Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Dipertanyakan
Penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Dibutuhkan komitmen dan kemauan politik pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memperingati Hari Keadilan Internasional, 17 Juli, keberpihakan dan komitmen pemerintah kepada para korban kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masih dipertanyakan. Kendati pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025, penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum menujukkan kemajuan berarti.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar, ketika dihubungi, Sabtu (17/7/2021), mengatakan, peringatan Hari Keadilan Internasional sangat erat kaitannya dengan Statuta Roma. Statuta Roma adalah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional yang hingga kini belum diratifikasi Indonesia. Selain Statuta Roma, Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa.
Indonesia sudah meratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi, tetapi belum mampu secara konsisten mengintegrasikan dan menjalankan berbagai instrumen tadi ke dalam layanan publiknya. Alat ukurnya adalah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau RANHAM.
Padahal, pada 2009, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden untuk meratifikasi konvensi tersebut. DPR juga merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc dalam kasus penghilangan paksa 1997-1998, memastikan nasib 13 aktivis yang masih hilang, serta merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
”Indonesia sudah meratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi, tetapi belum mampu secara konsisten mengintegrasikan dan menjalankan berbagai instrumen tadi ke dalam layanan publiknya. Alat ukurnya adalah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia atau RANHAM,” kata Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, Perpres No 53/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun (RANHAM) 2021-2025 yang dikeluarkan setiap lima tahun sekali memang tidak secara spesifik menyebut rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, RANHAM tersebut dapat menjadi rujukan dalam melihat komitmen pemerintah terkait HAM, termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Di dalam Pasal 3 Perpres No 53/2021 disebutkan, penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM ditujukan pada empat kelompok sasaran, yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas, serta kelompok masyarakat adat. Jika dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, kelompok-kelompok tersebut juga termasuk menjadi korban.
Menurut Wahyudi, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, baik yudisial maupun nonyudisial, diperlukan kemauan politik dan komitmen dari Presiden. Namun, menimbang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang hanya sekitar tiga tahun, diperlukan langkah dan strategi yang tepat.
”Pertama, menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM dan kedua mengambil langkah terkait proses pengungkapan kebenarannya,” ujar Wahyudi.
Kasus yang diselesaikan, lanjut Wahyudi, adalah kasus yang memang lebih mudah diselesaikan. Sementara untuk pengungkapan kebenaran, Presiden dapat membentuk sebuah tim yang dengan mandat dan wewenangnya membuat laporan utuh tentang peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Laporan tersebut diserahkan kepada Presiden untuk kemudian ditindaklanjuti dengan penyesalan dan permintaan maaf resmi kepada para korban. Kedua hal itu yang dirasa dapat dilakukan dalam waktu yang relatif pendek.
Secara terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab berpandangan, kasus pelanggaran HAM berat sebenarnya telah memiliki dasar yang kuat, yaitu Undang-Undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun Perpres No 53/2021 tidak menyebutkan soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, hal itu tetap menjadi kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM.
”Komnas HAM itu sebagai penyelidik sudah melakukan penyelidikan dan menyatakan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam suatu peristiwa. Nah, apakah dugaan Komnas HAM itu valid atau tidak, cukup bukti atau tidak, itu silakan penyidik menindaklanjuti,” kata Amiruddin.
Komnas HAM itu sebagai penyelidik sudah melakukan penyelidikan dan menyatakan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam suatu peristiwa. Nah, apakah dugaan Komnas HAM itu valid atau tidak, cukup bukti atau tidak, itu silakan penyidik menindaklanjuti.
Amiruddin mengatakan, dari 13 berkas kasus pelanggaran HAM yang diselidiki Komnas HAM, belum ada satu pun yang ditindaklanjuti ke penyidikan. Sembilan perkara di antaranya adalah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan empat kasus lainnya terjadi setelah UU tentang Pengadilan HAM terbit. Meski penyelesaiannya masih jalan di tempat, Komnas HAM berharap agar ke depan ada kebijakan baru dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan lebih berpihak kepada para korban.