Penegakan Hukum PPKM Darurat Dinilai Tidak Tepat dan Tidak Adil
Sejak PPKM darurat diterapkan pada 3 Juli 2021, sudah banyak masyarakat yang dijatuhi hukuman karena melanggar aturan. Tidak sedikit pelanggar yang terpaksa memilih hukuman penjara karena tak mampu membayar denda.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum atas pelanggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat dengan sanksi pidana dinilai tidak tepat dan tidak adil. Penegakan hukum di masa PPKM darurat seharusnya lebih mengutamakan pendekatan persuasif sehingga seharusnya pemidanaan menjadi langkah terakhir (ultimum remedium).
Semenjak penerapan PPKM darurat pada 3 Juli, sudah banyak masyarakat yang terjaring operasi penegakan disiplin protokol kesehatan. Mereka umumnya diberi sanksi denda terendah Rp 100.000 yang bisa diganti dengan kurungan 1 hari. Bahkan, ada pula yang pelanggar yang dikenai denda hingga Rp 5 juta yang dapat diganti dengan 5 hari penjara.
Hukuman berupa denda Rp 5 juta salah satunya diterima Endang (40), seorang penjual bubur di Tasikmalaya, Jawa Barat. Endang yang tengah melayani pembeli untuk makan di tempat terkena razia petugas patroli. Karena dianggap melanggar aturan PPKM darurat, Endang harus mengikuti sidang tindak pidana ringan (tipiring) yang dilakukan Pengadilan Negeri Tasikmayala. Hakim menjatuhkan hukuman denda Rp 5 juta subsider 5 hari kurungan. Karena tak sanggup membayar denda yang begitu besar, Endang memilih menjalani hukuman penjara 5 hari (Kompas.com, 7/7/2021).
Sama dengan Endang, Boni, warga Kota Serang, Banten, yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toilet juga memilih dihukum 1 hari penjara. Pada 7 Juli, ia mengikuti sidang tipiring di Alun-alun Barat Kota Serang setelah terkena razia Satpol PP saat melintas di kawasan Pasar Lama. Hakim Pengadilan Negeri Serang menjatuhkan sanksi denda Rp 100.000 subsider 1 hari kurungan karena Boni terbukti tidak mengenakan masker.
Terkait fenomena itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati, saat dihubungi, Kamis (22/7/2021), mengatakan, kejadian yang menimpa tukang bubur di Tasikmalaya sangat memprihatinkan, baik dari sisi kebijakan maupun kepekaan aparat penegak hukum. PPKM ditujukan untuk menanggulangi penyebaran virus sehingga masyarakat diminta berdiam diri di rumah dan tidak berinteraksi dengan orang yang tidak tinggal serumah. Namun, ketika terjadi pelanggaran, para pelanggar justru dikirim ke penjara yang umumnya sudah penuh sesak dan rawan penyebaran penyakit. Bahkan, saat dimasukkan ke penjara, pelanggar harus melalui serangkaian protokol kesehatan dengan biaya yang relatif besar.
”Ini menunjukkan, penerapan sanksi PPKM dilaksanakan tidak dengan memperhatikan secara serius tujuan dari pemberlakuan sanksi pelanggaran PPKM. Aparat penegak hukum seharusnya lebih sensitif dan progresif melihat ini,” kata Maidina.
Karut-marut
Menurut Maidina, hukuman pelanggar protokol kesehatan tidak harus denda dan penjara dalam lembaga pemasyarakatan. Hukuman bisa berupa penahanan rumah hingga kerja sosial yang dapat berkontribusi pada penanggulangan wabah. Apabila pelanggar masih bisa diperingatkan, bisa dilakukan dengan pendekatan persuasif. Misalnya, ketika masker turun ke bawah dagu, pelanggar diingatkan untuk memakai masker dengan benar.
Maidina menambahkan, karut-marut permasalahan penegakan hukum pelanggar PPKM sudah ada sejak awal pandemi. Pemerintah membuat kebijakan soal sanksi tanpa memperhatikan tata hukum yang ada. Khusus untuk kebijakan PPKM darurat, akar permasalahannya adalah pada aturan Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021. Aturan itu kemudian diubah melalui Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021, yang mengubah diktum ke-10 tentang pemberlakuan sanksi bagi orang yang melanggar PPKM.
Berbeda dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sanksi pelanggar diatur dalam skema sanksi administrasi berdasarkan peraturan gubernur. Kini, PPKM diatur sebagai tindak pidana, dengan bunyi diktum ke-10 huruf c yang menyatakan setiap orang dapat dikenai sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan Pasal 212-218 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, perda, perkada, dan ketentuan lain.
”Dalam diktum ke-10 huruf c seolah begitu mudah menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Padahal, hukum pidana tidak serta-merta dapat begitu saja diterapkan tanpa memperhatikan unsur perbuatan jahat (mens rea),” kata Maidina.
Penerapan sanksi pidana hanya dengan aturan Instruksi Menteri Dalam Negeri juga dinilai melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di situ diatur, sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan perda, tidak untuk instruksi mendagri.
Tidak adil
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih sepakat bahwa sanksi pidana tidak bisa asal diterapkan bagi pelanggar protokol kesehatan. Menurutnya, pelanggar protokol kesehatan adalah pelanggar administratif. Tidak ada unsur kejahatan (mens rea) yang membuat seseorang dapat dengan mudah dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana ini sangat tidak adil diterapkan, apalai merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Di satu sisi, pemerintah ingin menerapkan aturan tegas dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun, di sisi lain pemerintah enggan memenuhi kewajibannya dengan memberi makan warga selama PPKM darurat.
”Ini sangat tidak adil bagi masyarakat. Menteri dan anggota DPR saja selama PPKM darurat masih ada kunjungan kerja ke luar negeri, kok, tidak dikenai sanksi? Sementara rakyat kecil disanksi sangat tegas. Ini menunjukkan hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata Yenti.
Yenti mengatakan, aparat penegak hukum, baik satpol PP maupun kepolisian, harus menggunakan pendekatan lain untuk menegakkan aturan PPKM darurat. Kebijakan persuasif bisa lebih diutamakan. Apabila ada yang masih bisa diperingatkan, peringatkan. Sebab, mereka terpaksa harus keluar rumah untuk mencari penghidupan. Negara yang seharusnya mencukupi kebutuhan mereka selama PPKM darurat absen. Ketika melanggar malah mereka dikenai sanksi sangat berat. Ini sangat tidak tepat dan tidak adil bagi masyarakat.
”Paradigma penerapan hukum pidana pada pelanggaran protokol kesehatan harus dihindari. Itu bukan solusi untuk menjerakan di masa sulit seperti ini. Ibaratnya antara penyakit (pelanggaran) dan obatnya (penegakan hukumnya) tidak cocok,” kata Yenti.
Berulang
Maidina menambahkan, kesalahan pengaturan sanksi pidana sebenarnya sudah terjadi sejak awal pandemi. Saat itu pemerintah masih memberlakukan PSBB dengan payung hukum peraturan pemerintah (PP), bukan dengan UU. Sejak awal, aturan penanggulangan Covid-19 tidak mematuhi tata aturan perundangan sehingga penerapan di lapangan sewenang-wenang dan tidak memperhatikan tata hukum dan standar hukum pidana.
Kesalahan itu kemudian berulang dalam pelaksanaan PPKM darurat. Sanksi tegas pidana diterapkan kepada pelanggar, hanya dengan payung hukum instruksi mendagri. Padahal, itu jelas bertentangan dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini menunjukkan bahwa sanksi pelanggaran PSBB maupun PPKM tidak dibahas secara serius. Padahal, pemberlakukan sanksi memuat pelanggaran hak asasi manusia, dan berkaitan dengan penerapan kewenangan pemerintah. Namun, implementasinya tidak dipikirkan dengan matang.
”Alhasil, terus terlihat kasus yang terjadi. Warga dihukum dengan denda, sementara aparat berkerumun tidak dihukum. Alat-alat berjualan masyarakat miskin disita tanpa mekanisme pemulihan dan uji yang jelas. Sewenang-wenang terhadap masyarakat rentan yang miskin dan yang tidak paham hukum,” kata Maidina.
Kesalahan logika hukum dan peraturan perundangan itu pun semakin ditiru oleh daerah lain. Kini, Provinsi DKI Jakarta yang sebelumnya menerapkan sanksi pidana denda dan kerja sosial mulai membahas revisi perda dengan sanksi pidana penjara. Aparat kepolisian juga akan dilibatkan dalam penegakan perda penanganan pandemi itu.