Perpanjangan Hakim ”Ad Hoc” Tipikor pada MA Bukan Solusi
Persoalan keterbatasan hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung belum juga teratasi. MA mewacanakan untuk kembali memperpanjang jabatan hakim ”ad hoc” tipikor karena KY tak punya anggaran untuk seleksi.
Oleh
Susana Rita/Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Mahkamah Agung mempertimbangkan untuk memperpanjang masa tugas hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada MA yang akan memasuki purnabakti pada 22 Juli mendatang. Ini dilakukan mengingat minimnya jumlah hakim ad hoc tipikor pada MA yang saat ini tersisa serta kendala anggaran untuk seleksi calon hakim yang dialami Komisi Yudisial.
Namun, gagasan tersebut mendapat tentangan dari pakar hukum tata negara sekaligus pegiat antikorupsi Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, Selasa (13/7/2021). Menurut dia, perpanjangan masa tugas hakim ad hoc tipikor pada MA tak perlu dilakukan karena akan menjadi preseden yang tidak baik. Selain itu, jika perpanjangan masa tugas dilakukan, hal itu akan melegitimasi kelalaian pemerintah, DPR, dan MA serta KY dalam memprioritaskan pengisian hakim ad hoc tipikor pada MA.
Rencana untuk memperpanjang masa tugas hakim ad hoc tipikor pada MA itu dilontarkan Juru Bicara Mahkamah Agung yang juga Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro. Perpanjangan masa tugas sendiri pernah dilakukan MA pada tahun lalu.
Andi Samsan menceritakan, awalnya MA memang berharap ada tambahan beberapa hakim ad hoc tipikor hasil seleksi KY dan DPR pada tahun 2020/2021 guna memenuhi kebutuhan penanganan perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK). Namun, ternyata hakim ad hoc tipikor hasil seleksi KY yang lolos di DPR hanya satu orang. Padahal, pada tahun 2020, ada lima hakim ad hoc yang bakal selesai masa tugasnya.
”Karena pada tahun 2020 itu ada kekhawatiran kalau seleksi KY prosesnya masih memerlukan waktu yang lama, pimpinan MA sepakat, dengan alasan adanya kebutuhan yang mendesak dan perlu mengambil sikap segera (diskresi) untuk kepentingan penanganan perkara korupsi di MA, perlu memperpanjang masa tugas lima hakim ad hoc tipikor tersebut selama satu tahun. Menurut SK Presiden, perpanjangan lima hakim ad hoc tipikor itu akan berakhir 22 Juli 2021,” ujar Andi Samsan.
Kelima hakim ad hoc tipikor itu adalah Krisna Harahap, Moh Askin, Abdul Latief, Syamsul Rakan Chaniago, dan Leopold Hutagalung. Satu dari lima hakim ad hoc tersebut, yaitu Abdul Latief, saat ini belum genap berusia 70 tahun. Seperti diketahui, Undang-Undang MA mengatur usia pensiun hakim agung adalah 70 tahun.
Menurut Andi Samsan, MA dan KY sudah menjalin pembicaraan informal untuk mencari solusi atas kondisi minimnya hakim ad hoc tipikor pada MA. Namun, hingga kini belum ada solusi konkret yang dapat ditempuh untuk mengatasi kekurangan hakim ad hoc tipikor di MA tersebut. Apalagi, tahun ini KY menghadapi kendala minimnya anggaran jika harus menggelar seleksi.
”Lantas, timbul pertanyaan apakah lima hakim ad hoc yang akan berakhir masa tugasnya pada bulan Juli 2021 itu masih bisa atau ada di antaranya yang memang masih layak dan memenuhi syarat untuk diperpanjang? Hal itu berpulang dan merupakan kewenangan diskresi pimpinan MA. Apalagi jika ada dukungan dari KY, bukan mustahil untuk dipertimbangkan,” ujarnya.
Tiga opsi
Juru Bicara KY Miko Ginting membenarkan adanya pembicaraan informal antara MA dan KY tersebut. Ada tiga opsi yang saat ini sedang dikaji, yaitu perpanjangan masa jabatan hakim yang belum berusia 70 tahun tanpa seleksi ulang, penundaan seleksi menjadi tahun 2022, atau dimulai tahapan seleksi dengan asumsi beberapa tahapan seleksi diselesaikan tahun ini dan beberapa tahapan lainnya dilakukan pada tahun anggaran 2022.
”Sedang dipertimbangkan semua opsi tersebut. Belum diputuskan karena masih harus dikaji secara serius karena ada implikasi legalitas, anggaran, dan penanganan perkara korupsi di MA,” kata Miko.
Sebelumnya, Miko mengungkapkan, ada kendala anggaran yang dihadapi KY jika harus melakukan seleksi hakim ad hoc tipikor pada MA tahun ini. Problem anggaran tersebut coba diatasi melalui penyisiran anggaran nonprioritas yang ada di KY. Namun, hal tersebut juga membutuhkan waktu karena harus dilakukan revisi anggaran dengan persetujuan dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.
”Butuh waktu juga prosesnya,” ujarnya.
Charles Simabura mengingatkan pimpinan MA dan juga KY untuk tidak memperpanjang hakim ad hoc tipikor pada MA yang sudah memasuki usia pensiun 70 tahun. Sebab, jika dilakukan, hal tersebut akan berdampak pada putusan yang dihasilkan. Bahkan, Charles tidak sepakat dengan gagasan untuk memperpanjang masa tugas hakim ad hoc tipikor yang belum berusia 70 tahun.
”Jangan perpanjangan hakim ad hoc tipikorlah. Ini, kan, bisa jadi preseden. Tentu akan berlaku juga bagi hakim setelahnya. Selain itu, ini melegitimasi kelalaian pemerintah, DPR, dan MA dalam memprioritaskan pengisian hakim ad hoc tipikor,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan produktivitas hakim dengan usia di atas 70 tahun. ”Tentu juga akan berpengaruh pada kualitas putusan. Maka, harus didesak MA untuk mengajukan permohonan ke KY untuk pengisian (hakim ad hoc tipikor pada MA), termasuk juga ke Presiden dan DPR untuk alokasi anggaran bagi KY,” lanjutnya.
Menurut dia, apabila seleksi tidak dilakukan karena problem anggaran, pemerintah dan DPR dapat saja dikatakan melanggar Undang-Undang Pengadilan Tipikor karena abai dalam menganggarkan pengisian jabatan hakim ad hoc tipikor. Seperti diketahui, keberadaan hakim ad hoc tipikor merupakan perintah undang-undang.
Percepatan proses seleksi
Ia juga menyarankan agar proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor dipercepat. Saat ini, proses seleksi hakim ad hoc tipikor pada MA mengikuti proses seleksi untuk calon hakim agung. Sesuai ketentuan undang-undang, KY harus menyelesaikan proses tersebut dalam waktu maksimal enam bulan sejak pengumuman seleksi dilakukan.
Mengenai percepatan proses seleksi, Miko mengatakan, hal itu memang dapat berdampak pada waktu yang menjadi relatif lebih cepat dan anggaran yang lebih sedikit. Namun, hal tersebut memiliki konsekuensi pada kualitas calon dan proses pelibatan publik. ”Artinya, bisa dipertimbangkan, tetapi tidak dengan mengabaikan kualitas,” katanya.
Salah satu proses yang penting dalam seleksi calon hakim agung ataupun calon hakim ad hoc tipikor pada MA adalah penelusuran rekam jejak. KY melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memperoleh informasi terkait para calon. Namun, menurut Miko, penelusuran rekam jejak sekali lagi sangat bergantung pada kecukupan informasi dan verifikasi yang dilakukan atas informasi yang diperoleh KY.
”Misalnya, ada informasi negatif mengenai calon, pada saat diverifikasi dan diklarifikasi, pemberi informasi enggak bersedia. Sumber informasi lainnya juga tertutup. Itu baru satu contoh dan banyak contoh lain yang lebih rumit,” ucapnya.
Namun, lanjutnya, KY pada prinsipnya terbuka untuk semua informasi dalam penelusuran rekam jejak. Informasi dari masyarakat juga dibutuhkan. Di sinilah arti penting masyarakat untuk terlibat dalam menghasilkan calon yang berkualitas.