Di Tengah Perang Argumen, Politisi Diminta Beri Solusi Atasi Pandemi
Di tengah jumlah kasus Covid-19 yang merangkak naik, sudah saatnya politisi kesampingkan politik elektoral. Dibandingkan argumentasi kontraproduktif, kini saatnya mengemukakan politik solidaritas di tengah pandemi.
JAKARTA, KOMPAS — Argumentasi yang diungkapkan oleh kalangan politisi dalam sepekan terakhir terkesan kontraproduktif dan memantik perdebatan panjang yang dikaitkan dengan kepentingan elektoral.
Belum lama ada ungkapan dari Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Rosaline Irine Rumaseuw yang meminta agar ada rumah sakit khusus pejabat. Kini perang argumen kembali terjadi terkait dengan pernyataan dari Ketua Fraksi Partai Demokrat Eddy Baskoro Yudhoyono yang mengingatkan soal negara gagal (failed nation) bahwa Indonesia tidak mampu mengatasi pandemi Covid-19.
Perang argumen soal failed nation itu terjadi melalui pendapat para politisi yang membela ataupun menolak pendapat Eddy Baskoro alias Ibas Yudhoyono itu. Sebelumnya, peringatan soal failed nation itu diungkapkan Ibas melalui pernyataan yang disampaikan Herzaky Mahendra Putra, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Rabu (7/7/2021).
Jangan sampai negara kita disebut sebagai failed nation atau bangsa gagal akibat tidak mampu menyelamatkan rakyatnya. (Eddy Baskoro Yudhoyono)
”Begini ya, Covid-19 makin ’mengganas’. Keluarga kita, sahabat kita, dan orang-orang di lingkungan kita banyak yang terpapar bahkan meninggal. Sampai kapan bangsa kita akan terus begini? Jangan sampai negara kita disebut sebagai failed nation atau bangsa gagal akibat tidak mampu menyelamatkan rakyatnya,’’ ujar Ibas.
Ibas juga menyampaikan, pemerintah terlihat ”tidak berdaya” menangani pandemi Covid-19 yang sudah memasuki tahun kedua. Kurangnya tabung oksigen, misalnya, menurut dia, menunjukkan antisipasi yang lemah dari pemerintah. ”Bagaimana mungkin tabung oksigen disumbangkan ke negara lain, tetapi saat rakyat sendiri membutuhkan, barangnya susah didapat,” katanya.
Baca juga: Bukan Baliho, tetapi Kerja Nyata yang Bisa Dongkrak Elektabilitas Elite Politik
Pernyataan Ibas itu pun menuai polemik karena partai-partai pendukung pemerintah terkesan memberikan pembelaan dan menilai ungkapan Ibas itu tidak tepat.
Pada Jumat (9/7/2021), misalnya, pernyataan itu ditanggapi oleh Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Tangerang Selatan Wanto Sugito. ”Lebih baik Ibas perhatikan saja Demokrat agar tidak jadi partai gagal (failed party). Soalnya gejala menjadi partai gagal sudah di depan mata. Cari cara saja agar lolos PT (parliamentary threshold) di 2024 atau yang failed itu pemikiran Ibas. Mungkin akibat pengaruh yang membuat pikirannya tidak lagi jernih,” ujar Wanto.
Wanto mengkritisi Ibas yang dinilai kerap tidak menghadiri rapat-rapat di Komisi VI. ”Teman sejawatnya di DPR saja pada mengatakan jarang rapat, itukah wakil rakyat yang mau dicontoh?” ujarnya.
Lebih baik Ibas perhatikan saja Demokrat agar tidak jadi partai gagal (failed party). Soalnya gejala menjadi partai gagal sudah di depan mata. (Wanto Sugito)
Nada pemakluman juga muncul dari anggota fraksi partai lainnya, yang melihat apa yang disampaikan oleh Ibas itu hanya sebagai peringatan. Anggota Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, mengatakan, negara gagal bisa saja terjadi apabila suatu pemerintahan yang berdaulat kehilangan kontrol terhadap wilayah kedaulatannya, tidak mampu menyediakan layanan publik, tidak mampu berinteraksi dengan negara lain karena sesuatu hal dan lainnya, serta tergerusnya kepercayaan publik yang memilihnya.
Sementara itu, pembelaan muncul dari Fraksi Partai Demokrat, yang menilai pernyataan Ibas itu sebagai wake up call (peringatan atau alarm) sehingga dapat menjadi pengingat bagi semua pihak, terutama pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, yang saat ini kian mengkhawatirkan.
”Ini bentuk kecintaan, kepekaan, dan kekhawatiran Mas EBY terhadap keselamatan nyawa warga negara akibat ancaman Covid-19 yang menyebar begitu cepat dan tinggi saat ini di satu sisi, dan ketersediaan fasilitas kesehatan, sarana-prasarana, obat-obatan dan tenaga kesehatan serta korban yang berjatuhan di sisi lain,” kata Didik Mukrianto, Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP Partai Demokrat.
Baca juga: Minta RS Khusus Pejabat, Elite Politik Abaikan Empati Publik
Didik mengatakan, sebagai seorang politisi, Ibas tentu berharap dan terus mengingatkan pemerintah tentang bahaya dari Covid-19 ini. Pemerintah harus terus berikhtiar dan tidak boleh berhenti untuk menyelamatkan warga negara baik dari sisi ancaman kesehatan maupun dampak lainnya.
”Kita tahu semua, kalau Covid-19 tidak segera tertangani dan terkendali, dampaknya sangat berat dan besar buat negara ini. Segenap sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun pertahanan serta keamanan, pasti terdampak. Dengan demikian, akan bisa berpotensi mengganggu pengelolaan sebuah bangsa,” ujarnya.
Menurut Didik, masukan Ibas tersebut dapat menjadi wake up call bagi pemerintah dan semua pihak. Harapannya, hal itu bisa menjadi pemicu bagi segenap pemangku kepentingan bangsa untuk terus bersatu dan membuat langkah-langkah dan terobosan baru yang lebih cepat dan tepat dalam menghadapi pandemi dengan segala dampaknya.
Kontraproduktif
Sebelum polemik pernyataan Ibas, ada pula keriuhan di publik yang dipicu oleh pernyataan Wakil Sekjen PAN Rosaline Irine Rumaseuw, yang meminta agar ada rumah sakit khusus pejabat. Pernyataan ini disampaikannya saat menceritakan kesulitannya mencarikan rumah sakit bagi rekannya, John Mirin, legislator asal Papua, di sebuah diskusi. John Mirin pekan lalu meninggal karena terpapar Covid-19.
Tak ayal pernyataan Rosaline itu mendapatkan tentangan dari berbagai pihak. Bahkan, fraksinya harus buru-buru meluruskan pernyataan itu. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, DPP PAN telah memberikan teguran kepada Rosaline atas pernyataannya yang bersifat pribadi di acara webinar tentang perlunya rumah sakit khusus pejabat.
Pernyataan tersebut, menurut PAN, tidak tepat dan terkesan diucapkan karena perasaan sedih dan emosional. PAN mengucapkan permintaan maaf atas pernyataan dokter Rosaline karena hal itu bukan dan tidak mewakili sikap partai.
”Alasan sikap yang tidak tepat karena seharusnya sesuai Pasal 28H UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Tanpa diskriminasi dan sekat stratifikasi sosial, apakah pejabat atau masyarakat, kaya atau miskin. Jadi, implementasi public services harus adil dan setara,” ujar Viva.
Menanggapi berbagai pernyataan politisi dalam beberapa waktu terakhir yang terkesan ”memanfaatkan” isu pandemi, menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha, justru kontraproduktif. Tontonan seperti itu dipandang tidak pantas dan tidak perlu dalam situasi pandemi seperti saat ini. Apalagi ketika pernyataan-pernyataan terkesan menyudutkan, dan tidak memberikan solusi, atau malah mengambil untung untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
”Pandemi ini seharusnya tidak dimanfaatkan untuk politik dan kepentingan bisnis apa pun. Sudah saatnya menanggalkan politik pencitraan, pertaruhan bisnis. Marilah kita semua mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan, empati, dan bergandengan tangan,” katanya.
Baca juga: Politik Tuna-empati
Sisi-sisi politik elektoral, menurut Hanta, sebaiknya dikesampingkan dulu. Upaya mencari panggung dengan adu argumentasi dan mengeluarkan pernyataan yang kurang empatik dinilainya saat ini tidak tepat. Hal itu bahkan menimbulkan antipati publik terhadap politisi, yang dinilai hanya memanfaatkan pandemi untuk kepentingan elektoral semata.
”Kalau politisi dan aktor-aktor politik mengabdi tulus untuk rakyat, dan kemanusiaan, bersama-sama bergandengan tangan menghadapi Covid-19, itu akan otomatis direkam oleh publik. Parpol harus menjalankan perannya dalam melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya,” ujar Hanta.
Ini sudah saatnya politisi mengesampingkan politik elektoral dan mulai mengemukakan politik solidaritas di tengah pandemi. Fungsi pengawasan tetap dilanjutkan, tetapi dengan memberikan masukan konstruktif.
Kendati demikian, bukan berarti anggota DPR ataupun politisi tidak boleh bersikap kritis terhadap pemerintah. Sikap kritis tetap dibutuhkan untuk mengawasi kinerja pemerintah agar makin optimal dalam mengatasi pandemi. Namun, sikap itu mesti dibarengi dengan solusi konstruktif.
”Ini sudah saatnya politisi mengesampingkan politik elektoral dan mulai mengemukakan politik solidaritas di tengah pandemi. Fungsi pengawasan tetap dilanjutkan, tetapi dengan memberikan masukan konstruktif bagi penanganan pandemi dan tidak hanya memanfaatkan pandemi untuk meraih citra di depan publik,” katanya.