Peliknya Problem Seleksi Hakim ”Ad hoc” Tipikor
Memperkuat benteng pertahanan terakhir perlawanan terhadap korupsi di lembaga peradilan bukanlah perkara gampang. Jika salah menempatkan orang, benteng tersebut bisa keropos dari dalam.
Di tengah korupsi yang masih merajalela, melibatkan pejabat terendah seperti kepala desa hingga petinggi semacam menteri, keberadaan hakim-hakim berintegritas dan punya komitmen yang jelas terhadap pemberantasan korupsi merupakan hal mutlak yang tak bisa ditawar lagi. Jika yang terjadi sebaliknya, proses hukum yang dilakukan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga putusan tingkat pertama dan banding yang barang kali sudah dilakukan secara luar biasa bisa lenyap tak berbekas.
Peran Komisi Yudisial (KY) sebagai satu-satunya lembaga pengusul calon hakim agung dan hakim ad hoc tindak pidana korupsi di MA sungguh signifikan. Bisa dibilang, kontribusi KY sangat besar dalam menentukan arah/sikap MA dalam pemberantasan korupsi.
Masalah utama dalam seleksi calon hakim agung dan hakim agung ad hoc adalah pada aspek kualitas. Aspek ini mencakup integritas para calon.
Jika para wakil Tuhan yang ada di MA saat ini banyak mengurangi hukuman koruptor, publik sebenarnya dapat meminta pertanggungjawaban ke KY. ”(Itu) Benar belaka,” ujar Ketua KY periode 2013-2015, Suparman Marzuki, saat dihubungi, Kamis (15/7/2021).
Suparman bahkan mengaku sulit tidur jika memikirkan hakim agung hasil pilihan KY yang ternyata tidak sesuai dengan harapan awal. Informasi mengenai hakim yang bersangkutan terkadang muncul belakangan setelah calon menjabat.
Ia mengakui, masalah utama dalam seleksi calon hakim agung dan hakim agung ad hoc adalah pada aspek kualitas. Aspek ini mencakup integritas para calon. Banyak calon berguguran di tahapan ini karena tidak memenuhi kualifikasi. Kalaupun lolos dalam seleksi KY, calon bisa terkendala di DPR yang beberapa kali menolak atau tidak meloloskannya.
Baca juga: Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor Baru Teratasi Tahun Depan
Empat angkatan
Saat ini, MA menghadapi krisis hakim ad hoc tipikor untuk menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK). Sebanyak lima hakim ad hoc tipikor di MA akan mengakhiri masa tugasnya pada 22 Juli mendatang. Mereka adalah Krisna Harahap, Moh Askin, Abdul Latief, Leopold Hutagalung, dan Syamsul Rakan Chaniago.
Tinggal tersisa tiga hakim ad hoc tipikor di MA, yaitu Sinintha Yuliansih (hasil seleksi yang disetujui DPR Januari 2021) serta Ansori dan Agus Yunianto (hasil seleksi yang disetujui DPR pada Januari 2020).
Sejak Pengadilan Tipikor dibentuk pada 2004 hingga saat ini, baru ada empat angkatan hakim ad hoc tipikor di MA. Angkatan pertama merupakan hasil seleksi yang dilakukan Panitia Seleksi bentukan Ketua MA pada 2004, yaitu Krisna Harahap, Hamrad Hamid, dan MS Lumme. Setahun berikutnya, pada 2005, MA kembali menyeleksi hakim ad hoc tipikor untuk MA dan meloloskan tiga orang, yaitu Leopold Hutagalung, Odjak Parulian Simanjuntak, dan Sophian Martabaya.
Sejak saat itu, tidak pernah ada seleksi kembali hingga pada akhirnya seleksi hakim ad hoc tipikor digelar pada 2016 oleh Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY mengamanatkan bahwa seleksi calon hakim ad hoc di MA dimasukkan dalam kewenangan KY, menambah kewenangan sebelumnya menyeleksi calon hakim agung.
Pada 2016, KY mengirimkan empat calon hakim ad hoc tipikor ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan. Namun, tak satu pun hasil seleksi KY yang diamini DPR. Seleksi berikutnya dilakukan pada 2019 dan 2020 yang menghasilkan masing-masing dua dan empat hakim ad hoc tipikor yang diusulkan ke DPR. Lagi-lagi jumlah calon yang disetujui DPR tak sesuai harapan, yakni satu hakim ad hoc tipikor pada 2019 dan dua hakim ad hoc tipikor pada 2020. Padahal, total kebutuhan yang diminta MA dari tiga kali seleksi itu adalah 12 hakim ad hoc tipikor.
Baca juga: Krisis Hakim Tipikor di MA, Pengamat: Seleksi di DPR Rumit dan Politis
Selain itu, dari tiga seleksi yang dilakukan KY, tidak banyak peminat yang mendaftar. Pada seleksi 2016, hanya 53 orang yang berminat menjadi hakim ad hoc tipikor di MA. Pada 2019 hanya 50 orang, sementara pada 2020 terdapat 103 peminat. Bandingkan dengan seleksi calon hakim agung yang juga digelar KY. Ada 141 pendaftar yang memperebutkan delapan posisi hakim agung dalam seleksi yang digelar 2021 ini.
Dari para pendaftar itu, jumlah yang lolos seleksi KY terus menyusut tajam. KY menerapkan empat tahap seleksi, mulai dari administratif, kualitas, kesehatan dan kepribadian, serta wawancara tahap akhir. Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting saat dikonfirmasi, Kamis (15/7/2021), mengatakan, standar yang diterapkan dalam seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tipikor di MA sama. Tahapannya pun sama.
Jika ada yang berbeda adalah kompetensi spesifik yang dicari, karena hakim ad hoc tipikor adalah hakim yang memiliki keahlian khusus terkait dengan perkara tertentu, misalnya tipikor atau hubungan industrial. (Miko Ginting)
”Jika ada yang berbeda adalah kompetensi spesifik yang dicari, karena hakim ad hoc tipikor adalah hakim yang memiliki keahlian khusus terkait dengan perkara tertentu, misalnya tipikor atau hubungan industrial,” kata Miko.
Lantas, mengapa standar dan tahapan seleksi calon hakim ad hoc tipikor sama dengan calon hakim agung? Miko mengatakan, hal ini karena alasan rasional bahwa hakim agung dan hakim ad hoc tipikor akan berada pada majelis yang sama dalam satu perkara. ”Justru jika ada perbedaan tahapan dan standar akan menjadi diskriminatif,” kata Miko.
Mantan hakim agung Gayus Lumbuun berpandangan, standar dan kualitas hakim ad hoc tipikor harus setara dengan hakim agung sebab mereka akan sama-sama berkantor di MA. Mereka juga akan duduk satu meja menangani perkara korupsi di tingkat kasasi dan PK.
Baca juga: Soal Seleksi Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, DPR Dorong Pertemuan Tripartit
Masalah integritas
Kebanyakan calon berguguran di seleksi tahap kedua, yaitu seleksi kualitas. Seleksi ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keilmuan dan keahlian calon hakim ad hoc tipikor. Pelaksanaannya dilakukan dengan tes obyektif, pembuatan karya tulis di tempat, studi kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan studi kasus hukum.
Menurut Suparman Marzuki, masalah utama dalam seleksi calon hakim ada pada aspek kualitas yang di dalamnya mencakup integritas calon. Banyak calon tidak memenuhi kualifikasi sehingga gagal di KY. Kalaupun lolos di KY, kebanyakan terkendala di DPR yang menolak meloloskan calon.
Ia mengakui, sulit untuk mencari calon hakim yang berintegritas. ”Jangankan hakim ad hoc, cari hakim agung non ad hoc saja sukar sekali. Selama 5 tahun seleksi, lebih banyak yang tidak memenuhi standar integritas. Yang lolos jadi hakim agung pun terkadang disoal oleh koleganya sendiri. Kok si anu lolos? Saya jawab KY tidak bisa tidak meloloskan orang yang hasil tesnya bagus dan tidak ada bukti kuat dan meyakinkan bahwa integritasnya bermasalah,” ungkapnya.
Itulah mengapa Suparman terkadang mengaku tak bisa tidur apabila informasi mengenai calon-calon yang diloloskan KY baru muncul belakangan. Informasi itu terkadang datang dari kolega calon itu sendiri yang baru bersedia membuka informasi setelah proses seleksi selesai. ”Saya tanya kenapa baru ngomong? Ada yang bilang enggak enak, ada yang takut ketahuan sebagai pemberi info, dan seterusnya,” ungkap Suparman.
Lantas, bagaimana hal tersebut tidak terdeteksi selama proses penelusuran rekam jejak oleh KY? Bukankah KY melibatkan banyak institusi untuk menelusuri rekam jejak para calon, termasuk misalnya bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta juga lembaga lain.
Menurut Suparman, informasi yang disampaikan institusi, seperti PPATK misalnya, tidak banyak membantu. PPATK kesulitan sebab perbuatan-perbuatan seperti penerimaan uang dari pihak lain tidak dilakukan dengan cara transfer serta cara menyimpannya dilakukan secara variatif. ”Ada yang pakai rekening orang lain, ada yang pakai emas, ada yang pakai tanah, ada yangg pakai saham, dan seterusnya,” ujarnya.
Baca juga: Atasi Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, KY-MA Duduk Bersama
Apa yang diungkapkan oleh Suparman tersebut sejalan dengan yang disampaikan Arsul Sani, anggota Komisi III yang ikut menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim di DPR. Ini terjadi ketika DPR tengah melakukan fit and proper test terhadap calon hakim ad hoc tipikor yang diusulkan KY beberapa waktu lalu.
Menurut dia, calon hakim ad hoc tipikor yang diajukan KY ke DPR kerap gagal karena faktor integritas. Saat berhadapan dengan Komisi III dalam uji kelayakan dan kepatutan, mereka kerap lupa bahwa di masa lalu, mereka pernah berhadapan dengan anggota DPR yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara.
Calon hakim ad hoc tipikor yang diajukan KY ke DPR kerap gagal karena faktor integritas. Saat berhadapan dengan Komisi III dalam uji kelayakan dan kepatutan, mereka kerap lupa bahwa di masa lalu, mereka pernah berhadapan dengan anggota DPR yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara.
Para advokat itu misalnya pernah mengalami pengalaman tidak enak terhadap calon hakim tersebut. Misalnya, terkait meminta atau menerima sesuatu dari pihak yang beperkara. Namun, saat ditanya apakah calon tersebut pernah menerima sesuatu, mereka mengatakan tidak pernah. Dengan sendirinya, kandidat yang berbohong akan tercoret dari daftar persetujuan DPR karena tak memenuhi kualitas calon hakim ad hoc tipikor.
Selain itu, DPR juga menjaring informasi dari masyarakat masukan-masukan yang tidak terjaring di KY. Informasi bisa didapatkan dari konstituen dan pengalaman anggota DPR saat menjadi advokat.
”Saya itu sudah 25 tahun jadi advokat, saya tahu hakim-hakim nakal. Catatan sampai sekarang terbawa, kita tahu hakim ini teman main golf dengan pengacara. Pengacara ini kalau beperkara selalu menang jika ditangani hakim ini. Otomatis akan dicoret dari persetujuan DPR,” kata Arsul.
Baca juga: Soal Krisis Hakim Agung ”Ad Hoc” Tipikor, MA Dinilai Lamban
Tantangan internal
Problem hakim ad hoc tipikor di MA ternyata tidak berhenti pada proses pencariannya yang cukup sulit. Begitu para hakim tersebut bekerja di badan peradilan tertinggi di Indonesia itu, tantangan besar kerap dihadapi. Hal ini setidaknya diungkapkan oleh hakim ad hoc tipikor di MA yang akan mengakhiri masa tugasnya pada 22 Juli mendatang, Krisna Harahap.
Saat ditanya tantangan terberat selama menjadi hakim ad hoc, Krisna yang sudah berada di MA sejak 2004 mengungkap tentang sikap yang diterima hakim ad hoc. Hakim ad hoc, menurut dia, sering dianggap tak lebih dari ”pelengkap penderita” belaka.
”Sekadar memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai amanat reformasi. Mereka tidak punya hak yang sama dengan hakim agung, kecuali kewajibannya sama-sama memeriksa-mengadili dan memutus perkara. Sementara proses rekrutmen yang harus ditempuh tidak ada bedanya, sama melalui Komisi Yudisial dan DPR,” ujarnya.
Dalam beberapa hal, hakim ad hoc memang mendapatkan perlakuan berbeda. Misalnya dalam pemilihan pejabat MA, seperti ketua ataupun wakil ketua, hakim ad hoc di MA tidak memiliki suara. Sepanjang sejarah pun tidak pernah ada hakim ad hoc di MA yang menduduki jabatan baik ketua kamar, ketua bidang, ataupun ketua/wakil ketua.
Selain itu, hakim ad hoc tidak dianggap sebagai pejabat negara seperti termaktub di dalam Pasal 122 Huruf e UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal tersebut berbunyi, ”Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu, (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.”
Pasal tersebut sempat dipersoalkan oleh 11 hakim ad hoc ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015. Konsekuensi dari perbedaan status tersebut berdampak pada pengenaan potongan Pajak Penghasilan (PPh 21) terhadap tunjangan hakim ad hoc sejak Februari 2014 sebesar 15 persen. Selain itu, terdapat pembedaan hak-hak hakim karier dengan hakim ad hoc.
Krisna Harahap, dalam persidangan di MK pada 21 Juli 2014, menerangkan tentang perbedaan hakim karier dan hakim ad hoc. Disebutkan, besaran gaji hakim biasa dengan hakim khusus sengaja dibedakan dengan perbandingan 1:2. Gaji para hakim ad hoc pun dipotong sebesar 16,5 persen. Selain itu, tidak ada uang pesangon ketika pensiun, tidak ada remunerasi, hak-hak di bidang kesehatan, transportasi, keamanan, perumahan, dan lainnya.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Moh Askin mengungkapkan, penyebutan hakim ad hoc bukan pejabat negara tersebut yang akhirnya berdampak pada tidak diterimanya sejumlah hak oleh hakim ad hoc. Ia mengatakan, untuk tunjangan bulan ke-13 masih diterima pada tahun 2012-2013. Namun, setelah terbit UU Aparatur Sipil Negara, gaji ke-13 tidak dibayarkan lagi untuk hakim ad hoc.
Penyebutan hakim ad hoc bukan pejabat negara tersebut yang akhirnya berdampak pada tidak diterimanya sejumlah hak oleh hakim ad hoc.
Apa yang dipersoalkan oleh para hakim ad hoc tipikor tersebut kandas di MA. Sembilan hakim konstitusi bersepakat untuk menyerahkan status hakim ad hoc tipikor sebagai pejabat negara atau bukan kepada pembentuk undang-undang. Status tersebut merupakan open legal policy pemerintah dan DPR.
Apakah kondisi-kondisi tersebut memengaruhi minat para praktisi atau akademisi hukum untuk menjadi menjawab panggilan menjadi hakim ad hoc tipikor? Ditambah lagi, mekanisme seleksi dan bobot yang diharapkan dari hakim ad hoc tipikor sama dengan dengan kualifikasi menjadi hakim agung. Daripada menjadi hakim ad hoc, banyak pihak mencoba langsung mengikuti seleksi hakim agung.
Miko Ginting menampik bahwa faktor ”sama beratnya” syarat calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tidak menjadi satu-satunya faktor penentu minimnya peminat seleksi calon hakim ad hoc tipikor. Diperlukan riset empiris untuk mengetahui penyebabnya.
Namun, untuk memperluas peminat calon hakim ad hoc tipikor, KY selalu pro-aktif atau jemput bola dengan menyebarkan informasi, dan sosialisasi ke kampus, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lain
Apa pun alasannya, ini adalah saatnya putra-putra terbaik di bidang hukum untuk menjawab panggilan negara mengisi jabatan puncak di benteng terakhir peradilan di Indonesia.