RKUHP yang Rawan Langgengkan Diskriminasi Kalangan Disabilitas
Draf lama RKUHP dianggap memperkuat stigma disabilitas. Draf itu pun dinilai meningkatkan kerentanan penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum dan belum bisa membaca kondisi spesial kalangan disabilitas.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi perbincangan serius di kalangan penyandang disabilitas. Draf lama versi September 2019 yang beredar saat sosialisasi RKUHP dianggap justru memperkuat stigma disabilitas. Selain itu, RKUHP juga justru meningkatkan kerentanan penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum.
Manajer Program dan Advokasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) Purwanti ”Ipung” saat diskusi pertengahan Juni lalu menceritakan bagaimana penyandang disabilitas menjadi kelompok rentan saat berhadapan dengan hukum. Kondisi spesial yang dialami penyandang disabilitas membuat mereka mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
Secara naluri, Ipung menyebut disabilitas mudah dipengaruhi dan memiliki semangat untuk menyenangkan orang lain. Mereka mudah dibujuk, dan luluh hatinya. Bahkan, saat diiming-imingi uang Rp 2.000.
Kondisi spesial yang dialami penyandang disabilitas membuat mereka mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
”Ada sebuah kasus yang kami tangani. Seorang tunanetra. Dia diberi uang Rp 2.000, kemudian dibujuk agar laptop dan sepeda motornya dipinjam. Dia langsung berikan, akhirnya laptop dan sepeda motornya itu tidak pernah kembali,” tutur Ipung.
Menurut Ipung, penyandang disabilitas terkadang justru menganggap pelaku kejahatan adalah teman mereka. Hanya dengan iming-iming pujian atau hadiah, mereka langsung menganggap seseorang baik hati. Mereka juga sulit menyadari ancaman kejahatan pada dirinya.
”Draf RKUHP terbaru belum bisa membaca kondisi spesial ini. Bagaimana kedudukan penyandang disabilitas sebagai subyek hukum, penerapan keragaman hukum, dan kapasitas hukum disabilitas. Pasal-pasal yang menjerat mereka saat melakukan kejahatan juga masih diskriminatif,” terang Ipung.
Baca juga: Kaji Ulang Pasal yang Mengancam Demokrasi dan Diskriminatif
Tidak dilibatkan
Sebagai perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas, Ipung kecewa terhadap RKUHP ataupun proses sosialisasinya yang kurang inklusif. Sejak awal, perwakilan dari penyandang disabilitas tidak dilibatkan secara aktif dalam pembahasan RKUHP.
Padahal, RKUHP saat ini adalah RUU luncuran (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Meskipun pemerintah mengklaim sudah ada perbaikan, belum semua subyek hukum yang diatur dilibatkan. Terutama kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas dan masyarakat adat.
Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati menambahkan, meskipun sejumlah pasal di RKUHP mengatur penyandang disabilitas, mereka tidak pernah dilibatkan saat sosialisasi berlangsung di 12 kota besar di Tanah Air.
Menurut dia, idealnya, RKUHP juga merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dengan demikian, terminologi yang dipakai sama dan tidak memperkuat stigmatisasi. Selain itu, juga agar ada persamaan di dalam hukum bagi disabilitas.
”Seharusnya, penyandang disabilitas setara dalam hukum. Termasuk saat proses penyusunan UU, semua harus dilibatkan. No one left behind,” tegas Aria.
Baca juga: Lindungi Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual
Ipung menjelaskan, di dalam RKUHP, kedudukan penyandang disabilitas sebagai subyek hukum masih diskriminatif. Salah satu contoh kasus yang ditangani Sigab adalah seorang disabilitas intelektual meminjam sepeda motor milik tetangganya. Sepeda motor itu dikendarai keliling kampung, saat tetangganya meninggalkan sepeda motor dalam keadaan menyala.
Setelah sampai di masjid, disabilitas intelektual itu meninggalkan sepeda motor di parkiran. Dia tidak mengembalikan sepeda motor kepada pemiliknya. Dia kemudian dituduh sebagai pelaku pencurian.
Di dalam RKUHP, kedudukan penyandang disabilitas sebagai subyek hukum masih diskriminatif.
”Dia tetap diproses hukum mencuri sampai pengadilan, walau tidak ada keinginan untuk memiliki sepeda motor itu. Posisinya, dia bingung mengembalikan di mana, dan menganggap bahwa pemiliknya akan mengambil di masjid, karena masjid adalah tempat umum,” kata Ipung.
Ipung juga pernah mendampingi disabilitas intelektual lain yang memiliki gangguan waham (skizofrenia). Dia menusuk seseorang dan diproses hukum. Setelah ditanyai, ternyata dia alami delusi menjadi tentara yang sedang berperang. Dia kemudian terdorong untuk menyerang orang yang dianggapnya sebagai musuh. Beruntung, pelaku mendapatkan pendampingan sehingga proses hukum tidak dilanjutkan. Pelaku kemudian direhabilitasi.
”Seandainya dia tidak mendapatkan pendampingan yang memadai, sulit untuk memutuskan dia bisa dibebaskan dari hukumannya,” terang Ipung.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terus Mendera Perempuan Disabilitas
Periodik
Pendiri Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti menyebutkan, di RKUHP, penyandang disabilitas dianggap tidak mampu menggunakan pikirannya sehingga aturan itu mengeluarkan mereka dari hak kesetaraan di muka hukum.
Padahal, kondisinya, disabilitas mental itu bersifat periodik. Saat tidak kambuh, mereka tidak kehilangan daya pikir kognitifnya. Mereka bisa membedakan mana realita dan mana yang bukan sehingga seharusnya saat tidak kambuh, mereka tidak dibedakan kapasitasnya saat melakukan tindak pidana.
Aturan diskriminatif itu tertuang dalam Pasal 38 dan Pasal 39 RKUHP. Pasal 38 mengatur setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual, pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.
Adapun di Pasal 39 disebutkan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental yang dalam keadaan aksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
”Pasal 38 ini harus dihilangkan. Agar kondisi menjadi penyandang disabilitas mental tidak menjadi pemaafan agar dikurangi hukumannya. Seharusnya, kondisi ditunjukkan dengan pemeriksaan medis, baru dinyatakan dia disabilitas mental atau tidak. Supaya jelas mana yang salah dan benar di mata hukum,” tegas Yeni.
Baca juga: Perlu Gerak Bersama, Melindungi Anak Disabilitas
Usulan revisi
Di luar pasal itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memetakan, masih ada beragam pasal lain yang memperkuat stigmatisasi dan diskriminatif. Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, menyebutkan, pasal yang mendesak untuk direvisi adalah Pasal 103 dan 106 yang mengatur tentang rehabilitasi dan habilitasi. Selain itu, juga Pasal 242 dan Aasal 243 tentang lingkup ragam disabilitas.
Fajri juga mengusulkan Pasal 38 RKUHP untuk dihapus. Adapun ketentuan di Pasal 39 Ayat (1) direvisi menjadi setiap orang yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena memiliki hambatan mental dan hambatan intelektual tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Ditambah penjelasan Ayat (2), penyidik wajib menghadirkan ahli untuk menilai seseorang mengalami hambatan mental dan atau hambatan intelektual pada saat melakukan tindak pidana sehingga dinilai tidak mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adapun di Pasal 106, diusulkan penambahan poin habitasi pada tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang dimaksud dalam Pasal 38 dan 39. Habitasi ditujukan kepada seseorang yang sejak awal atau lahir adalah penyandang disabilitas sehingga perlu dilatih untuk dapat hidup secara mandiri.
Baca juga: Polres Tangsel Akan Rekrut Penyandang Disabilitas untuk Bekerja di Kantor Polisi
Untuk Pasal 242, usulan revisinya adalah setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau disabilitas dipidana dengan pidan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Di tengah kompleksitas penyandang disabilitas, mereka harus dilihat sebagai pribadi yang utuh di dalam hukum. Mereka harus diakui sebagai seseorang yang memiliki kapasitas hukum. Penerapan hukum kepada penyandang disabilitas juga harus menggunakan prinsip kesetaraan di mata hukum.
Terakhir, usulan revisi Pasal 243 adalah setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau disabilitas yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kesetaraan hukum
Ipung menegaskan, di tengah kompleksitas penyandang disabilitas, mereka harus dilihat sebagai pribadi yang utuh di dalam hukum. Mereka harus diakui sebagai seseorang yang memiliki kapasitas hukum. Penerapan hukum kepada penyandang disabilitas juga harus menggunakan prinsip kesetaraan di mata hukum.
Baca juga: Tingkatkan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas
Kini, perjalanan RKUHP sudah selesai di tahap sosialisasi oleh pemerintah. Sebagai inisiator RKUHP, pemerintah akan mendorong agar rancangan itu masuk di perubahan Prolegnas Prioritas 2021, agar dapat dibahas bersama DPR. Baik pemerintah maupun anggota DPR menjanjikan, aspirasi publik akan diserap seluas-luasnya pada tahapan tersebut.
Semoga aspirasi dari perwakilan penyandang disabilitas didengar dan diakomodasi dalam proses legislasi itu. Dengan demikian, pemerintah dapat menjamin bahwa proses legislasi dan hukum kepada penyandang disabilitas dilakukan secara adil.