Kejadian narapidana kasus korupsi KTP elektronik, Setya Novanto, yang kembali melakukan pelanggaran saat ditahan di Lapas Sukamiskin menunjukkan lemahnya pengawasan dan pembinaan di lapas tersebut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Narapidana kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik, Setya Novanto, kembali melakukan pelanggaran saat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Bekas ketua DPR tersebut kedapatan membawa gawai melalui foto yang beredar di publik. Pelanggaran berulang, terutama yang dilakukan oleh narapidana kasus korupsi, menunjukkan masih lemahnya pengawasan dan pembinaan.
Sebelumnya pada Juli 2018, Novanto juga diketahui ditahan di sel mewah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin. Setahun berselang pada Juni 2019, Novanto tepergok berada di sebuah toko bangunan di Kabupaten Bandung Barat. Selain Novanto, narapidana kasus korupsi lainnya, Tubagus Chaeri Wardhana, pernah menyalahgunakan izin keluar lapas. Untuk memuluskan perizinan itu, ia menyuap bekas Kepala Lapas Sukamiskin Deddy Handoko dan Wahid Hussein.
Perihal foto Novanto dengan dua gawai, Kepala Bagian Humas dan Publikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti menyatakan, foto diambil saat momen Idul Adha 2020. Selama setahun terakhir, ia mengklaim telah banyak melakukan perbaikan-perbaikan agar pelanggaran serupa tidak terulang.
”Kami terus meningkatkan kedisiplinan dan penegakan aturan dengan terus melakukan razia, penggeledahan, serta pengetatan masuknya barang-barang dari luar,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (18/7/2021).
Rika menuturkan, semua warga binaan memperoleh fasilitas yang sama. Tidak ada sekelompok warga binaan yang mendapatkan fasilitas yang lebih dibandingkan yang lain. Modus-modus untuk memasukkan barang terlarang dari luar pun sudah diketahui sehingga pengetatan terus dilakukan agar tidak ada lagi barang yang dilarang masuk ke lapas.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Yohanes Widiantoro, mengatakan, lemahnya pengawasan sering kali menjadi pintu masuk narapidana melakukan pelanggaran.
Potensi pelanggaran akan meningkat terutama di lapas yang dihuni narapidana kasus korupsi yang memiliki materi kuat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pembatasan kunjungan dan memastikan kamera pemantau (CCTV) di lapas terus berfungsi.
”Karena ini bukan pertama kali terjadi, mungkin inspeksi mendadak perlu dilakukan, termasuk oleh Ombudsman. Saya akan coba bicarakan secara internal untuk mengagendakan sidak ini, tentunya setelah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat,” ujar Yohanes.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berulangnya pelanggaran yang dilakukan Novanto menunjukkan bobroknya pengelolaan Lapas Sukamiskin yang banyak diisi narapidana korupsi. Kemenkumham perlu menelusuri penyebab lolosnya gawai yang dibawa oleh Novanto ke lapas.
”Apa sekadar kelalaian petugas atau ada unsur suap-menyuap di balik kejadian tersebut,” katanya.
Kemenkumham, katanya, harus mengaudit seluruh instrumen pengawasan yang ada di Lapas Sukamiskin. Hal ini sebagai langkah mitigasi agar praktik serupa tidak terulang kembali. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menghubungkan CCTVdi lapas tersebut ke kantor aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelibatan aparat lain sangat penting karena pengawasan tunggal oleh Kemenkumham seringvkali bermasalah.
Di sisi lain, ICW mendesak agar Novanto dipindahkan ke lapas dengan tingkat pengawasan maksimum, seperti di Nusakambangan, Jawa Tengah. Sebab, Novanto telah beberapa kali melakukan pelanggaran dan terus-menerus berulang.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pembinaan terhadap narapidana korupsi patut dipertanyakan. Sebab, mereka terus melakukan pelanggaran yang berulang dan tidak ada efek jera. Novanto, misalnya, beberapa kali mengulangi pelanggaran-pelanggaran selama mendekam di Lapas Sukamiskin.
”Secara formal pembinaan terus dilakukan oleh lapas, tetapi substansinya hilang karena tidak memberikan efek jera. Apalagi jika petugasnya bermasalah,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar narapidana kasus korupsi sebaiknya dipindahkan ke Lapas Nusakambangan. Penahanan mereka di lapas-lapas di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung membuat mereka masih mudah mendapatkan akses yang diinginkan karena fasilitas yang memadai. Berbeda halnya jika mereka berada di Nusakambangan yang memiliki pengamanan ketat serta akses transportasi dan fasilitas lain cukup terbatas.
”Novanto perlu diberikan sanksi administratif karena melakukan pelanggaran, seperti pembatasan kunjungan,” kata Fickar.
Untuk diketahui, pada 24 April 2018, Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam proyek KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013. Ia dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan oleh penyidik. Pengadilan Tipikor Jakarta juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Peninjauan kembali
Saat ini, Novanto tengah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kasusnya. Alasan PK adalah adanya novum atau bukti baru dan kekeliruan nyata dalam putusan hakim.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan, perkara tersebut masih diperiksa oleh majelis PK. Adapun majelis PK yang menangani perkara tersebut adalah Surya Jaya (selaku ketua majelis), Sri Murwahyuni, dan Krisna Harahap (kedua merupakan hakim anggota).
”Sepengetahuan kami belum putus. Diharapkan putus sebelum Pak Krisna Harahap berakhir masa tugasnya pada 22 Juli 2021,” kata Andi Samsan.
Krisna Harahap merupakan salah satu hakim ad hoc tipikor di MA yang akan berakhir masa tugasnya tiga hari lagi. Selain Krisna, ada empat hakim ad hoc tipikor lainnya yang masa tugasnya berakhir bersamaan, yaitu Mohammad Askin, Abdul Latief, Leopold Hutagalung, dan Syamsul Rakan Chaniago.
Sebelumnya, pada akhir Agustus 2019, Setya Novanto melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan PK adalah adanya novum atau bukti baru dan kekeliruan nyata dalam putusan hakim.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, MA harus mampu membuktikan bahwa sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman tertinggi, MA masih berpihak pada pemberantasan korupsi dan tidak terlibat lebih jauh dalam upaya memangkas masa pidana para koruptor. Apalagi ada hakim ad hoc tipikor yang menangani perkara Novanto yang akan mengakhiri masa tugasnya.
”Yang Mulia harus pensiun dengan legacy terhormat berjuang memberantas korupsi, bukan meninggalkan coreng bagi keadilan dan bagi masa depan Indonesia,” ujarnya.