Revisi UU Disahkan, Otonomi Khusus Papua Diperkuat
Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua akhirnya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Regulasi baru itu mengatur pemberian dana otsus 2,25 persen DAU untuk Papua selama 20 tahun ke depan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
YOUTUBE DPR RI
Ketua Pansus Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun (kiri) menyerahkan laporan Pansus Revisi Otsus Papua kepada Pimpinan DPR, Sufmi Dasco Ahmad, saat Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa sidang V tahun sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/7/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Otonomi khusus bagi Papua diperkuat dalam Rancangan Undang-Undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Rakyat Papua yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (15/7/2021). Selain menambah dana otonomi khusus, regulasi baru itu juga mengatur afirmasi politik orang asli Papua.
Tak hanya itu, revisi UU Otsus Papua juga mengamanatkan pembentukan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua untuk memastikan efektivitas pelaksanaan otsus. Badan ini bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dan diketuai oleh Wakil Presiden, beranggotakan Mendagri, Menkeu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan satu perwakilan di setiap provinsi di Papua (Pasal 68A).
Keanggotaan orang asli Papua (OAP) dalam Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK) diatur dalam Pasal 6A yang merupakan pasal baru dalam revisi UU Otsus. Dalam pasal itu disebut, sebanyak 25 persen anggota DPRD diangkat dari unsur orang asli Papua, di mana 30 persen di antaranya merupakan perempuan. Pasal itu dibuat untuk memberikan afirmasi politik bagi orang asli Papua dalam kancah politik.
Dana otsus yang semula ditetapkan 2 persen, dinaikkan menjadi 2,25 persen dari total dana alokasi umum (DAU) pemerintah pusat. Dalam Pasal 34 itu juga disebutkan bahwa bahwa dana otsus berlaku selama 20 tahun. Artinya, jika tak ada perubahan, pemberian dana otsus Papua berlangsung hingga tahun 2021.
Ketua Panitia Khusus Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun dalam laporanya di depan Sidang Paripurna DPR mengatakan, ada 20 pasal dalam revisi yang telah disepakati DPR dan pemerintah. Sebanyak 3 pasal merupakan usulan pemerintah, yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 76. Adapun 15 pasal lainnya di luar usulan pemerintah, yakni Pasal 4, 5, 6, 7, 11, 17, 20, 24, 28, 36, 38, 56, 59, 68, dan 75. Ada pula tambahan dua pasal baru, yakni Pasal 6A yang mengatur bentuk pemerintahan dan Pasal 68A tentang pembentukan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua.
Pembahasan revisi UU Otsus Papua dilakukan dengan mendengarkan masukan dari masyarakat Papua dan Papua Barat. Sejumlah kelompok kepentingan terkait seperti Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, pemerintah provinsi, dan tokoh adat Papua dilibatkan dalam penyerapan aspirasi terkait revisi tersebut. Pembahasannya pun melibatkan 16 kementerian/lembaga terkait selain Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenkeu.
YOUTUBE DPR RI
Ketua Pansus Revisi UU Otonomi Khusus Papua Komarudin Watubun
“Dari hasil rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum, fraksi-fraksi di DPR berpandangan persoalan Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan merevisi tiga pasal, sehingga pemerintah mengakomodasi 15 pasal direvisi dan dua pasal baru,” ujar Komarudin yang merupakan Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan daerah pemilihan Papua.
Dijelaskan, salah satu pasal baru adalah Pasal 6A yang mengatur tentang kuota 25 persen anggota DPRK untuk OAP. Pasal ini Pasal ini dibuat untuk memberikan afirmasi politik bagi OAP dalam berkancah di bidang politik.
Pasal baru lainnya adalah Pasal 68A mengatur tentang pembentukan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua. Badan khusus ini dibentuk dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otsus dan pembangunan di wilayah Papua. ”Badan khusus ini memiliki perwakilan di Papua supaya program-program terhadap masyarakat Papua bisa lebih efektif dan efisien. Ini juga merupakan simbol kehadiran Istana di Papua,” tutur Komarudin.
Rapat Paripurna pengesahan revisi UU Otsus Papua dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Rapat juga dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej sebagai wakil pemerintah.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pemandangan Kota Mulia yang merupakan ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Selasa (15/11/2011).
Komarudin juga menjelaskan, dana otsus yang sebelumnya 2 persen kini menjadi 2,25 persen DAU. Namun tidak semuanya berbentuk dana hibah, karena pencairan dana dibagi menjadi dua bagian, yakni 1 persen block grant dan 1,25 persen specific grant. Ada ketentuan penggunaan specific grant sebanyak 30 persen untuk Pendidikan dan 20 persen untuk kesehatan.
“Aturan ini merupakan skema baru yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan di Papua,” kata Komarudin.
Menjunjung harkat OAP
Sementara dalam sambutannya, Tito menuturkan, banyak hal yang telah berhasil dicapai selama 20 tahun pelaksanaan otsus di Papua. Namun, masih ada hal yang perlu diperbaiki. Salah satu yang perlu perbaikan yakni pemerataan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, revisi UU Otsus Papua merupakan upaya bersama dan wujud komitmen Pemerintah, DPR, dan DPD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Dalam pembahasannya, kita berpijak pada prinsip-prinsip untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat OAP dan melakukan percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua," ujarnya.
Menurut Tito, ada tiga kebijakan afirmasi dalam revisi UU Otsus Papua, yakni afirmasi politik, afirmasi ekonomi, dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Afirmasi politik terkait dengan pengangkatan 25 persen DPRK dari unsur OAP, serta afirmasi ekonomi dalam hal peningkatan dana otsus.
Adapun dalam perbaikan tata kelola pemerintahan, revisi ini menekankan aspek perbaikan tata kelola pemerintahan melalui peningkatan koordinasi dan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Perguruan Tinggi Negeri. Pembentukan badan khusus husus yang berada di bawah Presiden untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua.
”Setelah revisi UU Otsus Papua diundangkan, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada stakeholder di tingkat pusat dan daerah, serta menyusun peraturan pelaksanaan,” kata Tito.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Aktivitas warga di Pasar Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Rabu (16/11/2011), berjalan normal.
Aturan pelaksana
Sementara setelah revisi UU Otsus Papua disahkan, Pansus DPR bersama pemerintah berkomitmen menghadirkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) dalam waktu paling lambat 90 hari kerja setelah revisi diundangkan. Dalam pembuatannya PP tersebut akan dikonsultasikan dengan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, serta mengikutsertakan Pemerintah Provinsi Papua.
”DPR dan pemerintah melakukan terobosan hukum bahwa penyusunan PP dikonsultasikan ke DPR, DPD, serta berdasarkan masukan dari Pemprov Papua dan Papua Barat,” ujarnya.
Kemudian peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang melaksanakan ketentuan UU Otsus Papua ditetapkan paling lambat satu tahun sejak UU diundangkan. Apabila Perdasus dan Perdasi tidak diundangkan dalam batas waktu tersebut, pemerintah pusat akan mengambil alih pelaksanaan kewenangan dalam pembuatan kedua aturan itu.
Menanggapi pengesahan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah harus memastikan bahwa revisi UU Otsus Papua benar-benar melindungi masyarakat adat. Hal ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah melibatkan masyarakat Papua dalam perancangan dan pelaksanaan Otsus.
”Substansi Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, melemahkan wewenang MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua. Di sisi lain revisi justru memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua, termasuk melalui pembentukan badan khusus yang diketuai Wapres. Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam,” kata Usman.
Kuasa Hukum Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat yang melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU 21/2001, Saor Siagian, menyesalkan pengesahan revisi UU Otsus Papua yang dinilai terburu-buru dan dipaksa agar segera disahkan. Semestinya, pengesahan bisa dilakukan setelah gugatan judicial review terhadap Pasal 77 UU 21/2001 diputus oleh MK.
”Kebutuhan mendesak pemerintah hanya dasar hukum memperpanjang dana otsus yang berakhir 21 November 2021. Waktunya masih lama sehingga semestinya pengesahan bisa ditunda hingga ada putusan MK,” katanya.
Di sisi lain, pihaknya juga mempertanyakan MK yang menunda persidangan permohonan tersebut. Dalam masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, sidang semestinya bisa dilakukan secara daring. Apalagi instansi lain seperti DPR tetap bisa melakukan rapat di masa PPKM Darurat sehingga keputusan menunda sidang MK sangat disayangkan.