Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer Anwar Saadi telah dilantik dan diambil sumpahnya Rabu (14/7) kemarin. Masyarakat sipil meminta agar proses hukum perkara koneksitas dijalankan sesuai semangat reformasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tugas utama Jaksa Agung Muda Pidana Militer Kejaksaan Agung adalah menyelesaikan perkara koneksitas yang belum terselesaikan saat ini. Kalangan masyarakat sipil pun meminta agar proses hukum perkara koneksitas dijalankan sesuai dengan semangat reformasi peradilan militer.
Jampidmil Kejagung Anwar Saadi telah dilantik dan diambil sumpahnya Rabu (14/7) kemarin. Dalam pelantikan disebutkan, terdapat 2.726 perkara atau sekitar 23 persen dari total 12.017 perkara yang merupakan tindak pidana koneksitas yang belum diproses dan diadili melalui mekanisme koneksitas.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, ketika dihubungi pada Jumat (16/7/2021), mengatakan, yang selama ini menjadi masalah dalam perkara koneksitas adalah terkait penerapan Pasal 89 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan pasal tersebut, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
"Itu berarti, pada prinsipnya semua diadili di peradilan umum yang kemudian terdapat beberapa pengecualian sebagaimana diatur. Namun, dalam perkara koneksitas, pernah terjadi dalam sebuah kasus bahwa seorang anggota militer baru bisa diadili di peradilan umum setelah minta izin ke petinggi militer. Ini kan keliru," kata Asfinawati.
"Itu berarti, pada prinsipnya semua diadili di peradilan umum yang kemudian terdapat beberapa pengecualian sebagaimana diatur. Namun, dalam perkara koneksitas, pernah terjadi dalam sebuah kasus bahwa seorang anggota militer baru bisa diadili di peradilan umum setelah minta izin ke petinggi militer. Ini kan keliru" (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati)
Menurut Asfinawati, pihak militer biasanya tidak mau dibawa ke peradilan umum dengan dalih bahwa titik berat kerugian yang ditimbulkan terletak pada kepentingan militer, bukan kepentingan umum. Pada praktiknya, tindak pidana yang dilakukan militer dalam perkara koneksitas seolah merupakan kewenangan peradilan militer, bukan peradilan umum.
Sementara, lanjut Asfinawati, di dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebutkan, prajurit tuntuk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Demikian pula perkara koneksitas masuk ke ranah peradilan umum.
"Dengan adanya Jampidmil, mungkin koordinasi kejaksaan dengan TNI akan lebih cepat. Tapi secara esensi mesti kembali pada reformasi TNI yang di dalamnya mencakup reformasi peradilan militer. Maka yang sebenarnya diperlukan adalah revisi UU tentang Peradilan Militer," tutur Asfinawati.
Ruang impunitas baru
Secara terpisah, Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldi berpandangan, dengan adanya Jampidmil yang tugasnya menangani perkara koneksitas, dikhawatirkan hal ini akan menjadi ruang impunitas baru bagi pelaku dari kalangan militer. Sebab pengadilan koneksitas yang pernah dijalankan pada masa Orde Baru maupun tahun-tahun awal reformasi justru mencerminkan upaya sistematis untuk melindungi pelaku.
"Dengan adanya Jampidmil yang tugasnya menangani perkara koneksitas, dikhawatirkan hal ini akan menjadi ruang impunitas baru bagi pelaku dari kalangan militer" (Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Andi Muhammad Rezaldi)
"Dalam berbagai kasus hanya prajurit berpangkat rendah yang diadili, dikenakan hukuman ringan dan terkadang tidak dilaksanakan atau hanya dipindahkan bertugas ke tempat lain," kata Andi.
Salah satu contoh dari pengadilan koneksitas adalah kasus penembakan Tengku Bantaqiyah yang terjadi pada 23 Juli 1999 di Aceh. Kasus tersebut berakhir dengandivonisnya para pelaku lapangan. Selama proses persidangan, korban tidak dilibatkan dalamsidang sehingga saksi dalam persidangan adalah para terdakwa sendiri
Menurut Andi, pengadilan koneksitas sebagaimana pernah dibentuk hanya menjadi alat untuk meredam kemarahan masyarakat. Sementara, pengadilan koneksitas hanya wujud lain dari peradilan militer karena semua orang yang terlibat di dalamnya berasal dari militer.
Oleh karena itu, lanjut Andi, untuk menjawab persoalan ketidakadilan yang selama ini dinilai terjadi dalam proses peradilan militer bukan dengan pengadilan koneksitas, melainkan pada peradilan umum. Sebab, akar dari permasalahan perkara koneksitas adalah impunitas.
"Jampidmil ini hanya masalah teknis saja bahwa ada penambahan kamar jampidmil. Yang lebih jauh dalam reformasi terkait peradilan militer yang seharusnya dilakukan adalah melakukan revisi UU Peradilan Militer," kata Andi.
Sementara itu, Jampidmil Anwar Saadi, dalam keterangan pers mengatakan, penyelesaian perkara koneksitas dan koordinasi penuntutan perkara bersama oditur merupakan tugas yang akan segera dilaksanakan. Anwar berharap penegakan hukum ke depan dapat semakin baik dan sesuai dengan azas pengadilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana.