Tak Laporkan Pencurian Emas Sitaan, Plt Direktur di KPK Dijatuhi Teguran Tertulis
Alih-alih mendapat sanksi etik berat, Plt Direktur Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK hanya diberi teguran tertulis II lantaran tidak melaporkan pencurian barang bukti 1,9 kilogram emas yang dilakukan bawahannya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pencurian barang bukti tindak pidana korupsi berupa 1,9 kilogram emas oleh pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi berbuntut panjang. Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK Mungki Hadipratikto dijatuhi sanksi teguran tertulis karena dinilai bersalah oleh Dewan Pengawas KPK.
Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis II dengan masa berlaku hukuman selama 6 bulan.
Putusan tersebut dibacakan ketua majelis Albertina Ho dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik terkait pengelolaan barang bukti dan sitaan KPK, Jumat (23/7/2021), yang diselenggarakan secara daring. ”Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis II dengan masa berlaku hukuman selama 6 bulan,” kata Albertina didampingi Harjono dan Syamsudin Haris selaku anggota majelis sidang etik.
Sidang pelanggaran kode etik itu bermula dari terungkapnya pencurian barang sitaan KPK berupa 1,9 Kg emas oleh pegawai KPK berinisial IGA. Anggota Satuan Tugas Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) itu sudah diberhentikan dengan tidak hormat dan menjalani proses pidana.
Plt Direktur Labuksi Mungki Hadipratikno menjadi terperiksa karena merupakan atasan IGA. Albertina mengatakan, terperiksa terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku karena tidak bekerja sesuai prosedur standar operasi (SOP). Kesalahan lain adalah, Mungki tidak melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang dilakukan insan komisi. Kedua hal tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf e dan Pasal 7 Ayat (1) Huruf a tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Sanski ringan berupa teguran tertulis dijatuhkan, karena majelis hakim menilai Mungki terbukti melakukan dua pelanggaran tersebut. Hal yang memberatkan adalah terperiksa sebagai Plt Direktur Labuksi KPK seharusnya menjadi contoh dalam pelaksanaan SOP, namun dia justru melakukan sebaliknya.
Selain itu, terperiksa tidak melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang dilakukan oleh insan komisi yang berada di unit kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Adapun hal yang meringankan adalah terperiksa berterus terang akan perbuatannya, menyesal, serta terperiksa belum pernah dijatuhi sanksi etik.
Sebelumnya, barang bukti 1,9 kg emas dicuri oleh IGA, anggota satgas yang ditugaskan menyimpan, mengelola barang bukti pada Direktorat Labuksi di KPK. IGA mengambil barang bukti dalam perkara Yaya Purnomo yang ada di tempat penyimpanan barang bukti. Barang bukti tersebut saat ini sudah menjadi barang rampasan yang harus dilelang untuk negara.
Pencurian atau penggelapan tersebut terjadi pada awal Januari 2020. Pelanggaran ini baru diketahui pada Juni 2020 ketika barang bukti tersebut akan dieksekusi. Sebagian barang bukti itu sudah digadaikan dan sebagian lagi disimpan.
Dewas memutuskan IGA telah melakukan pelanggaran kode etik, tidak jujur, dan menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut merupakan pelanggaran dari nilai-nilai integritas yang menjadi pedoman perilaku seluruh insan KPK.Sidang yang dilakukan Dewas tidak akan menghapuskan pidana terhadap IGA.
Pidana
Orang yang mengetahui tapi mendiamkan juga seharusnya dihukum lebih berat. Selain bertentangan dengan kewajibannya untuk melaporkan dan melarang sebagai atasan, ia juga secara sadar telah membiarkan terjadinya tindak pidana.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, sanksi yang dijatuhkan tersebut dinilai tidak serius, bahkan terkesan main-main. Sebab, tindak pidana yang terkait dengan terperiksa adalah tindak pidana yang cukup berat, yakni pencurian yang dilakukan oleh orang yang memiliki akses karena pekerjaannya.
Tindak pidana tersebut dapat dijerat dengan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara.
"Orang yang mengetahui tapi mendiamkan juga seharusnya dihukum lebih berat. Selain bertentangan dengan kewajibannya untuk melaporkan dan melarang sebagai atasan, ia juga secara sadar telah membiarkan terjadinya tindak pidana," kata Fickar.
Menurut Fickar, membiarkan terjadinya kejahatan adalah juga merupakan kejahatan. Dengan demikian sanksi etis tidak cukup Ketika KPK memberikan toleransi denga kejahatan sekecil apapun, hal itu akan membahayakan lembaga dan rentan terhadap penyalahgunaan jabatan