Hakim Perkara Korupsi Bansos Diharap Lebih Progresif
Para korban korupsi bansos Covid-19 mengajukan permohonan gugatan ganti kerugian terhadap bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara. Jika permohonan dikabulkan majelis hakim, hal itu menjadi tonggak baru penegakan hukum.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah korban korupsi bantuan sosial mulai mendapat titik terang terkait permohonan gugatan ganti kerugian yang diajukan kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara. Para korban itu diminta untuk melengkapi persyaratan agar gugatan ganti rugi dapat digabungkan dengan gugatan pokok perkara Juliari. Jika permohonan itu diterima oleh hakim, hal ini akan menjadi tonggak sejarah baru dalam pemberantasan korupsi.
Kuasa hukum dari Tim Advokasi Korban Bansos, Ahmad Fauzi, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/7/2021), mengatakan, dalam persidangan perkara bantuan sosial (bansos) dengan terdakwa Juliari, Senin (5/7/2021), majelis hakim mempersilakan tim kuasa hukum korban bansos untuk duduk di samping jaksa penuntut umum.
Hal ini, menurut Fauzi, merupakan sejarah baru karena belum pernah ada gugatan ganti kerugian dalam perkara korupsi yang diterima di persidangan. Saat itu, Tim Advokasi Korban Bansos menggunakan Pasal 98 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk dapat mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap Juliari.
”Ini akan menjadi tonggak sejarah pemberantasan korupsi di mana korban korupsi bisa meminta ganti rugi terhadap koruptor. Sebab, masyarakat terdampak langsung dari tindakan pidana korupsi mereka. Kami harap, ini bisa diduplikasi seluruh masyarakat Indonesia,” ujar Fauzi.
Sebelumnya, pada 21 Juni, kehadiran Tim Advokasi Korban Bansos pernah diabaikan oleh majelis hakim. Saat itu, tim memang baru selesai mendaftarkan permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Seminggu berikutnya, 28 Juni, Tim Advokasi Korban Bansos datang kembali ke persidangan Juliari dan menyampaikan permohonan penggabungan perkara kepada majelis hakim. Lalu, majelis hakim menyampaikan bahwa permohonan sudah diterima dan akan dipelajari terlebih dahulu.
Pada persidangan pada 5 Juli, majelis hakim baru mulai mempersilakan kuasa hukum dari Tim Advokasi Korban Bansos untuk duduk di samping jaksa. Mereka berhadapan langsung dengan kuasa hukum dan terdakwa Juliari. Namun, saat pemeriksaan berkas, ternyata ada persyaratan yang belum dipenuhi oleh kuasa hukum, yakni surat kuasa dengan stempel PTSP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Fauzi menyampaikan, saat ini, surat kuasa tersebut sudah mendapat stempel. Lalu, Senin (12/7/2021), tim akan datang lagi ke persidangan Juliari untuk memenuhi panggilan majelis hakim.
”Seluruh persyaratan, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 KUHAP, sudah kami penuhi. Jadi, hakim tidak punya alasan untuk menolak perkara ini dan harus melanjutkan ke gugatan,” ucap Fauzi.
Ia berharap, gugatan ganti rugi ini tidak hanya diterima dan digabungkan dengan gugatan pokok perkara Juliari. Namun, tim kuasa hukum juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembuktian. ”Kami bisa menghadirkan saksi ahli, bukti-bukti, atau surat yang berkaitan dengan gugatan,” kata Fauzi.
Harus lebih progresif
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, berpandangan, langkah yang diambil Tim Advokasi Korban Bansos merupakan sebuah terobosan baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini, menurut dia, sangat positif mengingat selama ini pengembalian dampak kerugian dari sebuah praktik korupsi belum maksimal.
”Padahal, kita semua tahu, praktik korupsi tidak sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga dapat berdampak pada kerugian pihak lain, seperti warga negara secara langsung,” ujar Yuris.
Sebenarnya, lanjut Yuris, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sudah mengamanatkan adanya kompensasi terhadap korban yang dirugikan terhadap praktik korupsi. Pasal 35 UNCAC menyebutkan, negara wajib mengambil tindakan untuk menjamin badan atau orang yang dirugikan terhadap praktik korupsi dapat mengajukan gugatan ganti rugi.
”Sayangnya, pemerintah dan DPR kita sampai saat ini tidak berkomitmen untuk menindaklanjuti ketentuan UNCAC tersebut sehingga baik dalam UU Tindak Pidana Korupsi maupun UU Komisi Pemberantasan Korupsi sampai sekarang belum mengadopsi mekanisme tersebut. Opsi yang paling memungkinkan berdasarkan hukum positif kita yang berlaku, ya, dengan Pasal 98 KUHAP itu,” tuturnya.
Untuk itu, Yuris berharap, hakim dapat secara kontekstual melihat permasalahan tersebut. Meskipun ia menyadari, mekanisme pembuktian gugatan ganti rugi korban korupsi melalui Pasal 98 KUHAP ini cukup berat. Sebab, pasal yang mengatur ganti kerugian itu tidak secara khusus diperuntukkan terhadap kasus tindak pidana korupsi.
”Namun, jika hakim berani lebih progresif dalam mempertimbangkan gugatan ini, tentu dengan didukung pembuktian yang kuat dari para penggugat, kami menilai, ini akan menjadi pintu masuk di masa depan bagi masyarakat yang telah dirugikan akibat praktik korupsi untuk mengajukan gugatan,” kata Yuris.
Di KUHAP, lanjut Yuris, tidak ada tata acara persidangan bagi mereka yang ingin mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pasal 98 KUHAP. Alhasil, Tim Advokasi Korban Bansos terlihat bingung kapan mereka harus mengajukan keterangan saksi atau bukti gugatan lain di dalam persidangan. Untuk itu, persoalan tata acara ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Mahkamah Agung.
”Ke depan, tentu dibutuhkan komitmen perbaikan peraturan perundangan. Paling ideal, UU Tipikor harus disesuaikan dengan UNCAC sehingga mencakup mekanisme ganti rugi korban yang terdampak korupsi,” ujar Yuris.
Masih dipelajari
Sementara itu, Bambang Nurcahyono dari bagian Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan, Tim Advokasi Korban Bansos baru memasukkan permohonan penggabungan melalui PTSP dan permohonan tersebut telah diterima oleh majelis hakim. Selanjutnya, majelis hakim akan mempelajari secara saksama apakah permohonan korban bansos memenuhi syarat untuk digabungkan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang berjalan atau tidak.
”Selanjutnya, majelis hakim akan membuat penetapan apakah penggabungan tersebut dikabulkan atau tidak,” ujar Bambang.
Bambang menjelaskan, pada sidang 5 Juli, surat kuasa dari pemohon belum didaftarkan. Selain itu, kelengkapan dari kuasa hukum juga belum semuanya ada, antara lain berita acara sumpah advokat dan identitas diri.
”Intinya, permohonan tersebut belum dikualifikasi secara yuridis dikabulkan,” ucap Bambang.