Regulasi belum mengatur secara detail mengenai rangkap jabatan fungsional seorang ASN. UU ASN baru mengatur larangan ASN merangkap sebagai anggota partai dan mengikuti kontestasi politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik rangkap jabatan aparatur sipil negara mengundang perhatian Panitia Kerja Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas Rancangan Undang-Undang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Persoalan rangkap jabatan itu pun akan dibicarakan dalam pembahasan RUU ASN pada masa sidang mendatang.
Anggota Panja RUU ASN Komisi II DPR Yanuar Prihatin saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (23/7/2021), mengungkapkan, banyak informasi yang menyebutkan mengenai adanya sejumlah ASN yang rangkap jabatan, termasuk merangkap komisaris badan usaha milik negara (BUMN). Informasi itu muncul setelah polemik rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mencuat di hadapan publik.
”Ini, kan, kami baru mendapatkan informasinya setelah ada kejadian itu (rangkap jabatan Rektor UI) dan ini tentu menjadi perhatian kami. Menurut saya, ini memang perlu didalami lagi dan dipertanyakan duduk perkaranya. Kok, bisa rangkap jabatan di ASN. Untuk memastikan itu, tentu harus diatur dengan jelas di dalam UU, mana yang boleh dan tidak boleh,” katanya.
Menurut Yanuar, regulasi yang paling tepat untuk mengatur boleh tidaknya ASN rangkap jabatan ialah UU ASN. Oleh karena itu, pengaturan rangkap jabatan akan diusulkan untuk dibicarakan dalam pembahasan RUU ASN di Komisi II DPR pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 yang dibuka pada 15 Agustus. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu akan mengusulkan agar aturan tentang rangkap jabatan diperjelas dalam regulasi tersebut.
Ini karena Yanuar berpandangan, rangkap jabatan kurang tepat karena seolah ASN bersangkutan adalah orang yang mampu mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus. Penunjukan ASN untuk rangkap jabatan juga seolah meniadakan orang lain yang memiliki keahlian atau kemampuan serupa. ”Kok, seperti tidak ada orang lain sehingga harus rangkap jabatan,” ujarnya.
Pengkajian ASN rangkap jabatan, lanjut Yanuar, mesti dilakukan dengan berbagai perspektif. Pertama, dari sisi kemampuan dan kapasitas ASN untuk mengerjakan dua tanggung jawab sekaligus. Sekretaris Jenderal DPR dan Rektor UI yang ditunjuk menjadi komisaris BUMN, misalnya, sudah memiliki tugas pokok dan tanggung jawab yang berat sebagai ASN. Keduanya kemudian ditunjuk sebagai komisaris BUMN, yang berarti mendapat tanggung jawab baru. Hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana mereka mampu menjalankan tanggung jawab yang tidak ringan tersebut.
”Kedua, apa juga tidak ada orang lain yang memiliki keahlian seperti mereka, kok, sampai rangkap jabatan. Selain itu, pertanyannya, bolehkah seorang ASN menerima pendapatan lain di luar gajinya dari negara. Kalau di DPR, kan, itu ada aturannya. Anggota DPR, kan, tidak dapat menjalani profesi lain. Misalnya, kalau dia pengacara, maka sudah tidak dapat lagi beracara dan tidak boleh juga anggota DPR itu rangkap jabatan, termasuk di BUMN,” tuturnya.
Hal lain yang perlu didalami adalah aturan mengenai rangkap pendapatan. Sebagai ASN, mereka mendapatkan gaji dari negara, begitu pula gaji komisaris BUMN bersumber dari keuangan negara. Artinya, ASN yang merangkap komisaris BUMN menerima pendapatan dobel dari negara.
Tak terbuka
Lebih dari itu, menurut Yanuar, selama ini perekrutan pimpinan BUMN, baik itu direksi maupun komisaris, kerap tidak jelas aturannya. DPR dan publik hanya mengetahui secara tiba-tiba Menteri BUMN menunjuk seseorang sebagai direksi dan komisaris. Tidak ada yang mengetahui proses dan kualifikasi karena penunjukan tidak dilakukan secara terbuka.
Usulan agar pengaturan mengenai rangkap jabatan ASN dibahas dalam revisi UU ASN juga disampaikan anggota Panja RUU ASN dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat. Titik fokus pertimbangannya ialah beban tugas dan tanggung jawab ASN sehingga ASN bersangkutan bisa fokus dalam menjalankan profesi dan tanggung jawabnya sebagai ASN.
Djarot mengungkapkan, UU ASN sudah jelas mengatur larangan ASN menjadi anggota partai politik, apalagi menjadi ketua parpol. Begitu ASN masuk dalam daftar calon anggota legislatif (caleg), saat itu juga harus berhenti sebagai ASN.
Namun, pengaturan rangkap jabatan fungsional di dua institusi negara belum diatur secara rinci. ”Ini juga perlu didalami. Nanti kita lihat beban kerjanya seperti apa sehingga dia tidak meninggalkan atau melalaikan tugas dan kewajiban yang melekat kepadanya, entah itu dia rektor atau sekjen DPR,” tutur mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.
Selain polemik Rektor UI Ari Kuncoro, belakangan juga diketahui Sekretaris Jenderal Indra Iskandar ditunjuk sebagai komisaris PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). PT BKI adalah perusahaan yang memberikan klasifikasi kapal niaga berbendera Indonesia.
Masukan untuk mengatur rangkap jabatan ASN ini sesuatu yang baik dan nanti akan kita dalami dalam pembahasan RUU ASN.
Djarot mengatakan, posisi komisaris sebagai pengawas jalannya BUMN memainkan peranan krusial. Sebagai pengawas, komisaris tidak cukup hanya ikut rapat sebulan sekali, atau tiga bulan sekali, atau hanya datang saat rapat umum pemegang saham (RUPS). Akan tetapi, komisaris memiliki tanggung jawab untuk memastikan direksi BUMN menjalankan usaha sesuai target perusahaan.
”Masukan untuk mengatur rangkap jabatan ASN ini sesuatu yang baik dan nanti akan kita dalami dalam pembahasan RUU ASN,” ucapnya.
Dalam kaitannya dengan hal itu, Djarot menegaskan, peran Komisi ASN (KASN) dapat diperkuat untuk memberikan penilaian dan pertimbangan dalam penentuan jenjang karier dan promosi, termasuk jika ada penugasan khusus terkait dengan posisi komisaris dan sebagainya. Hal itu juga akan didalami saat pembahasan RUU ASN.
Sebelumnya, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, munculnya tokoh kampus, guru besar, dan orang-orang profesional di luar ASN menjadi komisaris BUMN adalah fenomena baru. Setelah pemilihan umum (pemilu) presiden dilakukan secara langsung, pelan-pelan muncul kecenderungan baru, yakni menempatkan orang-orang yang dianggap berjasa di dalam pemilu sebagai staf khusus di pemerintahan, hingga komisaris BUMN.
”Simpatisan ataupun ahli di kampus, yang dinilai memiliki keahlian khusus serta ada akses kepada kekuasaan bisa ditempatkan sebagai stafsus atau komisaris BUMN. Ini suatu kecenderungan yang kurang baik karena pemilihan orang per orangan itu belum tentu sesuai dengan kompetensi yang mereka punyai,” tuturnya.
Jika sebagai pengawas mereka tidak memiliki kompetensi di bidang usaha yang diawasinya, mereka bisa saja dibohongi oleh direksi. Karena komisarisnya tidak paham, dewan komisaris tinggal dikasih fasilitas, disuruh rapat, dan putuskan, serta tidak ada pilihan selain tanda tangan. Ini, kan, menjadi tidak baik bagi BUMN bersangkutan.
Ia mengatakan, seharusnya ada perbaikan regulasi yang mengatur soal persyaratan dan kompetensi komisaris di BUMN. Jangan sampai mereka yang terpilih sebagai komisaris adalah orang-orang yang tidak memiliki kompetensi terkait dengan bidang usaha yang harus mereka awasi.
”Jika sebagai pengawas mereka tidak memiliki kompetensi di bidang usaha yang diawasinya, mereka bisa saja dibohongi oleh direksi. Karena komisarisnya tidak paham, dewan komisaris tinggal dikasih fasilitas, disuruh rapat, dan putuskan, serta tidak ada pilihan selain tanda tangan. Ini, kan, menjadi tidak baik bagi BUMN bersangkutan,” katanya.
Djohermansyah mengatakan, fenomena bagi-bagi posisi komisaris itu tidak hanya terjadi di BUMN, tetapi juga di BUMD. Di daerah, fenomena ini terjadi juga untuk mengakomodasi simpatisan dan pendukung kepala daerah dalam pilkada.
Kendati demikian, bukan berarti ASN yang merangkap jabatan menjadi komisaris dapat dibenarkan. Menurut Djohermansyah, sebaiknya orang-orang yang merangkap jabatan itu memilih salah satu posisi, apakah tetap pada posisinya saat ini ataukah menjadi komisaris. ”Sebaiknya, kalau memang tidak ahli di bidang yang ditunjuk, mereka mundur saja,” katanya.