Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disusun Ulang untuk Diperbarui
Draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang lama tidak lagi digunakan, dan kini Baleg DPR pun menyerap aspirasi masyarakat maupun ahli untuk menyusun draf RUU yang baru.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah saat rapat virtual Badan Legislasi (Baleg), Senin (12/7/2021), yang membahas soal Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
JAKARTA, KOMPAS – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat kembali menyusun ulang draf Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan mendengarkan masukan dan pendapat ahli, serta masyarakat umum. Sejumlah perwakilan masyarakat baik yang pro maupun kontra dengan penyusunan RUU PKS itu akan didengarkan oleh Baleg sebagai bahan penyusunan draf RUU PKS.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar Baleg, Senin (12/7/2021) di Jakarta, sejumlah elemen masyarakat yang selama ini cenderung memberikan catatan kritis terhadap RUU PKS mendapatkan giliran pertama kali untuk didengarkan oleh DPR. Dalam rapat yang digelar secara daring itu, hadir Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Rita Subagio; Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM) Nurul Amalia; pengajar Universitas Darussalam Gontor Henri Shalahuddin; Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wido Supraha; Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS Willy Aditya mengatakan, draf RUU PKS yang lama tidak lagi digunakan, dan kini Baleg menyerap aspirasi masyarakat maupun ahli untuk menyusun draf RUU yang baru. “Baleg dalam rangka penyusunan draf, biar kita tidak salah alamat. Ini kami membuka ruang dialog seluas-luasnya. Jadi tidak perlu saling tuding, dan yang lama biarlah berlalu,” ucapnya.
Willy pun mengatakan, semua masukan dari berbagai pihak, baik yang tidak setuju atau kritis dengan RUU PKS, maupun yang mendukung RUU PKS ini akan didengarkan oleh Baleg sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun draf yang baru. Melalui pintu dialog dengan berbagai pihak itu, Baleg berharap draf baru yang terbentuk nantinya akan benar-benar mewakili tujuan dari pembuatan RUU itu, yakni menghilangkan aksi kekerasan atau kejahatan seksual terhadap setiap warga negara.
“Nuansa kebatinannya ialah yang merepresentasikan kita. Jadi tika berdiri atas dasar paham atau perspektif masing-masing. Jadi kita cari yang benar-benr Indonesia banget” (Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU PKS Willy Aditya)
“Nuansa kebatinannya ialah yang merepresentasikan kita. Jadi tika berdiri atas dasar paham atau perspektif masing-masing. Jadi kita cari yang benar-benr Indonesia banget,” ujar anggota Fraksi Nasdem ini.
Sementara itu, secara umum perwakilan masyarakat yang diundang oleh Baleg dalam RDPU, Senin, menyatakan keberatannya dengan RUU PKS. Mereka menilai paham feminis terlampau jauh dijadikan basis argumentasi dalam penyusunan RUU itu, sedangkan landasan agama dikecualikan. Nilai-nilai feminis itu pun dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Indonesia, yang memiliki Pancasila, dan masyarakatnya memiliki pengalaman erat dengan nilai-nilai agama.
Kompas/Raditya Helabumi
Beragam sepatu diletakan di depan gerbang Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dalam aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan mendesak legislatif untuk menjadikan RUU PKS yang menjadi payung hukum bagi korban Kekerasan Seksual agar masuk dalam Prolegnas 2021. KOMPAS/RADITYA HELABUMI25-11-2020
Nurul Amalia mengatakan, pihaknya lebih mendorong jika terminologi “kekerasan” dalam nama RUU itu diganti dengan “kejahatan.” Pasalnya, mengacu pada pembedaan delik pidana yang diikuti oleh Indonesia melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ada dua jenis perbuatan pidana, yakni kejahatan dan pelanggaran. “Mengacu pada ahli hukum Utrecht, delik-delik peristiwa pidana dalam kejahatan dan pelanggaran itu berbeda. Kalau kejahatan itu melanggar hukum Tuhan, sedangkan kalau pelanggaran itu perbuatan melawan aturan ketertiban yang dibuat oleh manusia,” ucapnya.
Dalam konteks ini, definisi kekerasan yang dimaksudkan di dalam RUU PKS itu menjadi tidak jelas. Sebab, kejahatan seksual pun dapat terjadi sekalipun ada kesadaran atau persetujuan (sexual consent). Artinya, itu tidak dapat lagi dimaknai sebagai kekerasan semata, tetapi harus lebih tegas disebut dengan kejahatan sesksual. Dengan memberikan definisi kejahatan seksual, unsur-unsur kejahatannya harus dapat ditelusuri melalui penyelidikan dan penyidikan.
Selain itu, menurut Nurul, semua jenis kekerasan seksual yang dimaksudkan di dalam RUU PKS itu sebenarnya sudah diatur di dalam UU lainnya yang sudah ada, terkecuali kekerasan verbal. Ia pun mengkritisi konsep sexual consent yang menurutnya bias.
“Kekerasan pun masih dapat terjadi dalam kesadaran atau persetujuan dan suka sama suka. Padahal, faktanya hubungan seksual suka sama suka berdasarkan persetujuan kedua pihak pun bsia menimbulkan kekerasan seksual, seperti dengan terjadinya aborsi, dan anak lahir tanpa ayah akibat perzinahan,” katanya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Perwakilan kelompok aksi baik yang pro maupun kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berdialog dengan anggota Komisi VIII DPR yakni Sara Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo (Fraksi Partai Gerindra), Diah Pitaloka dan Itet Tridjajati Sumarijanto (FPDI-P) dan Endang Maria Astuti (Fraksi Partai Golkar), Selasa (17/9/2019) di ruang Komisi VIII DPR. Ini pertama kali kedua kelompok bertemu dalam satu ruangan.
“Kekerasan pun masih dapat terjadi dalam kesadaran atau persetujuan dan suka sama suka. Padahal, faktanya hubungan seksual suka sama suka berdasarkan persetujuan kedua pihak pun bsia menimbulkan kekerasan seksual, seperti dengan terjadinya aborsi, dan anak lahir tanpa ayah akibat perzinahan”
Adapun Henri Shalahuddin mengatakan, pihak yang mengkritik RUU PKS bukan berarti menyetujui tindakan asusila dan kekerasan seksual. Namun, ia melihat pembentukan RUU PKS ini mendorong pemidanaan terhadap aspek-aspek pemaksaan seksual, dan mengabaikan penyimpangan seksual. RUU itu juga dinilai menempatkan korban semata-mata berasa dari pihak perempuan. Padahal, kekerasan dapat juga dialami oleh laki-laki.
“Pelaku kekerasan dapat seorang laki-laki atau perempuan, sebab nafsu atau kejahatan tidak berjenis kelamin. Memfokuskan kekerasan seksual berbasis jender itu bahaya sekali, karena mendorong kebencian kepada laki-laki,” ujarnya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Polisi berjaga di pintu gerbang saat terjadi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di Kantor DPRD Jawa Tengah, Kota Semarang, Jumat (14/8/2020). Kedatangan pengunju rasa tersebut terkait dengan beberapa isu antara lain Pembatalan RUU Cipta Kerja, Pengesahan RUU PKS hingga isu pembungkaman terhadap aktivis.
Sementara itu, Wido Supraha melihat agama di dalam RUU PKS itu dianggap sebagai sumber budaya patriarkis, atau menjadi sumber ketidakadilan jender. Jika salah satu alasan dari dibentuknya RUU PKS ialah mengatur beberapa hal yang masih belum diatur di dalam KUHP, termasuk kekerasan seksual, Wido berharap sebaiknya KUHP saja yang direvisi. Pembentukan RUU PKS itu dipandang hanya akan menimbulkan persoalan baru, dan tidak menjadi solusi.
Ia juga memandang perpsektif feminis sangat kental dalam RUU PKS. “Padahal feminis adalah ideologi transnasional dari barat, yang pengalaman wanita di sana berbeda dengan pengalaman wanita di timur. Ini adalah sesuatu yang tidak relevan. Kami berharap RUU ini murni menggunakan perspektif Pancasila, bukan feminis,” katanya.
Wido juga menyoal perspektif jender yang diakomodir di dalam RUU PKS, karena itu memberikan ruang bagi munculnya perlindungan berbagai jenis jender, dan bukannya berbasis jenis kelamin.
Perspektif korban
“Jadi memang benar perspektifnya bukan hanya perempuan yang menjadi korban, sebab laki-laki juga dapat menjadi korban. Tetapi kita menghadirkan fakta-fakta bahwa memang korban yang paling banyak adalah perempuan dan anak-anak. Tidak berarti korban laki-laki itu tidak ada” (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah)
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Selain kelompok pendukung , kelompok yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga menggelar aksi di depan gerbang Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Terkait masukan dari kelompok masyarakat yang mengkritik RUU PKS itu, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah mengatakan, kekerasan dalam bentuk apapun pasti bertentangan dengan Islam, Pancasila, dan UUD 1945. Selain itu, pembentukan RUU itu dilakukan untuk memberikan tempat bagi korban, dan perlindungan bagi korban. Selama ini, UU yang ada tidak memberikan cukup perlindungan kepada korban.
“Jadi memang benar perspektifnya bukan hanya perempuan yang menjadi korban, sebab laki-laki juga dapat menjadi korban. Tetapi kita menghadirkan fakta-fakta bahwa memang korban yang paling banyak adalah perempuan dan anak-anak. Tidak berarti korban laki-laki itu tidak ada,” ujarnya.
Luluk mengatakan, ia mendapati banyak korban perempuan sulit mendapatkan hak-hak perlindungan dari kekerasan seksual yang dialaminya. Kondisi ini pun tidak bisa dibiarkan begitu saja, atau hanya dianggap sebagai sebatas angka. Korban perlu mendapatkan hak-haknya dan perlindungan serta keadilan atas apa yang mereka alami.
Sementara itu, Illiza Sa’aduddin Djamal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengatakan, ia menyadari persoalannya tidak sekadar kekerasan tetapi juga kejahatan seksual. Namun, ia menekankan RUU ini diperlukan untuk melindungi korban. “Yang harus kita sepakati semua ialah bagaimana kita menggunakan sudut pandang keindonesiaan, dan melihat sisi kemanusiaan,” ucapnya. (rek)
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Wido Supraha saat mengikuti rapat virtual dengan Baleg DPR, Senin (12/7/2021), yang membahas soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.