Imbas Krisis Hakim Tipikor, MA Rombak Majelis PK Setya Novanto
MA terpaksa merombak majelis hakim yang menangani perkara PK Setya Novanto menyusul salah satu hakimnya telah berakhir masa tugasnya. Kini, MA tinggal memiliki tiga hakim ”ad hoc” tipikor untuk tingkat kasasi/PK.
Oleh
susana rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung terpaksa merombak majelis hakim yang menangani perkara peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Pasalnya, salah satu anggota majelis PK yang sebelumnya ditunjuk menangani perkara tersebut habis masa tugasnya pada 22 Juli 2021.
Salah satu anggota majelis PK tersebut adalah Krisna Harahap, hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung (MA). Selain Krisna, masa tugas empat hakim ad hoc tipikor lainnya, yakni Mohammad Askin, Abdul Latief, Leopold Hutagalung, dan Syamsul Rakan Chaniago, juga berakhir.
”Majelis barunya belum ditentukan. Mudah-mudahan minggu ini sudah ada penunjukan anggota majelis hakim yang baru,” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, Senin (26/7/2021).
Menurut Andi, perkara PK Setya Novanto awalnya dijadwalkan akan disidang dan diharapkan putus pada 22 Juli sebelum Krisna berakhir masa tugasnya.
”Akan tetapi, karena ketua majelis berhalangan berhubung istrinya masih dirawat karena terkena Covid-19 dan juga anggota majelis hakim, Krisna Harahap lockdown di Bandung. Oleh karena itu, persidangan perkara permohonan PK terpidana SN ditunda dan akan dijadwal ulang setelah ada pergantian hakim anggota majelis PK tersebut,” lanjut Andi.
Sebelumnya, MA menunjuk tiga hakim agung untuk menangani perkara PK Novanto yang teregister dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020. Mereka adalah Surya Jaya (ketua majelis), Sri Murwahyuni, dan Krisna Harahap. Surya Jaya merupakan hakim agung yang dilantik pada 2010. Ia telah menangani banyak perkara korupsi, di antaranya perkara proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik yang turut menyeret Novanto .
Surya Jaya bersama dengan M Askin dan Leopold Hutagalung, misalnya, pernah memperberat hukuman pengusaha Andi Narogong, terdakwa lain kasus KTP-el, dari 11 tahun penjara menjadi 13 tahun penjara di tingkat kasasi.
Adapun Novanto yang juga bekas Ketua Umum Partai Golkar, sebelumnya, dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider kurungan dan membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dititipkan Novanto ke penyidik. Saat itu, majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Hukuman 15 tahun penjara tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang meminta majelis hakim menghukum Novanto dengan pidana penjara 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Oleh Pengadilan Tipikor, Novanto dinyatakan terbukti menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Saat itu, majelis hakim menilai Novanto telah terlibat sejak awal dalam pembahasan proyek KTP-el dengan cara mengoordinasikan anggaran dan melakukan sejumlah pertemuan dengan pihak Kemendagri.
Adapun alasan pengajuan PK di antaranya, pihak Novanto menilai ada keadaan baru atau novum dan kekeliruan yang nyata di dalam putusan hakim. Mereka meminta putusan pengadilan sebelumnya dibatalkan dan Novanto dibebaskan dari segala bentuk dakwaan.
Tolak permohonan Novanto
Direktur Themis Indonesia Feri Amsari meminta agar MA menolak permohonan PK Novanto. Ia justru meminta MA untuk memperberat hukuman Novanto karena sebagai pejabat publik tidak memberi contoh dalam mendukung program pemerintah memberantas korupsi. Apalagi Novanto sempat kabur dan mempersulit aparat dalam penyidikan kasus KTP-el. ”Harusnya diperberat tanpa boleh dapat alasan keringanan hukuman,” ujarnya.
MA, tambahnya, harus mampu membuktikan bahwa sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman tertinggi masih berpihak pada pemberantasan korupsi dan tidak terlibat lebih jauh dalam upaya memangkas masa pidana para koruptor.
Tiga hakim ”ad hoc”
Saat ini, MA tinggal memiliki tiga hakim ad hoc tipikor untuk tingkat kasasi/PK. Mereka adalah Sinintha Yuliansih (hasil seleksi yang disetujui DPR Januari 2021) serta Ansori dan Agus Yunianto (hasil seleksi yang disetujui DPR pada Januari 2020).
Sebanyak lima hakim ad hoc tipikor di MA, yaitu Krisna Harahap, Moh Askin, Abdul Latief, Leopold Hutagalung, dan Syamsul Rakan Chaniago, habis masa jabatannya pada 22 Juli lalu.
”Hakim ad hoc tipikor di MA tinggal 3 orang. Sedangkan hakim ad hoc 5 (lima) orang yang habis masa tugasnya pada 22 Juli 2021 tidak ada yang diperpanjang,” ujar Andi Samsan saat dikonfirmasi.
Mereka akan menangani perkara korupsi yang jumlahnya mencapai ratusan di MA. Pada 2020, misalnya, ada 412 perkara kasasi korupsi yang masuk. Ditambah dengan sisa perkara pada 2019, beban yang ditangani MA sebanyak 440 perkara kasasi. Adapun di tingkat PK, ada 216 perkara korupsi yang masuk. Ditambah beban pada 2019, beban yang ditangani MA sebanyak 232 perkara, (Kompas, 4/7/2021).