Rencana pemberlakuan vaksinasi Covid-19 berbayar akhirnya dibatalkan. Presiden Joko Widodo menegaskan, vaksin Covid-19 diberikan secara gratis kepada masyarakat.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membatalkan vaksin Covid-19 berbayar yang sebelumnya akan disalurkan melalui Kimia Farma. Dengan demikian, seluruh vaksinasi akan tetap menggunakan mekanisme seperti yang sudah berjalan saat ini, yakni gratis bagi seluruh masyarakat.
”Setelah mendapatkan masukan dan respons dari masyarakat, Presiden Joko Widodo mengarahkan dengan tegas bahwa vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma dibatalkan dan dicabut. Oleh karena itu, semua vaksinasi tetap dengan mekanisme digratiskan seperti disampaikan sebelumnya oleh Presiden,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat memberikan keterangan, Jumat (16/7/2021).
Mekanisme vaksin gotong royong juga tetap melalui perusahaan. ”Dan perusahaan yang akan membayar untuk seluruh karyawan yang ada. Dengan demikian, mekanisme untuk seluruh vaksin, baik yang gotong royong maupun yang sekarang mekanisme sudah berjalan, digratiskan oleh pemerintah,” kata Pramono.
Setelah mendapatkan masukan dan respons dari masyarakat, Presiden Joko Widodo mengarahkan dengan tegas bahwa vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma dibatalkan dan dicabut. Oleh karena itu, semua vaksinasi tetap dengan mekanisme digratiskan seperti disampaikan sebelumnya oleh Presiden.
Presiden juga menegaskan bahwa dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat harus ada sense of crisis (kesadaran terhadap krisis) dari seluruh kementerian, lembaga, dan para pemimpin. Oleh karena itu, seluruh menteri dan kepala lembaga dilarang bepergian ke luar negeri.
”(Pihak) yang boleh bepergian ke luar negeri hanya Menteri Luar Negeri karena memang sesuai dengan bidang tugasnya. (Pihak) yang lainnya, kalau ada hal yang bersifat khusus, harus mendapatkan izin secara langsung dari Presiden,” kata Pramono.
Secara terpisah, peneliti Centre for Health Economics and Policy Innovation, Imperial College Business School, Dian Kusuma, menuturkan, dari sisi kesehatan masyarakat dan kedokteran, PPKM darurat diperlukan untuk menekan kasus Covid-19. PPKM darurat juga dibutuhkan untuk mengurangi rumah sakit yang penuh dan mengurangi kematian.
PPKM darurat diperlukan untuk menekan kasus Covid-19, mengurangi rumah sakit yang penuh, dan mengurangi kematian. (Dian Kusuma)
”Namun, perlu dukungan untuk kelompok sosial ekonomi rendah karena mereka yang most impacted (paling terdampak),” kata Dian pada diskusi publik bertajuk ”PPKM Darurat, Ekonomi Melambat” yang digelar secara daring, Jumat (16/7/2021).
Menurut Dian, poin lain adalah perlunya perluasan vaksinasi. Hal ini karena perluasan vaksinasi tersebut dibutuhkan untuk menekan kasus, menekan hospitalitation (mengurangi rumah sakit yang penuh), dan menekan jumlah kematian. ”Namun, dalam hal vaksinasi ini juga perlu dipastikan, (bahwa) kita mempunyai vaksin yang efektif terutama terhadap varian Delta, yang kita tahu, mayoritas (yang di) Indonesia itu varian Delta sekarang,” ujarnya.
Sementara itu, juru bicara pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru Reisa Broto Asmoro, saat ditanya mengapa orang yang sudah divaksinasi bisa kena Covid-19, menuturkan bahwa vaksinasi bukan berarti menjadikan kita kebal 100 persen. ”Vaksinasi adalah usaha kita, ikhtiar kita, yang terakhir sebenarnya, supaya kita punya bala bantuan, yakni (ibaratnya) ada tentara atau polisi, di badan kita,” kata Reisa pada perbincangan live di akun Instagram Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman, Jumat (16/7/2021).
Protokol kesehatan
Reisa menuturkan, usaha lain tetap harus dilakukan, yakni dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Dengan demikian, semua orang tetap mesti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan seterusnya. ”Nanti kalau ada yang kecolongan, masuk virus ke tubuh kita, nah, kita punya antibodi spesifiknya dari vaksin itu. Jadi, kalaupun sampai terinfeksi, biasanya, tubuh sudah siap nih, juga lebih ringan. Jadi, sebenarnya, semakin banyak ikhtiar yang kita, lakukan semakin baik,” ujarnya.
Terkait pertanyaan mengapa vaksin berbeda-beda dan mana vaksin yang paling bagus, Reisa mengatakan bahwa saat ini ada kebutuhan vaksin yang banyak. ”Kemarin saja 181,5 juta orang yang harus divaksin di Indonesia. Sekarang bertambah menjadi 208 juta (orang), otomatis kebutuhan vaksinnya lebih dari 450 juta. Enggak mungkin beli di satu produsen saja. Enggak ada (produsen) yang mampu, memadai, dalam waktu singkat memproduksi sebegitu banyaknya (vaksin) hanya untuk Indonesia,” katanya.
Karena itu, lanjut Reisa, pemerintah berupaya untuk membeli vaksin dari berbagai produsen. ”(Vaksin) yang ada dulu, yang bisa dibeli dulu, (pihak) yang mau nyumbang dulu, kita terima semuanya supaya semakin cepat kebutuhan vaksin kita tersebut terpenuhi. Jadi, bukan perkara bagus yang ini (atau) bagus yang itu, tetapi yang ada di depan mata saja dulu yang kita gunakan. Ibaratnya kalau kita lagi mau tenggelam, ya, pakai dulu saja deh yang bisa dipakai pelampungnya. Enggak usah milih-milih,” ujarnya.