Aparat Terus Lanjutkan Tindakan Tegas terhadap Penyebar Hoaks Covid-19
Hingga pekan ketiga Juli 2021, tercatat 5.895 konten terkait Covid-19 di berbagai platform digital yang diputus aksesnya karena mengandung informasi palsu. Aparat penegak hukum terus berkomitmen menindak penyebarannya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan aparat penegak hukum berkomitmen untuk menindak tegas penyebaran berita bohong atau hoaks menyangkut Covid-19. Hingga pekan ketiga Juli 2021, sudah ada 5.895 konten di berbagai platform digital yang diputus aksesnya karena mengandung informasi palsu.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan telah menginstruksikan seluruh jajaran kepolisian untuk menindak tegas peredaran berita bohong atau hoaks, Selasa (20/7/2021), melalui rapat virtual di Mabes Polri. Peredaran informasi palsu diakui akan mengganggu upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Agus menjelaskan, penyebaran hoaks Covid-19 diklasifikasikan menjadi dua kategori pelanggaran. Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh individu ke individu lainnya akan ditangani melalui prinsip keadilan restoratif atau penyelesaian perkara pidana di luar mekanisme peradilan. Kedua, pelanggaran yang dinilai mengganggu upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 akan ditindak pidana.
”Jangan sampai masyarakat bingung dengan berita bohong yang berkembang,” kata Agus, dihubungi dari Jakarta, Rabu (21/7/2021).
Jangan sampai masyarakat bingung dengan berita bohong yang berkembang. (Agus Andrianto)
Salah satu perkara penyebaran hoaks Covid-19 yang tengah ditangani terkait dokter Lois Owien. Lois menyebarkan pandangan tentang interaksi aneka obat yang dikonsumsi pasien Covid-19 dapat menyebabkan kematian di sejumlah platform media sosial. Saat ini, perkara tersebut masih dalam proses penyidikan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, selain kasus Lois Owien, pihaknya juga menyelidiki peredaran hoaks Covid-19 lainnya. Namun, ia tidak merinci kasus lain yang dimaksud.
Selain penyelidikan, kata Argo, pihaknya juga mengedukasi warga agar bisa menelaah kebenaran informasi. Hal itu dilakukan dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk berkomunikasi dengan warga di setiap daerah sesuai dengan kultur setempat. Di samping itu, edukasi juga terus digaungkan melalui televisi, media cetak dan daring, media sosial, serta kegiatan di lapangan.
Dihubungi terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pihaknya juga berkomitmen untuk membersihkan ruang digital serta segala konten hoaks dan disinformasi. Tidak terkecuali yang memengaruhi penanganan Covid-19.
Johnny melanjutkan, hingga Senin, 19 Juli 2021, pihaknya telah memutus akses (take down) 5.895 konten hoaks Covid-19, vaksinasi Covid-19, dan PPKM darurat yang tersebar di berbagai platform digital. Dari sejumlah konten yang diturunkan itu, sebagian di antaranya merupakan konten menyangkut Lois Owien yang dianggap melanggar ketentuan.
”Penyebaran konten serupa yang masih dapat ditemukan oleh publik akan segera kami tindak lanjuti dengan tegas dan kami proses sesuai peraturan perundang-undangan,” ujar Johnny.
Penyebaran konten serupa yang masih dapat ditemukan oleh publik akan segera kami tindak lanjuti dengan tegas dan kami proses sesuai peraturan perundang-undangan. (Johnny G Plate)
Bagian dari PPKM
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, upaya serius menekan laju penyebaran hoaks Covid-19 harus jadi bagian dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Pemerintah telah melaksanakan PPKM darurat pada 3-0 Juli 2021, kemudian diperpanjang hingga 25 Juli 2021 dan berganti nama menjadi PPKM level 3-4. ”Hingga saat ini, hoaks masih berperan dalam pengabaian protokol kesehatan, penolakan terhadap vaksinasi Covid-19, dan meninggalnya warga karena mengambil keputusan yang salah dalam situasi genting,” ujarnya.
Menurut dia, penangkapan Lois Owien tidak serta-merta akan mengurangi laju peredaran hoaks. Sebab, polarisasi antara kubu rasional dan menyangkal dalam menilai Covid-19 sudah telanjur menguat.
Jadi, kalaupun dokter Lois berhenti menyebarkan hoaks, masih ada orang yang yang ditokohkan oleh kelompok penyangkal ini. (Septiaji Eko Nugroho)
Aktivitas kubu yang menyangkal pandemi Covid-19 juga masih sangat kuat di media sosial. Salah satunya melalui grup Facebook bertajuk ”Akhiri Plandemic” yang beranggotakan 13.000 orang. Di grup itu, ajakan untuk menyangkal keberadaan virus korona masih disebarkan setiap hari. ”Jadi, kalaupun dokter Lois berhenti menyebarkan hoaks, masih ada orang yang ditokohkan oleh kelompok penyangkal ini,” kata Septiaji.
Oleh karena itu, lanjut Septiaji, platform media sosial, di antaranya Facebook, Twitter, Instagram, dan Tiktok, perlu lebih responsif untuk menyisir konten hoaks yang dilaporkan masyarakat. Khususnya menyangkut konten yang telah diklarifikasi ekosistem periksa fakta di Indonesia. Akun-akun yang berulang kali menyebarkan hoaks seharusnya dikeluarkan dari platform.
Namun, kemampuan mengklarifikasi fakta itu masih timpang ketimbang kecepatan peredaran hoaks. ”Dari analisis kami terhadap sejumlah artikel periksa fakta yang dipublikasikan, sebuah hoaks bisa sepuluh kali lipat lebih banyak disebarkan ketimbang klarifikasinya,” kata Eko Juniarto, Presidium Mafindo Bidang Periksa Fakta.
Eko menambahkan, ini menjadi persoalan serius karena akan berdampak pada banyaknya masyarakat yang lebih percaya pada hoaks Covid-19 ketimbang informasi faktual dari otoritas dan pakar kesehatan. Untuk itu, diperlukan upaya meyakinkan masyarakat dengan cara melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk memperbarui kabar di tengah masyarakat. Pemerintah juga diharapkan menggerakkan institusi dari level pusat hingga daerah untuk membantu menjernihkan informasi di tengah masyarakat.