Sejak terbit dua pekan lalu, SKB Pedoman UU ITE belum dijalankan aparat hukum. Banyak kasus pelanggaran UU ITE tetap diproses meski ditengarai tak sejalan dengan isi SKB.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemidanaan kasus-kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE masih terus diproses aparat penegak hukum. Padahal, banyak di antaranya ditengarai tak selaras dengan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada Rabu (23/6/2021).
Ketua Paguyuban Korban (Paku) UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, terbitnya surat keputusan bersama (SKB) itu belum mampu menghentikan pemidanaan terhadap dugaan pelanggaran atas UU ITE.
”Sepanjang Juni 2021, Paku ITE bersama Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) setidaknya mendampingi tiga kasus yang dilaporkan ke kepolisian,” kata Arsyad saat dihubungi pada Rabu (7/7/2021).
Kasus pertama menimpa Susi Rahayu Transiska, buruh perusahaan tekstil di Jakarta Utara. Perusahaan melaporkan Susi atas dugaan pencemaran nama baik karena unggahan di media sosial. Dalam unggahannya, Susi mempertanyakan komitmen perusahaan membayar gaji dan tunjangan hari raya karyawan pada masa pandemi Covid-19.
Kasus lainnya dialami Achmad Muthohar, buruh pabrik di Demak, Jawa Tengah. Arsyad mengatakan, Achmad dilaporkan ketua serikat buruh di tempatnya bekerja karena menyebarkan unggahan yang menyebut ketua serikat sebagai makelar kasus yang merugikan buruh. Unggahan itu merupakan reaksi kekecewaan atas rencana pemecatan Achmad.
Laporan serupa dialami Iin Solihin, warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Iin dilaporkan karena terlibat sengketa tanah pemakaman umum antara warga dan pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Pihak yang mengklaim pemilik tanah memidanakan Iin atas dugaan pencemaran nama baik karena Iin memublikasikan kronologi kasus di laman blog serta menyampaikan rilis ke sejumlah media massa.
Arsyad menjelaskan, ketiga kasus ini masih berjalan di kepolisian. Namun, tidak semua diproses dengan cara mediasi. ”Pada kasus Iin, tidak ada mediasi sama sekali,” ujarnya.
Selain ketiga kasus itu, pemidanaan kasus-kasus pelanggaran UU ITE sebelumnya juga masih berjalan. Paku ITE dan Safenet mendampingi setidaknya 18 kasus. ”Sampai saat ini tak ada peninjauan ulang atau penghentian kasus,” katanya.
Padahal, baik tiga kasus yang dilaporkan selama Juni maupun kasus-kasus sebelumnya, banyak di antaranya yang ditengarai bertentangan dengan aturan dalam SKB UU ITE.
Sebagai contoh, pelaporan dilakukan lembaga, perusahaan, bahkan pejabat daerah. Ini tidak sejalan dengan pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang menyebutkan penghinaan atau pencemaran nama baik harus diadukan ke penegak hukum oleh korban langsung. Pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
Otoritas penegak hukum
Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo mengatakan, SKB UU ITE semestinya dijadikan pedoman untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada. Akan tetapi, hal itu diserahkan kepada setiap instansi penegak hukum untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kepada jajarannya.
”Kemenko Polhukam akan terus mendorong dipedomaninya SKB itu,” ucapnya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam wawancara khusus bersama Kompas pekan lalu mengatakan, sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo, polisi kini lebih selektif dalam menegakkan hukum terkait pelanggaran UU ITE. Pihaknya juga mengubah pendekatan dari yang represif menjadi lebih humanis dalam penanganan kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi.
Salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam surat edaran tersebut, penyelesaian perkara diutamakan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice), sedangkan hukum pidana merupakan upaya terakhir.
Selain itu, kata Listyo, pihaknya juga menandatangani SKB UU ITE bersama Jaksa Agung dan Menkominfo. Itu dilakukan agar penegakan hukum bisa tetap menjamin ruang berekspresi bagi warga yang hidup di alam demokrasi. Keberadaan SKB juga diharapkan meminimalkan multitafsir terhadap pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. “Ini yang kami akan sangat hati-hati,” kata dia.
Sementara itu, Kompas mencoba menghubungi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak untuk memberikan penjelasan. Namun, hingga Rabu malam ia tidak menjawabnya.
Dengan SKB UU ITE belum mampu menyelesaikan permasalahan dasar, yaitu keberadaan sejumlah pasal karet di UU ITE yang rentan disalahgunakan, Arsyad pun kembali mengingatkan pentingnya pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE untuk mencabut pasal-pasal multitafsir tersebut.
Diananta Putra Sumedi, jurnalis yang pernah dipenjara selama tiga bulan karena tuduhan pencemaran nama baik, mengatakan, negara harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjaga iklim demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), yaitu dengan mencabut pasal karet di UU ITE.
Jika tidak memungkinkan, ketentuan pidana yang selama ini digunakan semestinya diganti dengan denda administrasi atau kerja sosial. Sebab, dampak dari hukum pidana dalam penanganan UU ITE tak seimbang dengan kesalahan yang diperbuat.