Sembilan Pegawai KPK Tak Lolos TWK Cabut Permohonan Uji Materi UU KPK
Sembilan pegawai KPK memohon pencabutan uji materi UU No 19/2019 tentang KPK dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto. Para pegawai beralasan akan fokus pada upaya hukum lain.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti/Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan, Kamis (22/7/2021), mencabut permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, khususnya terkait Pasal 69 B Ayat (1) dan Pasal 69 C yang mengatur tentang pengangkatan sebagai pegawai aparatur sipil negara atau ASN. Para pegawai tersebut beralasan ingin fokus pada upaya hukum lain yang juga tengah ditempuh.
”Terkait pencabutan, betul memang kami sampaikan. Mohon agar disetujui Yang Mulia, dengan alasan bahwa kami saat ini sedang menempuh beberapa proses hukum atau upaya hukum lain yang memang membutuhkan kepastian payung hukum,” ujar salah satu pemohon, Rasamala Aritonang, dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto.
Sebelumnya, sembilan pegawai KPK yang tidak lolos TWK, yakni Hotman Tambunan, Rasamala Aritonang, March Falentino, Novariza, Andre Dedy Nainggolan, Lakso Anindito, Faisal, Benydictus Siumlala, dan Tri Artining Putri, menguji dua pasal di dalam UU KPK terkait dengan norma pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN.
Terkait pencabutan, betul memang kami sampaikan. Mohon agar disetujui Yang Mulia, dengan alasan bahwa kami saat ini sedang menempuh beberapa proses hukum atau upaya hukum lain.
Dalam berkas permohonan yang disampaikan, mereka menilai Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D Ayat (1), jika kedua pasal itu tidak dimaknai bahwa pegawai KPK diangkat/ditetapkan sebagai ASN kecuali pegawai tersebut menolak dialihkan menjadi ASN, pensiun, atau meninggal, atau diberhentikan karena pelanggaran etik.
Pasal 69 B Ayat (1) UU No 19/2021 berbunyi, ”Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak UU ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Adapun, Pasal 69C berbunyi, ”Pada saat UU ini mulai berlaku, pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak UU ini mulai berlalu dapat diangkat menjadi pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pemohon mempersoalkan perbedaan adressat atau sasaran dari norma hukum pada kedua pasal tersebut. Pasal 69B Ayat (1) menyebutkan tentang penyelidik dan penyidik, sementara Pasal 69C menyebutkan pegawai KPK. Namun, esensi pengaturannya sama.
Tidak ada penjelasan dalam keadaan apa pegawai KPK harus diangkat sebagai ASN, sebaliknya dalam keadaan apa pegawai KPK tidak bisa dialihkan statusnya menjadi ASN.
Selain itu, mereka juga mempersoalkan tentang adanya kata ”dapat” dalam ketentuan tersebut. Penggunaan kata ”dapat” dalam kedua ketentuan pasal tersebut memberikan dua kemungkinan keadaan, yaitu pegawai KPK jadi diangkat sebagai ASN atau sebaliknya tidak diangkat. Persoalannya, ketentuan penjelasan kedua pasal tersebut sama sekali tidak menjelaskan lebih jauh mengenai makna frasa kata ”dapat” tersebut.
”Tidak ada penjelasan dalam keadaan apa pegawai KPK harus diangkat sebagai ASN, sebaliknya dalam keadaan apa pegawai KPK tidak bisa dialihkan statusnya menjadi ASN,” demikian tertulis di dalam permohonan.
Pengaturan di dalam kedua pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan sehingga dimaknai sendiri dengan bebas oleh pimpinan KPK dengan menambahkan berbagai syarat, termasuk syarat seleksi berupa asesmen wawasan kebangsaan seperti diatur di dalam Peraturan Komisi No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Padahal, kewenangan untuk mengatur bahkan tidak diberikan oleh UU No 19/2019.
Terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dan tidak lolosnya 75 pegawai KPK, Ombudsman RI telah memutuskan meminta pimpinan KPK segera mengalihkan status kepegawaian ke-75 orang tersebut menjadi ASN. Permintaan itu disampaikan sebagai bentuk korektif lantaran dalam proses alih status itu ditemukan sejumlah maladministrasi. Alih status 75 pegawai KPK yang semula tak lolos TWK tersebut harus dilakukan sebelum 30 Oktober 2021.
Ombudsman merujuk pada UU KPK, Peraturan Pemerintah No 41/2020 dan pertimbangan MK terkait uji materi UU KPK yang menyebutkan bahwa proses alih status tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Menanggapi permohonan tersebut, pimpinan sidang Aswanto menyatakan, dengan sidang ini, pihaknya ingin mengklarifikasi penarikan kembali perkara yang dilakukan para pemohon agar lebih meyakinkan.
Hal itu juga menjadi salah satu dasar sembilan pegawai KPK tersebut akhirnya mencabut permohonan uji materi. ”Salah satunya kemarin sudah digunakan juga oleh Ombudsman sehingga kami tidak ingin mengganggu kepastian itu. Kami untuk sementara mencabut permohonan yang sudah kami sampaikan sehingga proses hukum yang sudah jalan bisa lebih berkepastian hukum dengan menggunakan pertimbangan MK sebelumnya,” ujar Rasamala Aritonang.
Menanggapi permohonan tersebut, pimpinan sidang Aswanto menyatakan, dengan sidang ini, pihaknya ingin mengklarifikasi penarikan kembali perkara yang dilakukan para pemohon agar lebih meyakinkan. Ia berjanji, setelah sidang selesai, majelis panel akan menyampaikan pencabutan perkara tersebut ke rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk dapat diputuskan oleh MK.
Selain sembilan pegawai KPK, pemohon uji materi lain terkait hal yang sama, yakni Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan, juga mencabut perkaranya.
”Setelah permohonan ini kami ajukan, ternyata pegawai KPK yang tak lulus TWK mengajukan permohonan juga. Dengan demikian, kami merasa legal standing kami menjadi tidak relevan karena yang dirugikan sudah mengajukan (uji materi). Kami berpikiran (untuk mencabut perkara) supaya kami tidak menjadi pengganggu dari teman-teman pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk melakukan uji materi di MK,” tutur Boyamin Saiman, Koordinator MAKI.