Tengah Diuji MK, Pelaksanaan UU PSDN untuk Pertahanan Negara Diminta Ditunda
Meskipun proses pendaftaran komponen cadangan sebagai bagian dari UU PSDN telah dimulai oleh Kemhan sejak Juni lalu, UU tersebut tetap diajukan uji materinya di MK oleh empat organisasi non pemerintah atau LSM.
Oleh
Susana rita
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi diminta untuk memerintahkan pemerintah menunda sementara pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Pasalnya, ketentuan tersebut tengah diuji konstitusionalitasnya di MK. Penundaan pelaksanaan UU tersebut penting untuk menghindari pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga dan pemohon uji materi di MK.
Penundaan tersebut kian mendesak sebab Kementerian Pertahanan RI telah memulai proses pendaftaran komponen cadangan pertahanan negara sejak Juni 2021 lalu. Penyiapan komponen cadangan (komcad) merupakan bagian dari pelaksanaan UU PSDN yang di antaranya mengatur, komcad dari unsur warga negara. Komponen cadangan disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar kekuatan dan kemampuan komponen utama menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
Atas permintaan tersebut, hakim konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan kekhawatirannya akan potensi terjadinya kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara. “Bagaimana kalau MK memutuskan untuk menunda berlakunya UU ini, dan kalau terjadi situasi seperti sekarang ini (Covid-19)? Kita lihat situasi global, banyak negara yang kolaps. Pertumbuhan minus (akibat pandemi Covid-19), sehingga secara langsung atau tidak langsung, terjadi ketegangan-ketegangan dalam hubungan bernegara. Hal ini dapat memicu konflik. Konfliknya bisa sampai konflik militer. Kalau kita tidak punya UU ini ,dan kita nyatakan tidak berlalu, (khawatirnya) itu bisa terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan berbahayanya sistem pertahanan dan keamanan negara,” ujar Arief, Kamis (22/7/2021), di gedung MK, Jakarta.
Sebelumnya, empat organisasi nonpemerintah, yaitu Imparsial yang diwakili Gufron, Kontras yang diwakili Indria Ferdina Alphasoni, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta yang diwakili Usman Hamid, dan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia yang diwakili Totok Yulianto, serta tiga peneliti di lembaga tersebut meminta MK membatalkan 13 pasal di UU No 23/2019 yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 4 Ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 Ayat (1) Huruf a, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 Ayat (1) dan (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82.
Kemarin, MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan oleh majelis panel yang diketuai hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dengan hakim panel Arief Hidayat dan Suhartoyo. Para pemohon diwakili oleh tim kuasa hukum di antaranya Mohammad Busryol Fuad, Husein Ahmad, dan lainnya.
“Bagaimana kalau MK memutuskan untuk menunda berlakunya UU ini, kalau terjadi situasi seperti sekarang ini (Pandemi Covid-19)? Kita lihat situasi global, banyak negara yang kolaps. Pertumbuhan minus (akibat Covid-19), sehingga secara langsung atau tidak langsung, terjadi ketegangan-ketegangan dalam hubungan bernegara. Hal ini dapat memincu konflik. Konfliknya bisa sampai konflik militer. Kalau kita tidak punya UU ini, dan kita nyatakan tidak berlaku, (khawatirnya) itu bisa terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan berbahayanya sistem pertahanan dan keamanan negara” (Hakim Konstitusi Arief Hidayat)
Ketidakpastian hukum
Saat membacakan permohonannya, Busryol mengungkapkan adanya sejumlah pasal yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, Pasal 4 Ayat (2) Huruf c yang mengatur tentang jenis-jenis ancaman mulai dari ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Rumusan ancaman dalam pasal tersebut juga berbeda dengan rumusan yang ada di dalam UU Pertahanan Negara yang hanya mengidentifikasi ancaman militer dan nonmiliter.
Ketentuan berikut dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara menambahkan adanya ancaman hibrida yang sebenarnya lebih menekankan pada aspek ideologi negara, dan bukan kedaulatan negara sebagai inti dari pertahanan negara. “Permasalahan inilah yang kemudian menjadi pangkal kekaburan dari definisi dan jenis ancaman yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum akibat lahirnya UU a quo,” ujar Busyrol.
Pemohon juga mempersoalkan identifikasi unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung dan sebagai komcad seperti diatur di Pasal 17 dan Pasal 28 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Konstitusi menyebutkan, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui system hankam rakyat semesta dimana TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
“Bahwa penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal a quo telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana diatur di Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 yang bersifat limitative,” ujar Busyrol.
Dipersoalkan pula, ketentuan pendaftaran komponen cadangan oleh warga negara yang bersifat sukarela tetapi pengaturan komponen cadangannya selain manusia, yakni sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana serta prasarana lain, yang tidak mengenal prinsip kesukarelaan. Terlebih lagi, aturan main penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana lain sebagai komcad tidak rigid, sehingga berpotensi melanggar HAM khususnya terkait hak atas properti yang tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang.
Hal tersebut juga berpotensi menimbulkan terjadinya pengambilalihan sumber daya alam, buatan, serta prasarana dan sarana lain milik warga oleh negara secara sewenang-wenanga. Potensi konlik sumber daya alam dan konflik agraria antara negara dan masyarakat meningkat. Di Indonesia, konflik pertanahan antara militer dengan masyarakat pernah dan masih terjadi di beberapa tempat. Konflik tersebut diawali dari pengambilalihan tanah untuk alasan kepentingan pertahanan negara seperti terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur; Urut Sewu, Kebumen Jawa Tengah; dan lain-lain.
Pemohon juga mempersoalkan prinsip kesukarelaan yang berlaku dalam pendaftaran warga menjadi komcad, tetapi menjadi bersifat wajib pada saat mobilisasi (pasal 77). Hal tersebut dinilai bertentangan dengan hak untuk conscientious objection yang melindungi setiap orang untuk menolak dilibatkan di dalam kendinasan militer, baik sebelum atau sesudah bergabung dengan Angkatan bersenjata. Ini ditegaskan oleh Komisi HAM PBB untuk segera mengintegrasikan hak untuk conscientious objection dalam proses legislasi negara-negara ICCPR.
Kekosongan hukum
“Permasalahan inilah yang kemudian menjadi pangkal kekaburan dari definisi dan jenis ancaman yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum akibat lahirnya UU a quo” (Salah seorang anggota tim kuasa hukum, Mohammad Busryol Fuad)
Hakim konstitusi Arief Hidayat menyarankan kepada pemohon untuk mencari jalan keluar atas potensi kekosongan hukum yang terjadi jika MK membatalkan UU ini dan menyatakannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Biasanya ada jalan keluar yang dimintakan pemohon supaya tak terjadi kevakuman hukum sehingga itu harus bagaimana. Di era pandemi yang situasinya kritis, kemudian UU ini dibatalkan oleh MK, ada kekosongan hukum. Bagaimana kalau ada ancaman dan serangan dari luar. Kita tahu misalnya di Laut China Selatan ada peningkatakan ketegangan-ketegangan. Kalau itu sampai terjadi, di era pandemic ini, karena ada kelangkaan-kelangkaan karena pertumbuhan minus semua, kita gunakan apa untuk mobilisasi untuk bisa menangkal ancaman-ancaman yang terjadi baik ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Tidak ada instrumen hukum, tidak ada UU yang bisa dipakai. Nanti kita gelagapan. Kita mengalami kebingungan,” ujar Arief.
Ia mengungkapkan, situasi seperti itu sebenarnya sudah terjadi. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan di masa pandemi ini, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Bahkan, perppu tersebut ada yang sedang diuji di MK. Oleh karena itu, Arief menyarankan kepada pemohon agar mempertimbangkan jalan keluar seperti meminta MK menyatakan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU 23/2019.
“Mekanisme yang ada di MK bisa jadi begini, dalam petitum disebutkan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Pasal-pasal ini masih berlaku dengan syarat-syarat begini agar tidak terjadi kevakuman hukum,” ujar Arief.
Sementara hakim konstitusi Suhartoyo meminta pemohon memperkuat argumentasi mengenai kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Pemohon khususnya yang berasal dari badan hukum diminta untuk menunjukkan bahwa selama ini kegiatan atau action yang dilakukan berkorelasi dengan norma-norma yang dipersoalkan. Dengan demikian, MK tidak akan kesulitan dalam menemukan hubungan kasualitas di antara keduanya.