Hadapi Disinformasi, Mulai dari Kontranarasi hingga Lapor Polisi
Disinformasi kini jadi tantangan bagi pembuat kebijakan, tak terkecuali Menteri Keuangan Sri Mulyani. Wacana pajak sembako timbulkan tudingan kepadanya sebagai "Ratu Uang". Berikut upayanya hadapi disinformasi tersebut.
Pembuatan kebijakan di era banjir informasi (information overload) ternyata merupakan tantangan tersendiri bagi para pembuat kebijakan. Di saat mereka harus merumuskan kebijakan, mereka harus pula menghadapi gempuran informasi yang tidak tahu dari mana asalnya, dan tidak jelas apakah informasi itu benar atau tidak.
Lebih jauh lagi, ketika informasi itu jelas salah dan menyudutkan, upaya pelurusannya menjadi pergulatan tersendiri.
Hal yang demikian itu, misalnya, dialami oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ia dan jajarannya harus meluruskan disinformasi yang marak berkembang di ruang publik tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Informasi yang berkembang memang sangat liar, karena terlepas dari konteks yang dimaksudkan dalam pengaturan itu.
Berita yang berkembang, misalnya, sembako akan dipajaki, orang yang melahirkan akan dikenai pajak, sekolah akan dipajaki, dan ungkapan-ungkapan seram lainnya yang beredar di media sosial (medsos).
Baca juga: Membendung Propaganda Digital
Tudingan personal dengan perundungan siber (cyber bullying) pun dialamatkan kepada Sri Mulyani. Beberapa ungkapan secara kasar menyebutnya sebagai “Ratu Utang” atau “SPG World Bank,” suatu ungkapan pelecehan yang tidak terbayangkan dapat muncul dari kesadaran orang yang katanya santun.
Demikianlah tantangan termutakhir yang mesti dihadapi oleh pembuat kebijakan. Caci-maki dan perundungan adalah “palagan” tersendiri, bersama dengan disinformasi atau hoaks (berita bohong) yang menyertainya.
“Tantangan untuk membuat policy (kebijakan) dalam lingkungan yang dinamis ini tidak seharusnya membuat kita menyerah. Nanti kalau saya mau begini nanti difitnah, dipelintir, ada hoaks, saya dibilang ratu utang, masuk neraka karena ratu riba, dan kalau cuma memikirkan tantangan itu, dan berkecil hati, tidak berani membuat keputusan, maka yang rugi republik ini,” ucap Sri Mulyani dalam wawancara khusus secara daring dengan Kompas, Kamis (1/7/2021).
Kalau hanya membuat kebijakan yang populis, hal itu menurutnya tidak akan membuat Indonesia kuat. Untuk bisa lepas dari situasi perekonomian yang sulit di tengah pandemi Covid-19, kebijakan yang diambil membutuhkan pengorbanan, kerja keras.
Lebih jauh lagi, karakter yang demikian itu harus ditunjukkan untuk menuju cita-cita Indonesia maju, adil dan makmur. Para pendiri bangsa pun tidak ada yang menganggap upaya pengambilan keputusan itu sebagai situasi penuh pesta-pora menyenangkan, melainkan di sana ada pula keringat, darah, air mata, termasuk berbagai fitnah.
Pengambilan kebijakan sebagai suatu kegiatan politis pun tidak pernah hampa dari suasana sosial, politik, dan politik yang melingkupinya. Kata suasana itu mewakili banyak subyektivitas, dan perasaan, yang berkembang di seputar pengambilan keputusan.
“Orang-orang di negara maju pun ada yang tidak suka dengan perdana menterinya. Ini sekadar contoh saja bagaimana pembuatan kebijakan itu tidak dalam ruangan yang vakum dari suasana sosial, ekonomi, dan politik,” ucap mantan Direktur Bank Dunia ini.
Baca juga: Melangkah di Tengah Labirin Informasi
Menyadari situasi banjir informasi yang kerap tidak terkendali itu, jajaran Kementerian Keuangan memutar otak untuk menyelamatkan ruang publik dari disinformasi. Ruang publik, menurut Sri Mulyani, harus diselamatkan dari informasi yang meracuni mereka, dan bisa membawa pada situasi yang membahayakan negara.
Yang bullying diganti dengan hal-hal informatif saja. (Sri Mulyani)
Untuk mengisi ruang-ruang publik itu, Sri Mulyani, misalnya harus turun ke Pasar Santa di Kebayoran Baru, untuk menerangkan langsung kepada pedagang bahwa sembako yang mereka jual di pasar tradisional tidak akan dikenai pajak. Pajak hanya akan dikenakan pada beras premium impor yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas yang seharusnya dipungut pajak.
“Saya menganggap ini tanggung jawab publik kita. Yang bullying diganti dengan hal-hal informatif saja. Teman-teman di Kemenkeu, misalnya, membuat tiktok supaya kita penetrate saja,” ucapnya.
Baca juga: Wacana Pajak Sembako 12 Persen Akan Beratkan Masyarakat
Namun, Sri Mulyani menegaskan Kemenkeu tidak menggunakan buzzer (pendengung) di medsos untuk meluruskan disinformasi yang berkembang. Ia mengoptimalkan jajarannya untuk berkreasi menyampaikan informasi di medsos, tetapi dengan tetap menghargai proses legislasi yang berkembang.
Sebab, pada saat itu draf RUU KUP belum dikirimkan kepada DPR. Ia pun melihat ini sebagai “perang informasi.” Semua jajaran menunggu aba-abanya dalam melakukan pelurusan informasi di medsos.
Kami tidak memakai buzzer. Saya percaya informasi harus terus diberikan. (Sri Mulyani)
“Kami tidak memakai buzzer. Saya percaya informasi harus terus diberikan. Teman-teman punya ide pergi ke pasar, setelah olahraga pagi lalu belanja, harus ke sini. Selain juga menyampaikan informasi di medsos. Ini membuat teman-teman Kemenkeu semangat saja,” ucapnya.
Serangan disinformasi juga harus dihadapi oleh penyelenggara pemilu. Dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya, harus menghadapi informasi yang tidak benar soal adanya surat suara yang masuk melalui tujuh kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Informasi yang dicuit oleh seorang politisi itu juga menyebutkan adanya 70 juta surat suara yang telah tercoblos dari luar negeri.
Tidak ayal informasi yang pertama kali beredar melalui sebuah rekaman suara itu membuat penyelenggara menerima banyak pertanyaan. Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, pada saat peristiwa itu terjadi, 2 Januari 2019, penyelenggara langsung merespons disinformasi itu. Pertama kalinya, malam itu juga, KPU turun ke lokasi, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, untuk memastikan bahwa informasi ini tidak benar.
Bersama dengan rombongan awak media, anggota KPU menunjukkan informasi adanya tujuh kontainer berisikan 70 juta surat suara sebagaimana informasi yang beredar itu tidaklah benar. “Besok harinya, kami membuat laporan ke Polri terhadap disinformasi yang beredar. Jadi selain membuktikan ke lapangan bahwa informasi itu tidak benar, kami juga membuat tindakan hukum, sehingga polisi menyelidiki isu ini dari mana asalnya,” ungkap Pramono, Selasa (6/7/2021), mengenang kembali tindakan KPU saat itu.
Pihak kepolisian akhirnya menangkap pihak yang pertama kali membuat rekaman suara palsu yang menyebarkan informasi bohong itu. Sebaliknya, politisi yang turut mencuitkan informasi itu menghapus cuitannya dan berdalih ia hanya meneruskan informasi yang sudah beredar sedari pagi mengenai kedatangan tujuh kontainer surat suara tersebut.
Untuk menghadang narasi bohong yang terlanjur beredar, KPU juga membuat kontranarasi di media sosial (medsos), dan menyebarkan beberapa rilis pers kepada awak media. Tiga tindakan yang dilakukan oleh KPU, yakni datang ke lokasi, membuat laporan polisi, dan membuat kontranarasi, terbukti mampu menetralisir berita bohong (hoaks) yang beredar.
“Kontranarasi menjadi penting. Kami, misalnya, menyampaikan fakta bagaimana bisa tujuh kontainer dan 70 juta surat suara yang telah tercoblos itu masuk ke TPS dan kotak suara, sebab untuk desain surat suaranya sendiri baru disetujui oleh parpol pada 6 Januari. Adapun informasi itu beredar pada 2 Januari, di saat desain surat suara bahkan belum disetujui oleh parpol. Cetak surat suara juga baru dilakukan pada pertengahan Januari,” ucapnya.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, Pramono mengatakan, hoaks memang akan banyak beredar dan mesti direspons cepat agar tidak beredar semakin masif. Dalam kondisi kontestasi elektoral yang sedemikian ketat, informasi yang keliru yang cenderung merugikan atau pun menguntungkan salah satu pihak akan direspons dengan cepat pula.
“Pada saat itu, masyarakat juga sangat terbelah, sehingga ketika ada isu yang merugikan atau menguntungkan salah satu pihak pasti akan cepat disambar,” katanya.
Pramono menjelaskan, tidak ada fiter atau saringan di dunia maya. Informasi yang keliru di dunia maya tidak hanya dapat membahayakan eksistensi demokrasi dan kepemiluan, tetapi juga aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.
“Untuk mengatasi hoaks, dibutuhkan pula kedewasaan masyarakat untuk menyerap informasi yang masuk, terlebih di tengah-tengah kontestasi elektoral yang ketat. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah termakan informasi yang tidak benar,” ucap Pramono.
Kreator Drone Emprit Ismail Fahmi menilai, keputusan Kemenkeu tidak melibatkan buzzer tepat. Sebab, keberadaan buzzer tidak berperan signifikan untuk meluruskan disinformasi.
Berdasarkan analisis jejaring sosial Twitter yang dia lakukan pada periode 5—18 Juni 2021 saat isu penarikan PPN menjadi pembicaraan masyarakat, misalnya, ada upaya dari para buzzer untuk ikut menyebarkan klarifikasi Kemenkeu terhadap isu tersebut. Akan tetapi, penjelasan yang mereka gaungkan cenderung monolog. Hanya beredar di lingkaran mereka sendiri, sehingga tidak pernah sampai kepada publik.
Baca juga: Polutan yang Mencekik Demokrasi
Sulit dikendalikan
Pengajar Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, disinformasi sulit untuk dikendalikan penyebarannya karena datang bersamaan dengan banjir informasi. Untuk memilah dan memastikan mana informasi yang benar sebagai basis dalam pengambilan kebijakan, pemerintah idealnya membuat riset dan kajian mendalam.
“Kalau memang membutuhkan data yang valid, ya harus melakukan riset yang valid juga. Kalau mau mendapatkan kebijakan publik yang memang sesuai dengan kenyataan, riset itu jalan terbaik. Upaya pengecekan data secara saling silang juga dapat dilakukan, antara lain dengan menggunakan data dari BPS maupun Bappenas,” ujarnya.
Untuk memilah dan memastikan mana informasi yang benar sebagai basis dalam pengambilan kebijakan, pemerintah idealnya membuat riset dan kajian mendalam.
Baca juga: Riset Mendalam Hindarkan Kebijakan dari Disinformasi
Cara lain yang dapat menghindarkan pemerintah dari berita hoaks atau disinformasi ialah dengan melalui kajian media massa yang terpercaya. Upaya memastikan data dan informasi bisa juga dengan melihat apa yang ditulis oleh media massa.
“Pelibatan media massa ini penting dalam memilah mana informasi yang benar dan valid. Pemerintah juga agar tidak langsung percaya dengan yang banyak beredar di media sosial (medsos). Jika memang dari hasil cross check data itu tidak sesuai, yang harus diubah ialah kebijakannya, bukan datanya,” ucap Hendri.
Tidak hanya berlaku bagi pemerintah, sikap kritis dan kemauan untuk mengecek kebenaran juga seharusnya menjadi pola tindakan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak terjerumus pada disinformasi. Literasi digital juga harus ditingkatkan.