Juliari Bantah Atur Kuota dan Perintahkan Mengutip ”Fee” Bansos
Meski sudah tujuh bulan menjalani serangkaian pemeriksaan dan persidangan, eks Menteri Sosial Juliari P Batubara masih membantah telah meminta kompensasi dalam pengadaan paket bansos Covid-19 untuk warga Jabodetabek.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mencecar bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara terkait dengan pengaturan kuota bantuan sosial Covid-19. Dalam kesempatan itu, Juliari membantah mengatur kuota untuk anggota DPR Herman Herry, Ihsan Yunus, Bina Lingkungan Kemensos, dan terakhir untuk dirinya sendiri. Ia justru menuding Kepala Pengguna Anggaran (KPA) Kemensos sebagai pihak yang mengatur kuota itu.
Sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa Juliari Batubara ini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (19/7/2021). Juliari mengikuti persidangan secara daring melalui telekonferensi dari rumah tahanan KPK. Hanya tim jaksa penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, dan majelis hakim yang bersidang di pengadilan. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis.
Jaksa KPK M Nur Azis mencecar Juliari terkait dengan perannya dalam pengaturan kuota bansos Kemensos untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Azis juga menanyakan apakah menjelang pengadaan bansos tahap ke-7, Juliari melakukan evaluasi terhadap perusahaan penerima proyek paket sembako bansos Kemensos atau tidak.
Juliari membantah terlibat dalam pengaturan kuota bansos. Menurut dia, dirinya tidak pernah mengatur kuota bansos untuk perusahaan yang terafiliasi dengan anggota DPR dari Fraksi PDI-P Herman Herry dan Ihsan Yunus, serta Dirjen Bina Lingkungan Kemensos, dan dirinya sendiri. Sebelumnya disebutkan, Herman Herry mendapat kuota pengadaan 1 juta paket, Ihsan 400.000 paket, Dirjen Bina Lingkungan 300.000 paket, dan Juliari 200.000 paket.
”Tidak pernah ada,” ujar Juliari.
Politikus yang pernah menjadi Wakil Bendahara DPP PDI-P itu menjelaskan, pada saat awal pandemi Covid-19 tahun 2020 ada dua putaran bansos dengan masing-masing enam tahapan pengadaan. Nilai dari pengadaan bansos tahap pertama itu sekitar Rp 3,2 triliun. Jumlah penerima bansos berupa paket sembako senilai Rp 300.000 itu adalah 1,9 juta keluarga. Mereka adalah warga yang berada di DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kota Depok, Tangerang Selatan, Tangerang, dan sebagian dari Kabupaten Bogor. Metode pengadaan yang dilakukan saat itu adalah penunjukan langsung.
Menurut Juliari, pada awalnya, anggaran bansos Covid-19 per keluarga per bulan Rp 600.000. Namun, pada saat rapat terbatas dengan Presiden, disepakati agar pengiriman tidak dilakukan sekali dalam sebulan. Akhirnya, Kemensos memutuskan untuk dua kali pengiriman bansos. Kemudian alokasi anggaran itu dipecah menjadi Rp 300.000 per bulan. Alokasinya, antara lain, Rp 15.000 untuk transportasi distribusi, Rp 15.000 untuk kantong atau goodie bag, sehingga paket sembako hanya Rp 270.000.
Juliari juga membantah saat jaksa mencecar bahwa ia telah memberikan arahan kepada KPA Kemensos Adi Wahyono untuk memungut uang dari sejumlah vendor penyedia paket sembako bansos. Saat itu, Juliari meminta fee atau komisi Rp 10.000 per paket bansos kepada para vendor penyedia bansos. Total suap yang diterima Juliari dari proyek pengadaan bansos sepanjang tahun 2020 sebesar Rp 32,4 miliar, seperti tercantum dalam dakwaan.
”Tidak pernah, Pak Jaksa (memberi arahan kepada Adi Wahyono untuk memungut uang dari sejumlah vendor),” kata Juliari.
Jaksa kembali mencecar Juliari, ”Jika tidak memerintahkan, apakah terdakwa mengetahui informasi pemungutan yang dilakukan Adi Wahyono dan Pejabat Pembuat Komitmen Kemensos (PPK) Matheus Joko Santoso?”
Juliari kembali membantahnya. Dia mengaku tidak pernah mengetahui pemungutan uang itu, dan selaku atasan tertinggi di Kemensos tidak pernah menerima laporan.
Jaksa kemudian menanyakan apakah Juliari memerintahkan staf ahlinya, Kukuh Ary Wibowo, untuk memerintahkan Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso untuk meminta fee paket sembako kepada para perusahaan vendor, lagi-lagi Juliari membantahnya.
Sewa pesawat pribadi
Selain mencecar perihal pengaturan kuota bansos dan permintaan fee kepada perusahaan vendor, jaksa juga menanyakan penyewaan pesawat pribadi yang digunakan Juliari dalam kunjungan kerja ke sejumlah wilayah di Tanah Air. Juliari mengaku menyewa pesawat jet pribadi dalam kunjungan kerja ke Bali, Luwu Utara, Pulau Natuna, Semarang, dan Medan.
Alasan Juliari menyewa pesawat jet pribadi selama kunjungan kerja itu adalah untuk fleksibilitasnya dalam menjalankan tugas kunjungan kerja. Namun, anehnya, Juliari tidak mengetahui sumber dana untuk penyewaan pesawat tersebut. Dia hanya meminta sekretaris pribadinya, Selvy Nurbaety, untuk mengurus keperluan itu. Juliari juga mengaku tak mengetahui apabila sumber dana untuk menyewa pesawat jet pribadi itu didapatkan dari KPA Adi Wahyono.
”Saya tidak tahu, saya perintah saja agar (Selvy Nurbaety) arrange. Seingat saya perintah saya (biayanya) selalu ke biro-biro terkait,” tutur Juliari.
Sebelumnya, dalam perkara suap bansos Kemensos, Juliari didakwa menerima suap senilai Rp 32,4 miliar terkait pengadaan bansos Covid-19 tahun anggaran 2020. Uang suap berasal dari fee bansos yang dikumpulkan oleh bekas KPA bansos Adi Wahyono dan mantan PPK bansos Matheus Joko Santoso. Dalam dakwaan disebutkan, keduanya diperintahkan oleh Juliari untuk meminta fee Rp 10.000 per paket bansos kepada sekitar 62 perusahaan penyedia yang ditunjuk Kemensos. Uang ditengarai tidak hanya dinikmati Juliari, tetapi juga sejumlah pejabat di Kemensos.