Atasi Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor, KY-MA Duduk Bersama
Krisis hakim agung ”ad hoc” tindak pidana korupsi diharapkan dapat segera teratasi. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terus mencari jalan keluar agar bisa segera membuka rekrutmen hakim agung ”ad hoc” tipikor.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial sedang berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk mengatasi masalah krisis hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi di MA. Koordinasi itu diharapkan menghasilkan kebijakan yang tepat agar penanganan ratusan perkara korupsi tidak terganggu.
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting saat dikonfirmasi dari Jakarta, Senin (12/7/2021), mengatakan, masalah krisis hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) karena ada empat hakim yang pensiun di akhir Juli ini sedang dibicarakan dengan MA. Koordinasi dilakukan agar ada kebijakan yang tepat sehingga penanganan ratusan perkara korupsi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) tidak terganggu.
Selain itu, untuk menyiasati keterbatasan anggaran, KY juga menyisir anggaran internal nonprioritas. KY sedang menyisir ulang pos anggaran yang bisa dialokasikan untuk seleksi hakim agung ad hoc tipikor. KY harus bersiap jika memang diputuskan untuk melaksanakan seleksi, anggaran harus siap dan memadai tanpa mengabaikan aspek standar kualitas hakim agung ad hoc tipikor.
”KY menyadari bahwa ini adalah tugas konstitusional. Sehingga kalau dilakukan seleksi hakim ad hoc tipikor, anggaran harus sudah siap dan memadai tanpa mengabaikan standar dan kualitasnya,” kata Miko.
Miko menjelaskan, minimnya dukungan anggaran untuk seleksi calon hakim agung ad hoc tipikor, salah satunya, disebabkan oleh seleksi yang dilakukan pada akhir tahun 2020. Saat itu ada empat calon hakim agung ad hoc yang lolos seleksi di KY. Saat diajukan ke DPR, hanya ada satu calon yang disetujui.
”Asumsi KY pada saat itu, semua calon yang diajukan akan terima sehingga tidak perlu ada seleksi di tahun ini. Ternyata yang disetujui hanya satu,” imbuh Miko.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro sebelumnya menyampaikan, MA melalui Wakil Ketua MA Bidang Non-yudisial telah bersurat kepada KY terkait kebutuhan hakim ad hoc tipikor. Pada tahun 2020 diajukan kebutuhan enam hakim agung ad hoc tipikor. Namun, dari seleksi yang diadakan KY, hanya satu calon yang disetujui DPR.
Saat ditanya perkembangan hasil koordinasi antara MA dan KY, Andi mengatakan masih harus mengecek ke Wakil Ketua Bidang Non-yudisial. Sebab, tugas pokok dan fungsi kebutuhan hakim ada di bidang tersebut.
Perpanjangan masa jabatan
Anggota Komisi III, Taufik Basari, mengatakan, tak dimungkiri saat ini anggaran KY memang sudah terbatas untuk melakukan seleksi calon hakim agung ad hoc tipikor. Sebab, tahun ini KY juga melakukan seleksi calon hakim agung yang masih berlangsung tahapannya. Adapun hakim agung ad hoc tipikor terakhir disetujui DPR pada awal tahun 2021. Oleh karena itu, dia mendorong MA dan KY berdiskusi untuk menentukan solusi permasalahan krisis hakim agung ad hoc tipikor, misalnya memperpanjang masa jabatan bagi hakim yang pensiun pada tahun ini.
Menurut politikus Partai Nasdem itu, sedikitnya calon yang disetujui DPR adalah konsekuensi dari putusan MK. Dengan putusan MK, pilihan DPR adalah menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan KY. Sementara itu, tidak semua calon yang diajukan memiliki kualitas yang cukup untuk disetujui menjadi hakim agung ad hoc tipikor saat proses uji kepatutan dan kelayakan berlangsung di DPR.
”KY harus mengantisipasi dua hal. Pertama, perhitungan periode seleksi yang menyesuaikan kebutuhan hakim agung yang akan pensiun. Kedua, melakukan penjaringan yang baik untuk mendapatkan calon yang benar-benar berkualitas untuk dimintakan persetujuan ke DPR,” ujar Taufik.
Dia berharap masalah krisis hakim agung ad hoc tipikor ini bisa segera ditangani oleh MA dan KY. Jangan sampai masalah itu berdampak pada penanganan perkara korupsi yang tidak baik di tingkat kasasi dan PK. Adapun apabila MA ingin memperpanjang masa jabatan hakim agung ad hoc, mereka juga harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, terkait dengan anggaran gaji hakim agung ad hoc tipikor.
”Kalau memang masa jabatan hakim agung ad hoc saat ini akan diperpanjang, Ketua MA harus bersurat kepada Presiden untuk mengusulkan perpanjangan. Sebab, hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden,” kata Taufik.
Perlu diawasi
Kinerja Komisi Yudisial sebagai institusi pengusul calon hakim agung dan hakim agung ad hoc pada Mahkamah Agung perlu dievaluasi. Krisis hakim agung ad hoc tipikor untuk tingkat kasasi dan peninjauan kembali, selain menjadi tanggung jawab MA selaku institusi pengguna, juga menjadi tanggung jawab KY untuk terus menjamin keberadaan dan kecukupannya.
Apalagi, keberadaan hakim agung ad hoc dalam penanganan perkara korupsi merupakan perintah undang-undang. Tanpa keberadaannya, putusan yang dijatuhkan bisa batal demi hukum.
Praktisi hukum senior, Luhut MP Pangaribuan, saat dihubungi pada Senin (12/7/2021), mengatakan, kinerja KY dan MA perlu dievaluasi. Apalagi jika KY tidak melakukan seleksi karena faktor ketiadaan anggaran.
”Kan sudah diketahui dong, kapan (hakim ad hoc tipikor pada Mahkamah Agung) akan berakhir masa jabatannya. Kan itu sudah ditentukan. Itu bukan sesuatu yang gelap. Kalau kemudian tidak dianggarkan, itu kan soal kinerja kan? Harus jadi evaluasi terhadap kinerja mereka, kenapa tidak ada anggaran sesuai dengan kebutuhan,” ujar Luhut.
Sebelumnya, Juru Bicara KY Miko Ginting mengaku pihaknya kesulitan anggaran apabila harus melakukan rekrutmen calon hakim agung ad hoc tipikor pada MA. Alasannya, pada rekrutmen hakim agung ad hoc tipikor MA, akhir tahun 2020, hanya satu dari empat calon yang diajukan KY disetujui oleh DPR. Keputusan ini berdampak pada anggaran KY karena dilakukan pada Januari 2021, pada masa anggaran berjalan (Kompas, 9/7/2021).
Seperti diketahui, pada 22 Juli ini, empat hakim agung ad hoc tipikor pada MA akan memasuki usia pensiun. Mereka adalah Krisna Harahap, Mohammad Askin, Latief, dan Syamsul Rakan Chaniago. Padahal, MA masih harus menangani perkara korupsi yang berjumlah ratusan.
Apabila rekrutmen tidak dapat dilakukan, Luhut mengusulkan agar MA meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk dapat menangani perkara korupsi tanpa hakim agung ad hoc tipikor. Perppu dibutuhkan karena amanat agar perkara korupsi diadili oleh hakim karier dan hakim ad hoc tipikor ada di dalam undang-undang.
”Pertanyaannya sekarang, kalau mau mengadili (perkara korupsi) tanpa hakim ad hoc, UU itu harus diubah. Kalau tidak, melanggar UU, nanti putusannya akan batal demi hukum,” ujarnya.
Namun, jika perppu dipandang bukan sebagai solusi yang tepat, menurut Luhut, MA dapat mengadili perkara korupsi dengan kondisi yang ada. ”Kan masih ada tiga hakim ad hoc. Jadi, sesuaikan kapasitasnya saja. Kalau ada 10 perkara, lalu dengan kapasitas yang ada hanya bisa mengadili empat perkara, ya sudah adili empat perkara saja. Memang akan ada konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya, ada tahanan. Kalau tahanan, itu bisa ditangguhkan penahanannya. Itu mau tidak mau,” ujarnya.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengaku khawatir situasi krisis hakim ad hoc tipikor pada MA membuat penyelesaian perkara-perkara korupsi di tingkat kasasi dan PK menjadi terhambat. Apabila rekrutmen hakim ad hoc tipikor tersebut tidak disegerakan, artinya komitmen MA mendukung upaya pemberantasan korupsi memang patut dipertanyakan.
”Seleksi menjadi kebutuhan yang mendesak. Kalau perlu, proses seleksinya dipercepat dan KY mesti menjemput bola,” ujarnya.
Sebelumnya, Miko Ginting juga memastikan bahwa hingga saat ini KY belum menerima permohonan atau pemberitahuan mengenai akan pensiunnya empat hakim ad hoc tipikor pada MA dari MA. Yang ada, KY pernah mengadakan seleksi hakim ad hoc tipikor tahun lalu dan mengusulkan kepada DPR sebanyak empat orang. Namun, DPR hanya menyetujui satu calon untuk ditetapkan sebagai hakim ad hoc pada MA.