Pesan Inklusivitas dari Sudut Ruang Konferensi Pers Polri
Layanan penerjemahan ke bahasa isyarat pada konferensi pers Polri menjadi kesempatan mewujudkan kesetaraan informasi bagi penyandang tunarungu. Gerakan yang sama dinanti dari institusi pemerintahan yang lain.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Memasuki tahun 2021, ada yang berbeda pada setiap gelaran jumpa pers oleh Mabes Polri. Juru bahasa isyarat selalu tampil di sisi petinggi kepolisian yang tengah memberikan keterangan kepada awak media. Hal ini mengingatkan akan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang belum sepenuhnya terpenuhi hingga saat ini.
Kamis (8/7/2021) siang, tangan Anifon Thao (39) bergerak cepat membentuk isyarat tertentu untuk menerjemahkan kabar perkembangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang disampaikan Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, Kepala Bagian Penerangan Umum, Divisi Humas Polri, di depan layar virtual. Gerak tangannya juga diikuti ekspresi wajah khas, yang berganti-ganti sering dengan kata yang tengah diinterpretasikan.
Dari satu kalimat yang terdiri atas belasan kata, Anifon tidak menerjemahkannya satu per satu. Ia hanya mengambil beberapa kata inti untuk diisyaratkan. Jika masih ada waktu tersisa, ia akan mengulangi kembali informasi yang sudah disampaikan.
”Tidak semua teman tuli bisa memahami bahasa isyarat. Sebagian dari mereka akan lebih mengerti informasi yang disampaikan dari mimik wajah dan gestur tubuh kita,” kata Anifon, juru bahasa isyarat yang akrab disapa Nona pada Kamis sore.
Nona mengatakan tidak mau setengah-setengah dalam bertugas. Layanan penerjemahan konferensi pers ke bahasa isyarat merupakan kesempatan untuk mewujudkan kesetaraan informasi bagi penyandang tunarungu.
Selama ini, ungkap Nona, penyandang tunarungu cenderung terlambat mendapatkan informasi. Kabar tentang keamanan dan ketertiban masyarakat biasanya mereka akses dari tayangan televisi. Itu pun tidak optimal karena hanya mendapatkan ruang kecil di pojok layar.
Di konferensi pers Polri, penerjemah bahasa isyarat mendapat porsi yang setara dengan narasumber. Mereka ditempatkan di sebelah orang yang tengah berbicara. Saat dipublikasikan, penerjemah dan narasumber pun berada dalam satu layar yang sama. ”Layanan ini sudah lama ditunggu teman-teman tuli untuk memenuhi salah satu hak mereka,” kata Nona.
Di konferensi pers Polri, penerjemah bahasa isyarat mendapat porsi yang setara dengan narasumber. Mereka ditempatkan di sebelah orang yang tengah berbicara. Saat dipublikasikan, penerjemah dan narasumber pun berada dalam satu layar yang sama.
Hak yang dimaksud dijamin dalam UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 24 UU 8/2016 disebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi. Masih pada pasal itu, dijelaskan pula mereka berhak mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses, serta menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
Komitmen pada hak difabel
Penerjemahan bahasa isyarat di konferensi pers Polri dimulai sejak 29 Januari 2021 atau sejak Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kapolri. Ini merupakan komitmennya dalam memenuhi hak difabel memperoleh informasi yang sama dan utuh dari kepolisian.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, dukungan terhadap penyandang disabilitas juga diwujudkan dengan membangun fasilitas untuk memudahkan pelayanan Polri. Merujuk data capaian 100 hari kerja Kapolri, hingga Juni 2021 sudah dibangun 890 tempat parkir khusus, 2.301 jalur khusus, dan 1.744 toilet khusus. Selain itu, Polri juga membangun 2.312 tanda khusus, 1.585 elevator handrail, dan menyediakan 2.162 kursi roda.
”Kapolri juga memberikan ruang bagi kelompok difabel untuk menjadi bagian dari Korps Bhayangkara,” ujar Rusdi. Masyarakat berkebutuhan khusus bisa direkrut sebagai aparatur sipil negara di Polri sesuai dengan kompetensi. Disediakan formasi pada beberapa bidang, di antaranya administrasi, pelayanan, dan analisis teknologi informasi.
Mahalli, peneliti Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (Aidran) dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Malang, mengapresiasi inisiatif Polri menghadirkan juru bahasa isyarat pada setiap konferensi pers. Namun, ia mengingatkan, masih banyak hal yang bisa dipenuhi untuk membangun aksesibilitas informasi bagi penyandang tunarungu.
Misalnya dengan menambahkan teks pada tampilan jumpa pers. Sebab, belum semua orang tuli memahami bahasa isyarat. Belum lagi masih ada perbedaan standar bahasa isyarat yang umum digunakan di acara publik dengan yang banyak digunakan komunitas tuli. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif untuk menyerap informasi selain yang disampaikan juru bahasa isyarat.
Selain itu, belum semua instansi pemerintah menerapkan hal serupa dengan yang dilakukan dalam keterangan pers Polri. Sebagian besar penyampaian informasi justru belum bisa diakses oleh penyandang tunarungu, termasuk yang terkait dengan pandemi Covid-19. ”Informasi yang berkaitan dengan pengenalan virus, cara penularan, dan jika terdampak harus bagaimana, itu belum dijelaskan secara memadai untuk diakses teman-teman tuli,” ujar Mahalli.
Penyampaian informasi publik, menurut dia, selama ini masih mengandalkan audio atau mengasumsikan semua orang bisa mendengar dan mengabaikan yang tidak bisa mendengar. Padahal, merujuk Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015, sebanyak 8,9 juta penduduk atau 3,34 persen dari total penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mengalami kesulitan mendengar. Tingkat kesulitan beragam, dari ringan hingga tak bisa mendengar sama sekali.
Merujuk Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, sebanyak 8,9 juta penduduk atau 3,34 persen dari total penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mengalami kesulitan mendengar.
Oleh karena itu, Mahalli meminta semua instansi agar segera mengubah paradigma penyampaian informasi dari eksklusif menjadi inklusif. Hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi telah dijamin dalam UU 8/2016. Hampir semua peraturan turunan untuk mengimplementasikannya pun sudah dibuat.
”Pembuatan Undang-Undang saja memang tidak akan menyelesaikan masalah karena harus diimplementasikan,” ujar Mahalli.
Kini, dibutuhkan komitmen semua instansi untuk mewujudkan penyampaian informasi yang inklusif. Sebab, informasi merupakan kebutuhan krusial bagi semua warga negara yang dijamin oleh konstitusi.