Banyak temuan Dewan Pengawas KPK yang berbeda dengan Ombudsman Republik Indonesia. Pengumpulan keterangan oleh Ombudsman lebih beragam daripada Dewan Pengawas KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK lepas dari ancaman sanksi etik setelah Dewan Pengawas KPK menyatakan pimpinan KPK tak melanggar kode etik dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Hal ini menuai pertanyaan karena beberapa hari lalu, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan mereka melakukan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara tersebut.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan menyampaikan hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dalam jumpa pers secara daring, Jumat (23/7/2021). Dugaan pelanggaran kode etik dinilai tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik.
Ada banyak perbedaan antara temuan Dewas KPK dan Ombudsman RI (ORI) dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Dalam hal sosialisasi rancangan peraturan KPK yang mengatur soal alih status, misalnya, Dewas KPK menemukan bahwa pertanyaan pegawai KPK tentang konsekuensi dari tidak lolos TWK telah ditanggapi Kepala Biro SDM KPK. Pertanyaan mengenai TWK juga pernah dijawab Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui surat elektronik pada 6 Maret 2021.
Adapun berdasarkan temuan dari ORI, penyebarluasan informasi terakhir pada 16 November 2020.
Perbedaan juga terlihat terkait kapan usulan TWK muncul. Dari temuan Dewas, usulan TWK muncul pertama kali dalam rapat membahas rancangan peraturan KPK soal alih status, 9 Oktober 2020. Temuan ORI, usulan TWK baru muncul saat rapat harmonisasi rancangan peraturan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 26 Januari 2021.
Temuan soal peserta yang hadir saat rapat harmonisasi terakhir itu pun berbeda. Versi Dewas, Sekjen KPK Cahya Harefa turut hadir selain Ketua KPK Firli Bahuri dan Nurul Ghufron. Adapun menurut ORI, hanya Firli yang hadir.
Meski demikian, ada pula persamaan dari temuan Dewas dan ORI. Keduanya sama-sama menemukan bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang memunculkan usulan TWK.
Dewas KPK sampai pada kesimpulannya setelah memeriksa pihak terlapor, yakni perwakilan dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, internal KPK, BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), serta Kemenkumham.
ORI pun memeriksa pihak- pihak itu. Ditambah pihak terkait lainnya, yakni Lembaga Administrasi Negara dan pihak yang menyiapkan TWK, yakni dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Dinas Psikologi TNI AD, Pusat Intelijen TNI AD, serta Badan Intelijen Strategis TNI. ORI juga meminta keterangan ahli administrasi publik dan hukum.
Pelanggaran terpenuhi
Perbedaan temuan berikut hasil itu tak pelak menuai pertanyaan. ”Ada perbedaan pendapat antara Dewas dan ORI, justru yang kami pertanyakan Dewas. Mengapa ORI sebagai lembaga eksternal bisa jauh lebih cermat dan teliti,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana.
Jika dicermati dari hasil temuan ORI, menurut Kurnia, sebenarnya beberapa di antaranya telah memenuhi kategori pelanggaran etik. Sebagai contoh, kontrak swakelola terkait TWK yang dibuat tanggal mundur (backdate) serta indikasi pemalsuan dokumen ketika berita acara rapat harmonisasi pada 26 Januari 2021 malah ditandatangani pihak yang tak hadir dalam forum itu.
Rizka Anungnata, salah satu pegawai KPK yang tak lolos TWK, juga melihat Ombudsman lebih memiliki kemauan untuk mengungkap kebenaran. ”Padahal, Dewas disajikan data dan bukti yang sama dengan Ombudsman,” ujarnya.
Adapun Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana menjelaskan, usulan harus ada tes sebagai syarat alih status pegawai KPK sebenarnya diajukan Kemenpan dan RB. Kemudian BKN mengusulkan TWK. Terkait pelibatan instansi lain dalam tes, menurut Bima, instrumen tes tak harus dimiliki BKN. BKN bisa menggunakan instrumen instansi lain.
Sementara itu, Kompas sudah mencoba meminta tanggapan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, tetapi mereka tak merespons.