Usut Dugaan Pidana dalam Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Badan Kepegawaian Negara atau BKN mempersilakan jika dugaan pidana dilaporkan ke aparat penegak hukum. BKN justru menilai banyak kelemahan dari temuan Ombudsman atas pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, yang ditemukan Ombudsman Republik Indonesia, berpotensi kuat mengarah pada tindak pidana. Kepolisian diharapkan segera mengusut potensi pelanggaran pidana tersebut.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/7/2021), menilai, dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dirilis Ombudsman Republik Indonesia (ORI), ada beberapa tata cara yang melawan hukum.
Namun, untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran pidana, harus dibuktikan dua hal, yakni niat jahat (mens rea) serta perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
”Kalau dilihat dari prinsip adanya perbuatan yang dilarang dan ada niat jahat dari tindakan itu, maka kalau ada dua alat bukti yang cukup, ya, itu indikasi pidananya kuat,” ujar Aan.
Aan menjelaskan, setidaknya ada dua tindakan dalam pelaksanaan TWK, yang berpotensi kuat mengarah ke tindak pidana. Pertama, kontrak swakelola terkait TWK yang dibuat tanggal mundur (backdate). Kedua, berita acara hasil rapat harmonisasi rancangan peraturan KPK yang jadi dasar hukum alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, pada 26 Januari 2021, yang ditandatangani oleh para pejabat yang justru tidak hadir saat rapat.
Aan berpendapat, dua tindakan di atas dapat dikenai Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan dokumen. ”Tinggal dibuktikan nanti pemenuhan unsur-unsurnya,” katanya.
Pembuktian
Jika merujuk pada laporan ORI, lanjut Aan, dua alat bukti itu seharusnya mudah didapatkan. Bukti pertama bisa berupa dokumen terkait kontrak swakelola atau berita acara hasil rapat harmonisasi. Lalu, bukti kedua bisa menghadirkan saksi yang menjalani atau mengetahui secara langsung peristiwa tersebut. Semua itu diyakini sudah didalami juga oleh ORI pada saat pemeriksaan.
”Jadi, kalau Ombudsman atau pegawai KPK punya alat bukti itu, itu bisa masuk ke ranah pidana,” ucap Aan.
Kemudian, untuk membuktikan niat jahat dari pelaku, bisa dilihat dari pembuatan kontrak swakelola terkait TWK yang dibuat tanggal mundur (backdate). Itu bisa dianggap sebagai cara menghalang-halangi seseorang menjadi aparatur sipil negara (ASN). Apalagi, dari hasil pemeriksaan ORI, ternyata Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki kompetensi dalam melaksanakan TWK.
Atas niat jahat tersebut, timbul kerugian individu dari para pegawai KPK yang tidak lolos tes. Hak mereka untuk mendapatkan perlakuan adil dalam hubungan kerja pun dirampas.
”Jadi, niat jahatnya itu merekayasa proses agar memang targetnya orang-orang ini tidak bisa masuk. Itu bahayanya,” ujar Aan.
Lebih jauh lagi, menurut Aan, bahkan jika dokumen backdate itu mengakibatkan kerugian uang negara, bisa masuk pula tindak pidana korupsi. Namun, hal tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Selain itu, terkait berita acara hasil rapat yang ditandatangani oleh para pejabat yang justru tidak hadir saat rapat, ia melihatnya sebagai bentuk pemalsuan dokumen. Mereka yang menandatangani surat bisa dikenai kualifikasi pelaku (dader).
”Apabila mereka menandatangani itu diperintah oleh para pemimpin, para pemimpin yang menyuruh melakukan itu kena juga sebagai otak intelektual tindak pidana,” ucap Aan.
Bergerak aktif
Terhadap sejumlah potensi pelanggaran pidana itu, Aan menilai, kepolisian semestinya dapat segera mengusutnya. Sebab, pasal yang dikenakan bukan merupakan delik aduan, melainkan delik biasa atau delik umum.
”Polisi sesuai dengan kewenangannya tidak harus menunggu laporan. Seharusnya, kalau ada kasus seperti ini pun, indikasi kuat tindak pidana seperti ini, polisi bisa memproses, bisa dipanggil (yang diduga terlibat),” kata Aan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pun mendorong agar kepolisian segera mengeluarkan surat perintah penyelidikan atas potensi tindak pidana yang terjadi dalam pelaksanaan TWK. Ini juga penting agar motif di balik TWK ini dapat segera terungkap ke publik.
Jika kepolisian membiarkan potensi tindak pidana ini, publik sulit akan sulit berharap pada profesionalisme Polri. Apalagi, kasus ini sudah mendapatkan perhatian publik yang sangat besar dan menjadi atensi Presiden.
”Ini sekaligus menjadi ujian bagi kepolisian untuk membantah tudingan-tudingan tidak independen dan tidak obyektif ketika menangani perkara yang melibatkan kader Polri aktif, yaitu Firli Bahuri (Ketua KPK),” ujar Kurnia.
Selain soal pemalsuan dokumen, menurut Kurnia, potensi pelanggaran pidana yang perlu diusut kepolisian adalah upaya menghalang-halangi proses penyidikan (obstruction of justice). Ini dapat dilihat dari akibat pelaksanaan TWK yang berujung pada penonaktifan pegawai KPK, terutama penyelidik dan penyidik yang sedang menangani perkara besar.
Artinya, lanjut Kurnia, pimpinan KPK dan pihak-pihak lain dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. ”Jadi, kami anggap ini sebagai perbuatan untuk menghalang-halangi penyidikan yang sedang diusut oleh para pegawai KPK yang akhirnya terdampak TWK,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, sejumlah kepala satuan tugas penyidikan terdampak TWK ini, di antaranya, adalah Novel Baswedan, Rizka Anungnata, Ambarita Damanik, dan Andre Dedy Nainggolan.
Banyak kelemahan
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana mempersilakan apabila potensi pelanggaran pidana dari temuan Ombudsman kemudian dilaporkan kepada kepolisian. ”Itu hak mereka,” ujarnya.
Bima mengungkapkan, secara logika hukum, banyak kelemahan dari hasil temuan ORI. Semua itu akan menjadi jawaban atas LHP yang disampaikan ORI. Adapun jawaban tersebut disusun oleh sebuah tim yang mencakup sejumlah kementerian/lembaga, di antaranya BKN, KPK, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. ”Kami terus berkoordinasi secara ketat,” kata Bima.
Sementara itu, Kompas sudah mencoba meminta klarifikasi kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, tetapi mereka tidak merespons.
Adapun Rasamala Aritonang, salah satu pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan, mengatakan, pihaknya masih menunggu LHP resmi dari Ombudsman. LHP tersebut akan menjadi salah satu bukti yang akan dibawa saat pihaknya melaporkan potensi pelanggaran tindak pidana kepada kepolisian. Namun, sebelum pelaporan dilakukan, ia berharap Polri ikut aktif mengusut potensi tindak pidana dalam kasus ini. Apalagi, potensi tindak pidana itu dilakukan oleh pejabat negara.
”Ini isu kritikal sekali dalam tata kelola negara dan ini disaksikan publik. Jadi, menurut saya, Polri bisa bersikap lebih aktif untuk merespons temuan (Ombudsman) ini,” kata Rasamala.