Kekhawatiran terjadinya konflik, salah satunya karena pembagian anggaran otsus Papua melalui UU Otsus Papua yang baru, separuh di antaranya akan berbasis pada kinerja pemerintah daerah di Papua.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua dengan latar belakang untuk mengakomodasi dana otonomi khusus implementasinya berpotensi memicu konflik. Untuk itu, pemerintah diharapkan bisa berdialog dengan masyarakat Papua.
Hal ini disampaikan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Purwo Santoso dalam diskusi daring bertajuk ”Bagaimana Dampak Pengesahan Revisi UU Otsus terhadap Penyelesaian Konflik Papua” yang digelar Imparsial, Tifa, dan Forum Akademisi untuk Papua Damai, Rabu (21/7/2021).
Purwo mengatakan, proses revisi UU Otsus Papua telah usai dan melahirkan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua. Namun, melihat proses dan konsideran yang ada, UU memang tidak dibuat untuk menyelesaikan konflik. Bahkan, ketidakadilan sebagai akar masalah di Papua dinilainya tidak pernah muncul untuk dibahas.
Budi Arwan, Kasubdit Otsus Papua Kementerian Dalam Negeri, dalam diskusi yang sama mengakui bahwa latar belakang revisi tersebut adalah berakhirnya dana otsus Papua pada 2021 ini.
Semula dana otsus besarnya 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan menjadi pendapatan bagi Provinsi Papua sebesar 60 persen dan Papua Barat 40 persen. Adapun di UU Otsus Papua yang baru, dana otsus ditingkatkan menjadi 2,25 persen dari DAU nasional. Akan tetapi, hanya 1 persen yang diatur oleh pemerintah daerah di Papua. Sisanya, 1,25 persen, akan diberikan berbasis kinerja yang secara rinci akan diatur oleh peraturan pemerintah.
Budi mengatakan, perbaikan mekanisme pembagian dana otsus itu jangan dilihat bahwa pemerintah pusat melakukan intervensi. Akan tetapi, hal ini dilakukan agar masyarakat Papua bisa merasakan pendekatan kesejahteraan dan semangat afirmasi terhadap orang asli Papua. Secara politik, Budi juga mengatakan, ada beberapa aturan agar partisipasi orang asli Papua dalam pembangunan lebih dioptimalkan keterlibatannya.
”Misalnya, di DPRD dan DPRP ada orang asli Papua yang diangkat, bukan dipilih,” kata Budi.
Selain itu, melalui UU Otsus Papua yang baru, pemerintah ingin memperpendek rentang kendali pelayanan publik dan mendorong peningkatan kesehatan masyarakat dengan melaksanakan pemekaran provinsi.
Purwo mengatakan, pilihan yang diambil pemerintah dengan membagi dua anggaran ibarat pisau bermata dua. Hal ini memang bisa dilihat sebagai upaya pemerintah pusat ingin memastikan kinerja yang lebih baik. Namun, hal ini juga bisa dilihat sebagai intervensi dan kesepihakan pemerintah pusat atas nama apa pun.
”Kesepihakan pusat atas nama legalisme bisa jadi menimbulkan letupan kemarahan. Nalar kesepihakan ini bisa menghilangkan konteks, padahal konteks itu sangat penting di Papua,” kata Purwo.
Amiruddin dari Komnas HAM mengatakan, UU Otsus ini akan menjawab masalah atau justru tidak akan terlihat di implementasinya. Parameternya adalah apakah harapan masyarakat di lapangan bisa dijawab dengan UU ini dan tantangannya bagaimana menjaga harapan-harapan itu.
Sementara Shiskha Prabawaningtyas dari Universitas Paramadina mengingatkan agar pemerintah tetap menjaga ruang-ruang dialog dengan masyarakat Papua.