Makelar Kasus Rohadi ”Cuci Uang” Korupsi Rp 40,5 Miliar
Bekas panitera pengadilan, Rohadi, kembali dihukum dalam kasus pengurusan perkara. Kali ini, ia dihukum 3,5 tahun penjara. Salah satunya karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang mencapai Rp 40,5 miliar.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, terbukti menerima suap, gratifikasi, dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Atas perbuatannya tersebut, Rohadi divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Ketua majelis hakim Albertus Usada saat membacakan putusan untuk Rohadi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/7/2021), mengatakan, Rohadi telah terbukti bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi sebagaimana didakwa oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Untuk itu, hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Rohadi selama 3 tahun 6 bulan, serta pidana denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan selama 4 bulan. Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan JPU. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut Rohadi dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
”Menetapkan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa tersebut tidak dikurangkan dengan masa penahanan karena terdakwa dalam perkara ini tidak dilakukan penahanan,” ujar Albertus.
Sebagaimana diketahui, Rohadi saat ini sedang menjalani masa pidana dalam perkara lain yang telah berkekuatan hukum tetap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Ia divonis bersalah dalam perkara suap pengurusan kasus asusila pedangdut Saipul Jamil pada 2016. Awalnya, ia divonis 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Namun pada pertengahan 2020, permohonan peninjauan kembali (PK) pada MA yang diajukan Rohadi dikabulkan. Potongan Rohadi dipotong menjadi 5 tahun penjara.
Dalam sidang pembacaan putusan itu, Rohadi yang mengenakan batik ungu, mengikuti persidangan secara virtual dari Lapas Sukamiskin. Sementara, jaksa, kuasa hukum, dan majelis hakim berada di ruang sidang. Adapun, dua hakim anggota yang hadir di persidangan selain, ketua majelis Albertus Usada, adalah Susanti Arsi Wibawani dan Ali Muhtarom.
Dalam putusannya, majelis hakim juga menolak permohonan Rohadi sebagai justice collaborator. Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa tidak memenuhi syarat kumulatif sebagai justice collaborator.
”Setelah mencermati secara saksama terhadap fakta hukum perkara pidana khusus ini yang terungkap di persidangan dan faktual kasuistis, tidak ada pelaku utama perbuatan lainnya, kecuali hanya terdakwa saja,” ujar Albertus.
Suap dan gratifikasi
Putusan hakim tersebut didasari sejumlah pertimbangan hukum yang didapat dari fakta persidangan. Untuk dakwaan menerima suap, misalnya, Susanti menilai, Rohadi terbukti menerima suap sejumlah Rp 1.210.000.000 dari anggota DPRD Papua Barat 2009-2014, Robert Melianus Nauw dan Jimmy Demianus Ijie, melalui Sudiwardono terkait pengurusan tindak pidana korupsi yang melibatkan Robert dan Jimmy. Ini supaya Robert dan Jimmy dapat dibebaskan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Susanti berpendapat, meski Rohadi tidak melakukan pengurusan kasasi tersebut dan hanya sebatas memantau serta meneruskan informasi pantauan seakan-akan telah melakukan pengurusan, informasi itu telah dianggap sebagai suatu tindakan pengurusan.
Untuk dakwaan kedua, Rohadi terbukti menerima suap dalam jabatannya untuk pengurusan perkara dari sejumlah pihak.
Pertama, penerimaan uang Rp 110 juta dari Jeffri Darmawan terkait pengurusan kasasi perkara perdata PT Central Manunggal Prakarsa. Kedua, penerimaan uang Rp 235 juta dari Yanto Pranoto terkait pengurusan perkara perdata kasasi PT Usaha Bintang Bersama Sejahtera. Ketiga, penerimaan uang total Rp 1.608.500.000 dari Ali Darmadi terkait pengurusan beberapa perkara perdata. Keempat, penerimaan uang Rp 1,5 miliar dari Sareh Wiyono terkait pengurusan perkara perdata milik Sareh yang sedang diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Dalam dakwaan ketiga, Rohadi terbukti menerima gratifikasi dalam jabatan selaku panitera pengganti pada PN Jakarta Utara maupun sebelumnya pada PN Bekasi. Majelis hakim menilai telah terpenuhi adanya penerimaan sejumlah uang transfer ke rekening Rohadi Rp 11.518.850.000, yang diterima dalam rentang waktu dari November 2005 sampai dengan Juni 2016. Dalam persidangan, Rohadi disebutkan hakim, tidak dapat membuktikan uang itu diterima secara legal atau sah.
”Oleh karena tidak dapat dibuktikannya oleh terdakwa, secara hukum membuktikan bahwa penerimaan gratifikasi tersebut merupakan unsur pemberian suap telah terpenuhi,” tutur Albertus.
Rohadi diduga telah mencuci uang hasil suap dan gratifikasinya Rp 40,5 miliar.
Pencucian uang
Selain itu, Rohadi terbukti melakukan pencucian uang. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, majelis hukum menilai bahwa penutut umum telah dapat membuktikan TPPU yang dilakukan Rohadi.
Pencucian uang dilakukan dengan menukarkan dari mata uang asing ke mata rupiah, yang berasal dari valuta asing dollar Amerika Serikat, dollar Singapura, dan riyal Arab Saudi, yang setelah ditukarkan mencapai Rp 19.408.460.000.
Lalu, Rohadi juga menyetor tunai dalam rentang waktu 2014-2015 sejumlah Rp 465.300.000. Kemudian, ia membeli tanah dan bangunan rumah yang seluruhnya sejumlah Rp 13.010.976.000 serta melakukan pembelian kendaraan bermotor berupa mobil yang keseluruhannya sejumlah Rp 7.714.121.000. Perbuatan lainnya berupa kuitansi fiktif, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana korupsi.
Rohadi diduga telah mencuci uang hasil suap dan gratifikasinya, dengan total Rp 40,5 miliar.
Hakim berpandangan, oleh karena perbuatan Rohadi terbukti terlebih dahulu dalam persoalan fakta melakukan pengurusan atas sejumlah perkara dengan imbalan uang sebagaiman terbukti pada dakwaan satu sampai ketiga, majelis hakim menyimpulkan bahwa patut diduga uang yang untuk dibelanjakan dan dapat berubah bentuk serta guna pembelian barang-barang sebagiamana disebutkan di atas berhubungan langsung dengan TPPU.
”Menimbang demikian pula terdakwa tidak dapat membuktikan sebaliknya berkenaan dengan harta kekayaannya yang dapat menentukan bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Namun, dalam fakta persidangan, kecuali terhadap mobil Kijang Innova, yang diidentifikasi oleh jaksa sebagaimana surat tuntannya,” ucap Albertus.
Selain itu, majelis hakim menyimpulkan bahwa harta kekayaan Rohadi tidak sebanding dengan profil dan penghasilan terdakwa sebagai aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil yang berpangkat penata tingkat 1 golongan III D dalam jabatan fungsional sebagai panitera pengganti pada PN Jakarta Utara maupun sebelumnya panitera pengganti pada PN Bekasi. Apalagi, Rohadi tidak memiliki penghasilan lain yang sah kecuali penerimaan gaji dan perbaikan penghasilan yang diterimannya Rp 10,5 juta setiap bulan.
”Menimbang bahwa demikian pula, perbuatan terdakwa sebagaimana di atas, patut diduga pembelanjaan pembelian tersebut tidak sesuai dgn profil penghasilan diri terdakwa,” katanya.
Merespons putusan dari majelis hakim, jaksa pada KPK Takdir Suhan menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu. Sementara itu, Rohadi menyatakan menerima putusan majelis hakim.