Penggabungan Gugatan Ganti Rugi Ditolak, Korban Korupsi Bansos Akan Ajukan Kasasi
Harapan korban korupsi bansos Covid-19 untuk mendapatkan ganti rugi kandas. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menolak menggabungkan gugatan ganti rugi dengan perkara pidana korupsi bekas Mensos Juliari P Batubara.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan korban korupsi bantuan sosial atau bansos Kementerian Sosial untuk menggabungkan gugatan ganti rugi dengan perkara pidana korupsi bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (12/7/2020). Dalam penetapan itu, hakim menggunakan pertimbangan perspektif perdata murni yaitutempat atau locus kejadian. Kuasa hukum pemohon kecewa dan akan mengajukan upaya kasasi terhadap penetapan tersebut.
Penetapan majelis hakim PN Jakpus/Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu dibacakan oleh ketua majelis hakim Muhammad Damis saat pemeriksaan perkara korupsi bansos Kemensos dengan terdakwa Juliari Batubara, Senin. Damis didampingi oleh hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo.
Sebelumnya, majelis meminta korban dan kuasa hukumnya melengkapi syarat permohonan penggabungan perkara perdata dan pidana korupsi itu. Permohonan penggabungan perkara perdata ganti rugi diajukan oleh 18 korban korupsi dana bansos Kemensos pada 21 Juni. Pemohon adalah warga DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu yang terdampak langsung program bansos bantuan pokok Kemensos pada 2020. Mereka didampingi oleh pengacara publik yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos.
Dalam pertimbangannya, majelis menyebut bahwa hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum acara perdata dalam memeriksa gugatan ganti kerugian korban korupsi bansos. Ketentuan hukum acara perdata itu berhubungan dengan kewenangan memeriksa gugatan ganti kerugian, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut.
Sesuai dengan ketentuan pada Kitab Hukum Acara Perdata atau Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR), ketua pengadilan negeri yang memiliki wilayah hukum di mana tergugat bertempat tinggal yang sebenarnya. Tergugat yaitu Juliari P Batubara tinggal di Jalan Cikatomas II/18 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Karena tempat tinggal terdakwa di Jaksel, sesuai ketentuan hukum pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili perkara perdata yang dimohonkan untuk digabungkan dalam perkara pidana korupsi atas nama terdakwa, adalah Pengadilan Negeri Jaksel.
“Dengan demikian, permohonan penggabungan gugatan ganti rugi yang diajukan para pemojon melalui kuasanya tidak memenuhi salah satu syarat maka beralasan untuk ditolak,” kata Damis.
Karena salah satu syarat penggabungan perkara ganti kerugian yang diajukan pemohon tidak terpenuhi, kewenangan pengadilan secara relatif untuk mengadili gugatan ganti rugi, syarat penggabungan lainnya seperti pasal 98 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diperhatikan lagi.
“Menolak permohonan para pemohon melalui kuasanya untuk menggabungkan pemeriksaan perkara perdata gugatan ganti kerugian dengan perkara tipikor Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN JKT.Pst atas nama terdakwa Juliari Batubara,” ucap Damis.
Janggal
Anggota Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos Ahmad Fauzi mengatakan, majelis hakim salah menerapkan hukum dalam permohonan penggabungan perkara perdata dan pidana korupsi bansos Kemensos. Dalam penetapannya, hakim menggunakan perspektif perkara perdata biasa. Padahal, sudah jelas yang dimohonkan adalah perkara gabungan perdata dan pidana. Hanya karena alasan kompetensi relatif, hakim menggunakan perspektif perdata biasa.
“Padahal, ketentuan di pasal 98 KUHAP sudah jelas mengatur bahwa jika ada pihak yang dirugikan dalam perkara pidana, korban bisa mengajukan penggabungan perkara. Ini bukan hal baru, dan sudah banyak putusan pengadilan yang menerima penggabungan perkara perdata dan pidana sesuai mekanisme KUHAP,” kata Fauzi.
Pasal 98 KUHAP mengatur tentang dasar dakwaan dalam perkara pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Permintaan dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Selain itu, sudah banyak preseden putusan lain yang mengabulkan permintaan ganti rugi korban. Misalnya, putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 120/Pid.Sus/2019/PN.Pbr tanggal 20 Mei 2019 yang menghukum Herdina Malatio br Hutagaol sebagai terdakwa atau tergugat dan mengabulkan gugatan Sri Sumiyarsi sebagai tergugat. Ada pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2011 tanggal 20 Januari 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 1926 K/Pid.Sus/2009 yang menetapkan gugatan ganti kerugian yang diajukan penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 98 KUHAP dan digabungkan pemeriksaan dengan pemeriksaan perkara pidana No. 1075/Pid.B/PN.Smg.
Fauzi juga mempertanyakan penetapan hakim tersebut. Apakah putusan itu murni dari hakim atau ada tekanan dari orang-orang berkuasa yang terlibat dalam pusaran korupsi bansos. Oleh karena itu, tim juga meminta Komisi Yudisial mengawasi putusan hakim dalam perkara tersebut.
“Apakah ada unsur anasir lain yang membuat hakim tidak membuat penetapan sesuai dengan hukum yang benar. KY harus mengawasi penetapan ini,” tegas Fauzi.
Upaya kasasi
Pasca ketetapan itu, Fauzi mengatakan, korban dan tim advokasi akan menempuh hukum kasasi. Sebab, ketetapan hakim dalam permohonan penggabungan perkara tidak bisa diajukan upaya hukum banding, dan harus langsung kasasi. Gugatan korban korupsi bansos juga tidak akan berhenti karena ketetapan hakim PN Jakpus. Mereka akan menggugat lagi dengan mekanisme perdata yaitu gugatan perbuatan melawan hukum. Namun, syaratnya, perkara pidana pokoknya sudah harus diputus dan berkekuatan hukum tetap.
“Nanti, kami akan menunggu putusan pidana korupsinya inkrah dulu, baru bisa ajukan gugatan perdata biasa,” terang Fauzi. (DEA)