Tak Hanya Jatuhkan Sanksi, Otoritas Diminta Serap Keresahan Publik
Tak hanya menjatuhkan sanksi bagi para pelanggar PPKM darurat, aparat penegak hukum dan pemerintah diharapkan mendengar kegelisahan dan kritik publik. Dengan demikian, kebijakan pembatasan tak merugikan rakyat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih hanya memberikan sanksi atau hukuman bagi para pelanggar aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat, aparat penegak hukum dan pemerintah diharapkan lebih banyak menyerap keresahan dan masukan dari masyarakat sebagai bahan evaluasi. Dengan demikian, setiap kebijakan pemerintah dapat menjadi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar ketika dihubungi, Selasa (20/7/2021), berpandangan, segala bentuk sanksi, baik sanksi sosial, denda, apalagi penjara, dinilai tidak manusiawi. Sebab, hal itu hanyalah bagian dari substansi penerapan PPKM darurat, yakni menekan dan menurunkan pandemi Covid-19.
”Sebaliknya, aparat mestinya memanfaatkan situasi ini dengan menyerap dan menjaring sebanyak mungkin kritik, masukan, termasuk di media sosial ataupun yang di muka umum. Itu semua kemudian disampaikan ke pimpinan untuk menjadi bahan evaluasi,” kata Rivanlee.
Menurut dia, baik PPKM darurat maupun bentuk-bentuk pembatasan lain intinya adalah kebijakan membatasi mobilitas masyarakat. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan diatur bahwa negara menjamin kebutuhan hidup warga negaranya ketika pembatasan diberlakukan. Penggunaan istilah yang berbeda-beda dinilainya sebagai dalih pemerintah untuk tidak bertanggung jawab memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Meski demikian, pemerintah tampak tidak melakukan evaluasi pengalaman sebelumnya. Sejak pandemi Covid-19 menerpa, masyarakat dilanda persoalan kekurangan masker hingga alat pelindung diri. Kini, masalah serupa masih juga terjadi, yakni kekurangan oksigen, obat-obatan, dan tempat tidur di rumah sakit.
”Selama setahun terakhir ini masalahnya sebenarnya masih sama, hanya variabelnya yang berubah. Tampak negara gagal melihat realitas yang ada di lapangan dan apa yang dibutuhkan warga. Padahal, ekonomi tidak akan bisa pulih dengan mengabaikan kesehatan,” ujar Rivanlee.
Dalam situasi seperti ini, ia berharap para pejabat publik berperan lebih besar, semisal permintaan Kementerian Dalam Negeri agar pencairan insentif bagi tenaga kesehatan dipercepat ternyata akhirnya dipenuhi pemda. Peran pengawasan dan pemantauan serta hubungan yang baik antara pemerintah pusat dan pemda sangat penting untuk menekan penyebaran Covid-19.
Secara terpisah, Manajer Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis menyatakan, pemberlakukan sanksi bagi orang yang melanggar PPKM dilakukan berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Berbeda dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sanksi bagi pelanggarnya diatur dalam skema sanksi administrasi berdasarkan peraturan gubernur, kali ini pelanggaran terhadap PPKM diatur sebagai tindak pidana.
Di situ dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular dapat dijatuhi sanksi berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, perda, perkada, dan ketentuan lain.
”Seolah begini mudah menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Padahal, masing-masing aturan yang dirujuk memilki unsur tindak pidana yang jika ingin diterapkan harus dibuktikan berdasarkan unsur tersebut. Hukum pidana tidak serta-merta dapat begitu saja diterapkan tanpa memperhatikan unsur perbuatan jahat,” tutur Maidina.
Menurut Maidina, kesalahan pengaturan soal sanksi ini sudah terjadi sejak penerapan PSBB. Kesalahan itu terulang kembali saat ini, yang memperlihatkan bahwa sanksi pelaksanaan PSBB ataupun PPKM tidak dibahas secara serius.
Akibatnya, warga dihukum dengan denda, sementara aparat berkerumun tidak dihukum. Peralatan untuk mencari penghasilan pun disita tanpa mekanisme pemulihan dan uji yang jelas. Bahkan, di Tasikmalaya, Jawa Barat, pelanggar justru dijatuhi pidana penjara karena tidak sanggup membayar denda. Padahal, PPKM diterapkan untuk menanggulangi penyebaran Covid-19.
”Aparat penegak hukum harusnya lebih sensitif dan progresif melihat hal ini. Dengan adanya kasus ini, maka dapat dikatakan aparat pun tidak memahami mengapa penting untuk melaksanakan PPKM dan menanggulangi wabah,” katanya.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai PAN, Saleh Partaonan Daulay, berpandangan, evaluasi yang obyektif harus dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan PPKM darurat. Dengan demikian, langkah selanjutnya harus didasarkan atas hasil evaluasi tersebut.
Menurut Saleh, terdapat masyarakat yang menilai PPKM darurat tidak perlu diperpanjang. Sebaliknya, terdapat kalangan masyarakat yang berpandangan bahwa PPKM darurat perlu diperpanjang dengan catatan jaminan sosial yang diberikan cukup dan memadai.
”Saya berharap pemerintah bisa melangkah lebih jauh. Memikirkan satu agenda kebijakan yang bisa menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya, yaitu penyebaran Covid-19. Apa pun kebijakan yang diambil, penurunan dan pemutusan mata rantai penyebaran virus (penyebab) Covid-19 haruslah diutamakan,” ujar Saleh.