Selesaikan Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, Jangan Rugikan Pencari Keadilan
Pada akhir Juli, praktis MA hanya akan mengoptimalkan tiga hakim ”ad hoc” tipikor untuk menangani ratusan perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Perlu solusi agar pencari keadilan tak dirugikan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung segera memasuki masa krisis hakim ad hoc tipikor, setelah ditinggal lima hakim pensiun pekan ini. Mantan hakim agung berpandangan situasi darurat itu harus diselesaikan MA dengan solusi bijak agar tak merugikan pencari keadilan.
Pada akhir Juli, praktis MA hanya akan mengoptimalkan tiga hakim ad hoc tipikor untuk menangani ratusan perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK). Lima hakim ad hoc tipikor di MA yang akan mengakhiri masa tugasnya pada 22 Juli ini adalah Krisna Harahap, Moh Askin, Abdul Latief, Leopold Hutagalung, dan Syamsul Rakan Chaniago.
Tersisa tiga hakim ad hoc tipikor di MA, yaitu Sinintha Yuliansih (hasil seleksi di DPR Januari 2021) serta Ansori dan Agus Yunianto (hasil seleksi di DPR pada Januari 2020).
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro saat dihubungi, Senin (19/7/2021), mengatakan, hingga H-3 sebelum lima hakim ad hoc tipikor pensiun, MA belum membuat keputusan strategis apa pun.
Sebelumnya, muncul wacana MA akan memperpanjang masa jabatan hakim yang belum berusia 70 tahun. Masa jabatan itu akan diperpanjang hingga Komisi Yudisial, lembaga yang berwenang menyeleksi hakim ad hoctipikor, menghasilkan hakim baru. Namun, hingga Senin sore, MA belum berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo terkait permintaan perpanjangan masa jabatan hakim.
Surat kepada presiden diperlukan karena yang berwenang mengangkat dan memberhentikan hakim di MA adalah presiden. Selain itu, MA juga membutuhkan persetujuan pemerintah untuk keperluan penggajian hakim ad hoc tipikor yang diperpanjang masa jabatannya.
”Dari hasil diskusi antara MA dan KY, opsinya adalah mengoptimalkan tiga hakim ad hoc tipikor yang ada dulu sebelum akhir tahun nanti MA akan mengajukan kebutuhan hakim dan KY akan membuka seleksi hakim baru,” kata Andi kepada Kompas.
Andi menjelaskan, sekalipun sudah menjadi kesepakatan MA dan KY, opsi itu juga punya kendala terutama terkait teknis penanganan perkara korupsi. Sebab, tiga hakim ad hoc yang tersisa, yaitu Sinintha Yuliansih, Ansori, dan Agus Yunianto, pernah bertugas di Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, hakim ad hoc tersebut tak boleh menangani perkara yang mereka tangani sebelumnya, baik di upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
”Hakim ad hoc yang menangani perkara kasasi tentu tidak boleh duduk lagi sebagai anggota majelis PK jika perkara itu diajukan ke tingkat PK. Ini yang akan menjadi kendala, tetapi bagaimanapun itu sudah menjadi kesepakatan MA dan KY,” kata Andi.
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun berpandangan, dengan hanya tersisa tiga hakim ad hoc tipikor, MA akan pincang dalam menangani kasus korupsi. Sebab, penanganan kasus korupsi sudah diatur secara khusus lex spesialis di UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Di UU itu diatur komposisi majelis hakim agung dan hakim ad hoc tipikor, hingga batas waktu penanganan perkara di tingkat kasasi dan PK maksimal 120 hari kerja. Dengan ketentuan khusus itu, ditambah hakim kasasi tak boleh duduk sebagai hakim PK, dikhawatirkan penanganan perkara korupsi di MA tak akan optimal.
”Dengan lima hakim ad hoc tipikor saja, kalau perkara yang masuk ratusan, mereka harus bersidang setiap hari. Apalagi hanya tiga, tidak terbayang bagaimana penanganan perkaranya. Ini adalah situasi darurat bagi MA, terutama penanganan perkara korupsi yang menjadi perhatian masyarakat,” kata Gayus.
Gayus berpendapat, Ketua MA seharusnya bisa berpikir di luar kebiasaan untuk menangani perkara ini. Sebab, bisa dibilang, ini adalah situasi darurat yang membutuhkan penyelesaian yang tepat dan bijak. Apabila tak ditangani dengan serius, ratusan perkara di MA bisa tak tertangani dengan baik. Bahkan, ada yang bisa batal demi hukum karena habis masa penahanannya.
”Ketua MA bisa bersurat kepada presiden untuk menjelaskan situasi darurat ini. Mintalah hakim yang belum berusia 70 tahun diperpanjang. Diperpanjang dengan batas waktu sampai KY menelurkan hakim ad hoc tipikor baru,” katanya.
Namun, usulan ini ditolak sejumlah pengajar hukum tata negara, misalnya pengajar hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura. Menurut dia, perpanjangan masa tugas hakim ad hoc tipikor pada MA tak perlu dilakukan karena akan menjadi preseden yang tidak baik.
Andi Samsan Nganro mengatakan, sebelumnya MA juga pernah mengalami krisis hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Saat itu ada yang menguji materi UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Mahkamah Konstitusi.
MK kemudian melalui putusan nomor 49/PUU-XIV/2016, memutuskan hakim ad hoc PHI bisa kembali diangkat setiap periode lima tahun. Mereka bisa menjabat kembali sebelum usia 67 tahun untuk hakim ad hoc di MA.
Dalam pertimbangannya, MK menilai keberadaan hakim ad hoc tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan di Indonesia. Hakim ad hoc diadakan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman di dalam menegakkan hukum dan keadilan, yang keberadaannya berada dalam peradilan yang bersifat khusus, misalnya pengadilan tipikor, pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan.
Oleh karena itu, demi memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat, MK berpendapat, sedianya jabatan tersebut diemban oleh orang-orang yang memiliki kompetensi, kapasitas, dan profesionalisme yang telah teruji dan memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial.
”Apakah putusan ini kemudian bisa menjadi dasar hukum untuk memperpanjang masa jabatan hakim ad hoc tipikor? Ini yang masih perlu dipelajari,” kata Andi.
Sebelumnya, Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, dalam diskusi yang dilakukan KY dan MA terkait krisis hakim ad hoc tipikor, ada tiga opsi yang mengemuka. Opsi itu adalah perpanjangan masa tugas hakim ad hoc tipikor yang belum berusia 70 tahun tanpa seleksi ulang, seleksi hakim ad hoc tipikor pada 2022, dan seleksi hakim ad hoc tipikor dimulai tahun ini, lalu dilanjutkan tahun depan. Namun, khusus untuk seleksi calon hakim baru, pada tahun ini, KY mengalami kendala kekurangan anggaran.
Oleh karena itu, menurut Miko, opsi memulai seleksi pada akhir 2021 menjadi pilihan yang paling ideal dengan kondisi saat ini. Dengan cara itu, problem kekurangan anggaran KY untuk menggelar seleksi bisa diatasi dengan menggunakan anggaran KY tahun 2022.
Lagi pula KY saat ini tengah fokus menyelesaikan seleksi calon hakim agung. Adapun, opsi perpanjangan masa tugas hakim ad hoc dinilai tidak memungkinkan dari aspek legalitas karena sejumlah hakim sudah pernah diperpanjang masa jabatannya (Kompas, 14 Juli 2021).