Perpanjangan PPKM, Pemerintah Harus Lebih Efektif Bantu Masyarakat
Pemerintah daerah jadi ujung tombak dalam penanganan pandemi dan dampak yang ditimbulkannya. Pemerintah pusat punya tugas mengawasi kerja pemerintah daerah dan membantu jika ada kesulitan yang dijumpai.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat hingga 2 Agustus mendatang perlu lebih detail dijelaskan ke publik. Dengan demikian, publik bisa turut berkontribusi. Selain itu, pemerintah diminta bekerja lebih efektif dalam membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Setelah perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di seluruh daerah diputuskan Presiden Joko Widodo, Minggu (25/7/2021), Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian mengeluarkan tiga surat instruksi yang berisi poin-poin yang perlu dilakukan hingga bentuk-bentuk pembatasan aktivitas masyarakat selama masa perpanjangan.
Ketiga surat instruksi dimaksud adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 24 Tahun 2021, Inmendagri No 25/2021, dan Inmendagri No 26/2021. Poin-poin di dalamnya wajib dilaksanakan oleh semua kepala daerah.
Terkait perpanjangan tersebut, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, berpendapat, pemerintah perlu lebih detail menjelaskan kepada masyarakat maksud perpanjangan PPKM dengan durasi yang hanya sepekan. Dengan demikian, publik bisa mengetahui kerangka kerja pemerintah, kemudian membantu pemerintah merealisasikan kerangka kerja tersebut.
Yang tak kalah penting, pemerintah harus segera membantu masyarakat yang terdampak pandemi. ”Kuncinya pemerintah daerah harus makin efektif dalam perlindungan sosial, sistem pelayanan kesehatan, untuk UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), dan BSU (bantuan subsidi upah) untuk mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja,” kata Robert saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/7/2021).
Kemudian, pemerintah pusat harus terus memantau dan mengawasi kerja setiap pemerintah daerah dalam penanganan pandemi dan dampak yang ditimbulkannya. Ia berharap, teguran yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang tidak optimal dalam bekerja dilakukan tiap minggu.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, mengingatkan pentingnya program BSU disempurnakan. Menurut Saleh, program ini perlu didukung dan diapresiasi. Sebab, program ini diharapkan membantu pekerja dan pengusaha agar dapat bertahan di tengah situasi pandemi.
Namun, perbaikan harus dilakukan pada pendataan yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan yang dinilainya belum akurat. Akibat persoalan data ini, BSU yang disediakan tidak terserap secara keseluruhan. Per 14 Desember 2020, realisasi BSU hanya mencapai Rp 27,96 triliun (93,94 persen) dari anggaran yang disediakan sebesar Rp 29,85 triliun.
”Target sasaran penerima BSU juga harus diperluas. Selain pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan, pemerintah semestinya juga memikirkan para pekerja sektor informal,” kata Saleh.
Ia menjelaskan, sama dengan pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, pekerja informal juga terdampak dari kebijakan PPKM. Penghasilan mereka menjadi tidak menentu. Bahkan, tidak jarang mereka harus menutup usahanya.
Pekerja yang berstatus tenaga sukarela yang penggajiannya jauh di bawah upah minimum kabupaten juga harus menjadi target sasaran penerima BSU. Sebab, sebagian di antara mereka bekerja di bidang kesehatan sebagai perawat dan bidan yang tenaganya sangat dibutuhkan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, kebijakan perpanjangan PPKM masih tetap dibutuhkan melihat kasus aktif Covid-19 yang masih tinggi.
Akan tetapi, agar dapat efektif, kebijakan ini perlu disertai pengawasan maksimal. Di sisi lain, kata Trubus, pemberian bantuan sosial dan jaring pengaman sosial juga harus diprioritaskan.
Ia menyoroti pula implementasi penerapan kebijakan PPKM di lapangan yang masih belum tepat. Menurut Trubus, implementasi kebijakan ini masih irasional.
Sebagai contoh, dalam Inmendagri No 24/2021 tentang PPKM Level 4 dan Level 3 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali disebutkan, warung makan/warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya diizinkan buka dengan protokol kesehatan yang ketat sampai dengan pukul 20.00 waktu setempat dengan maksimal pengunjung makan di tempat tiga orang dan waktu makan maksimal 20 menit. Pengaturan teknis berikutnya dilakukan oleh pemerintah daerah.
Menurut Trubus, pembatasan 20 menit pasti sulit diterapkan di warung makan yang biasanya harus mengantre. Aturan menyerahkan tanggung jawab kepada pemda tanpa pengawasan dari pemerintah pusat akan membuat kebijakan ini tidak optimal. Apalagi, anggaran pemerintah daerah terbatas dan fasilitas kesehatan di daerah juga minim.