknya mereka (pegawai KPK tak lolos TWK) juga diberi kesempatan. Kecuali, nantinya mereka tidak mau mengambil kesempatan tersebut, ya, berarti memang tidak ingin terus di KPK. (Arsul Sani)
”Hemat saya sebagai anggota Komisi III DPR, ya, sebaiknya mereka (pegawai KPK tak lolos TWK) juga diberi kesempatan. Kecuali, nantinya mereka tidak mau mengambil kesempatan tersebut, ya, berarti memang tidak ingin terus di KPK pasca-revisi UU KPK,” kata Arsul.
Hal tersebut, menurut Arsul, akan menjadi langkah bijak yang tidak keluar dari asas maupun aturan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang memerlukan fokus semua elemen bangsa. Dengan demikian, persoalan alih status pegawai KPK ini dapat segera terselesaikan.
Arsul menambahkan, jika polemik ini bisa diakhiri lebih cepat, fokus kerja pemberantasan korupsi KPK juga bisa ditingkatkan. Ia pun mengevaluasi bahwa banyak kasus lama yang mendapat sorotan publik dan menjadi komitmen Pimpinan KPK ketikauji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), tetapi belum terlihat proses lanjutannya.
Begitu pula kasus-kasus korupsi berbasis peta jalan pemberantasan korupsi di sektor-sektor penting yang dicanangkan KPK sejak lama, seperti sektor sumber daya alam, sektor perpajakan dan bea-cukai, dan sektor pangan, yang belum berjalan dengan optimal.
KPK, lanjut Arsul, masih bertumpu pada kasus suap pejabat negara yang kemudian tidak jelas pengembangannya meskipun KPK berkali-kali menyampaikan bahwa kasus suap tersebut hanya sekedar pintu masuk.
”Karena itu, kalau kita lihat, kinerja pengembalian uang negara KPK juga tidak lebih hebat daripada Kejaksaan (Agung), misalnya, yang di dua tahun terakhir ini menggarap kasus-kasus besar, seperti Jiwasraya dan Asabri,” ujar Arsul.