Paguyuban Korban UU ITE kembali menyuarakan pentingnya revisi UU ITE menyusul masih terus berlanjutnya proses pemidanaan dengan UU ITE tanpa mengacu pada SKB Pedoman UU ITE. Revisi kemungkinan baru dibahas bulan depan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE mendesak dilakukan karena Surat Keputusan Bersama Pedoman UU ITE yang terbit akhir Juni lalu dinilai tidak efektif untuk menghindarkan warga dari jerat pasal-pasal karet di UU ITE. Keseriusan pemerintah ditagih untuk segera mengusulkan RUU ITE karena RUU merupakan inisiatif pemerintah.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE Muhammada Arsyad mengatakan, dirinya masih menerima laporan dari sejumlah daerah yang menunjukkan SKB Pedoman UU ITE itu belum efektif mencegah warga dijerat dengan ketentuan-ketentuan yang multitafsir dari UU ITE. SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatikan Johnny G Plate, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 23 Juni lalu.
Sebagai contoh, ada seorang buruh di Jakarta Utara yang dilaporkan oleh perusahaannya dengan dalil pencemaran nama baik. Pasal yang digunakan ialah Pasal 45 Ayat (3) dan atau Pasal 27 Ayat (3).
Arsyad mengatakan, kasus buruh pabrik garmen bernama Susi di Jakut itu menunjukkan pedoman dalam SKB itu tidak dipatuhi oleh penegak hukum karena seharusnya jika mengacu pada SKB, Susi tidak dapat diproses. Sebab, kasus pencemaran nama baik yang dimaksud di dalam SKB itu harus eksplisit menyebut nama orang perorangan, dan bukan nama institusi, termasuk perusahaan. Pihak yang dapat melaporkan juga adalah orang perorangan yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Sebelumnya, buruh tersebut mencuit di Twitter soal kebijakan perusahaannya yang tidak menggaji buruh yang diliburkan karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Cuitan itu kemudian dijadikan bahan laporan ke polisi dengan dalil pasal-pasal di dalam UU ITE.
”Namun, ini yang melaporkan unggahan buruh itu di dalam media sosial (Twitter) adalah perusahaannya, dan tidak eksplisit orang perorang sebagaimana diatur di dalam SKB. Ini menunjukkan SKB itu tidak dipatuhi oleh penegak hukum,” kata Arsyad, saat dihubungi pada Minggu (25/7/2021) dari Jakarta.
Laporan kasus serupa, menurut Arsyad, juga ia terima dari Bandung dan Semarang. Masih terjadinya kasus kriminalisasi dengan UU ITE, sekalipun telah ada SKB, menunjukkan kian mendesaknya RUU ITE segera diusulkan kepada DPR. Ketentuan yang ada di dalam SKB itu dipandang kurang kuat, dan tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk memproses atau tidak memproses seseorang yang diduga melanggar UU ITE.
”Hakim, misalnya, tidak akan menjadikan SKB ini sebagai pertimbangannya karena ini hanya merupakan pedoman teknis dan bukan merupakan ketentuan sesuai UU. Sebagai petunjuk teknis, SKB ini bisa dilakukan dan bisa juga tidak dilakukan. Jangan berharap SKB ini bisa menjadi solusi masalah kebebasan berekspresi yang dirampas di dalam UU ITE,” ucapnya.
Dalam penerapannya, SKB ini bias dan kental dengan relasi penguasa. Arsyad mencontohkan kasus seorang aktivis di Baubau, Sulawesi Tenggara, yang meskipun telah memenangi perkaranya di prapaeradilan, kini dipanggil lagi dalam kasus yang sama. Hal ini diduga karena pelapor adalah wali kota.
”Kenapa, kok, polisi tetap memanggil, padahal dia sudah menang di praperadilan? Mungkin karena yang melaporkan adalah wali kota sehingga pengaruh relasi kuasa juga besar memengaruhi apakah suatu kasus UU ITE diteruskan ataukah tidak,” katanya. Selain relasi kuasa, menurut Arsyad, besarnya modal juga memengaruhi keberlanjutan suatu kasus UU ITE.
Faktor lainnya, sejumlah oknum penegak hukum yang kerap mengikuti kemauan orang-orang yang berkuasa dan memiliki modal itu untuk memerkarakan orang lain dengan UU ITE. Keberadaan SKB itu ditekankannya tidak sepenuhnya menjamin warga terbebas dari jeratan pasal-pasal karet, sebab ada faktor kuasa, modal, dan oknum penegak hukum yang juga memengaruhi keberlanjutan suatu kasus.
Revisi UU ITE pun menjadi kebutuhan mendesak untuk meminimalkan risiko penerapan pasal-pasal yang multitafsir. Kendati demikian, revisi itu pun sebaiknya tidak setengah-setengah. ”Menurut kami, revisi itu jangan setengah-setengah. Pasal-pasal bermasalah sebaiknya dicabut saja. RUU ITE ke depannya sebaiknya fokus mengatur sistem digitalisasi di negeri ini. Jangan masuk ke ranah pidana, seperti pencemaran nama baik, dan sebagainya, sebaiknya menggunakan pendekatan restoratif,” katanya.
Sementara itu, masuknya RUU ITE ke dalam Program Legislasi Nasional 2021 akan sangat ditentukan oleh evalusi Prolegnas 2021 yang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, dalam pembicaraan dengan Menkumham beberapa waktu lalu, revisi UU ITE telah disebutkan akan menjadi inisatif pemerintah.
”Pemerintah ingin memasukkan tiga RUU, yaitu RUU ITE, RUU KUHP, dan RUU Perampasan Aset. Nanti kita lihat bagaimana RUU inisiatif itu diusulkan di dalam evaluasi Prolegnas 2021,” katanya.
Sebelumnya, RUU ITE telah masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024 (prolegnas jangka panjang), tetapi merupakan usulan DPR. Jika pemerintah dalam evaluasi Prolegnas 2021 mengusulkan RUU itu menjadi inisatif pemerintah, kewenangan menyusun draf dan naskah akademisnya akan berpindah ke pemerintah.
Menurut rencana, evaluasi Prolegnas 2021 baru dilakukan pada masa sidang berikutnya. Masa sidang berikutnya yang merupakan masa sidang pertama 2021-2022 akan dibuka pada 16 Agustus 2021.