Soal Seleksi Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, DPR Dorong Pertemuan Tripartit
DPR membuka pintu komunikasi dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengatasi persoalan minimnya hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi. Sebaliknya, MA pun diharapkan membuka pintu komunikasi dengan DPR.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung, Yarna Dewita, menjawab pertanyaan dari anggota Komisi III DPR saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/1/2021). Yarna Dewita merupakan hakim ad hoc tipikor pada Pengadilan Negeri Serang.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat memberikan atensi terkait dengan persoalan minimnya hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung. DPR pun membuka pintu komunikasi baik dengan MA maupun Komisi Yudisial untuk membahas persoalan itu agar tumbuh kesepahaman antara semua pihak tentang urgensi kebutuhan hakim ad hoc tipikor MA.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, dan anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, Selasa (13/7/2021), saat dihubungi secara terpisah dari Jakarta, mengatakan, dalam situasi kebutuhan hakim MA yang mendesak, komunikasi pimpinan MA dan KY dengan pimpinan DPR harus dibuka. Pertemuan tripartit itu diperlukan untuk membangun kesepahaman antara ketiga pihak tentang kebutuhan atau urgensi penerimaan calon hakim ad hoc tipikor di MA.
Dalam situasi kebutuhan hakim MA yang mendesak, komunikasi pimpinan MA dan KY dengan pimpinan DPR harus dibuka. Pertemuan tripartit itu diperlukan untuk membangun kesepahaman antara ketiga pihak tentang kebutuhan atau urgensi penerimaan calon hakim ad hoc tipikor di MA.
Arsul mengatakan, Komisi III perlu memberikan atensi khusus dalam bentuk pemberian persetujuan terhadap calon hakim ad hoc tipikor di MA yang diajukan berdasarkan seleksi oleh KY.
”Namun, hemat saya, agar ada pemahaman yang sama terkait dengan sense of urgency soal hakim ad hoc tipikor MA ini, saya menyarankan agar pimpinan MA juga membuka pintu komunikasi dengan pimpinan DPR, baik secara formal melalui rapat konsultasi maupun secara informal dengan pertemuan virtual di masa pandemi ini. Dengan menjelaskan urgensi tersebut, pimpinan DPR tentu akan meneruskannya kepada Komisi III yang akan ditugaskan melakukan uji kelayakan dan kepatutan serta kepada fraksi-fraksi yang anggotanya di Komisi III akan mengambil keputusan,” katanya.
Dari pengalaman uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim ad hoc tipikor di MA yang dilakukan Komisi III, menurut Arsul, sejumlah persoalan ditemui oleh anggota DPR. Persoalan itu baik dalam hal rekam jejak, kompetensi, maupun pemahaman dan pengetahuan para calon hakim soal penanganan kasus-kasus korupsi.
”Yang paling sering adalah tidak jujur menjawab. Misalnya, saat ditanya apakah selama jadi hakim pernah menerima sesuatu pemberian dari pencari keadilan, meski itu diberikan sebagai tanda terima kasih. Lalu dia menjawab tidak pernah. Padahal, kami punya data sebaliknya. Maka, soal kejujuran menjadi negatif di mata kami,” ucap Arsul.
Kualitas turun
Terkait uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR, Trimedya mengatakan, selama ini DPR serba salah. Jika calon yang kurang berkualitas diloloskan, DPR akan disalahkan dan kualitas putusan hakim akan dipertaruhkan. Adapun jika calon hakim itu tidak diloloskan, hal itu akan membuat MA kekurangan hakim ad hoc tipikor.
”Memang dari beberapa tahun terakhir ini, calon hakim yang diusulkan oleh KY dari segi kualitas agak turun, baik untuk hakim agung biasa maupun hakim ad hoc tipikor. Kami di DPR tidak memiliki kepentingan untuk menjegal seseorang menjadi hakim di MA. Untuk mengatasi ini, baik pimpinan MA maupun KY perlu berkomunikasi dengan pimpinan DPR,” kata mantan advokat ini.
Dengan pertemuan tripartit itu, MA dapat mengungkapkan kriteria hakim ad hoc tipikor seperti apa yang diharapkan dapat dihasilkan dari seleksi KY. Demikian pula sebaliknya, KY dapat mengetahui kebutuhan MA sebagai pengguna dari hasil seleksi itu. Misalnya, apakah MA menginginkan hakim tipikor yang menguasai bidang perbankan, kejahatan siber, tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan sebagainya.
”Dari pertemuan itu juga akan dapat diketahui kriteria calon hakim seperti apa, sih, yang dapat lolos dari uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Apakah hakim yang tidak baca berkas lalu putus 8 tahun, dan menaikkan hukuman lebih tinggi lagi. Atau mau hakim yang sekali berkas masuk langsung dibebaskan. Atau jenis hakim tipikor yang bagaimana, sih, yang sekiranya dapat lolos dari seleksi itu,” kata Trimedya.
Dengan pertemuan tripartit itu, MA dapat mengungkapkan kriteria hakim ad hoc tipikor seperti apa yang diharapkan dapat dihasilkan dari seleksi KY. Demikian pula sebaliknya, KY dapat mengetahui kebutuhan MA sebagai pengguna dari hasil seleksi itu.
Menurut Trimedya, seleksi yang dilakukan KY untuk setiap calon hakim memerlukan biaya puluhan sampai ratusan juta. Biaya yang besar itu akan sia-sia jika tidak mendapatkan calon hakim yang sesuai ekspektasi dari segi kualitas pribadi, integritas, ataupun kompetensi. KY dalam melakukan seleksi pun dinilai sangat ketat, termasuk mempertimbangkan faktor kesehatan calon hakim.
Komisi III DPR, diakui Trimedya, sudah lama tidak melakukan rapat konsultasi dengan MA. Oleh karena itu, ada baiknya jika pimpinan MA juga membuka komunikasi dengan pimpinan Komisi III ataupun dengan pimpinan DPR. Selama ini, pertemuan dengan pimpinan MA relatif terbatas karena hakim memang membatasi komunikasi dan pertemuan dengan pihak yang berpotensi untuk menjadi pihak yang berperkara.
Lima unsur pimpinan DPR berfoto bersama tiga hakim ad hoc yang baru saja disahkan dalam rapat paripurna ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/2/2021). Proses penetapan tiga hakim ad hoc tersebut berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan Komisi III pada 27-28 Januari 2021. Tiga nama dipilih berdasarkan proses seleksi dari total enam nama calon hakim ad hoc.
Namun, khusus terkait dengan pengadaan hakim ad hoc tipikor, pimpinan MA dan KY perlu berkomunikasi dengan DPR guna menjalin kesepahaman antarlembaga dalam seleksi tersebut. ”Jangan hanya ketika bicara anggaran, MA baru datang ke DPR. Komunikasi, kan, bukan sesuatu yang diharamkan untuk dilakukan oleh pimpinan lembaga,” ucap Trimedya.
Trimedya yang juga Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) itu juga mendorong agar inisiatif pertemuan dilakukan oleh KY ataupun MA. Namun, sebelum itu, komunikasi yang baik antara KY dan MA harus dilakukan. Pasalnya, pada periode KY sebelumnya, komunikasi kedua lembaga dinilai buruk sehingga berdampak pada kinerja dan hubungan antarlembaga yang kurang harmonis.