Buronan Adelin Lis dan Hendra Subrata yang berhasil ditangkap beberapa waktu lalu memanfaatkan data kependudukan ganda untuk membuat paspor dengan nama lain sehingga mereka bisa kabur dari kejaran aparat hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI meminta Kementerian Dalam Negeri membenahi data kependudukan agar kasus buronan Adelin Lis dan Hendra Subrata yang bisa membuat paspor dengan memanfaatkan data ganda yang mereka miliki bisa dicegah terulang.
Sebelumnya, Adelin, buron kasus pembalakan liar, dan Hendra, buron kasus percobaan pembunuhan, telah dideportasi dari Singapura. Adelin yang buron selama 13 tahun memiliki paspor atas nama Hendro Leonardi, sedangkan Hendro yang buron 10 tahun memiliki paspor atas nama Endang Rifai.
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, mengatakan, agar tidak ada lagi data ganda, harus ada pembenahan data kependudukan. Selain itu, harus dipastikan bahwa pengembangan sistem administrasi kependudukan (adminduk) mendukung penambahan data baru dan pembenahan data terdahulu.
Ia menegaskan, integrasi data adminduk dengan instansi terkait juga harus berjalan, baik pada keamanan dan validitas data maupun bentuk koordinasi.
Saat dihubungi pekan lalu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, dalam basis data kependudukan yang dimiliki Dukcapil, Adelin dan Hendra memiliki data ganda.
”Dia dari dulu punya dua data. Hendra itu dua-duanya belum membuat KTP elektronik sehingga kita tidak bisa menentukan mana yang datanya aktif. Dia sudah lama memiliki dua data tersebut,” kata Zudan.
Zudan menuturkan, pihaknya tidak mengetahui bahwa dua data tersebut dimiliki orang yang sama. Sebab, nomor induk kependudukan, nama, dan tempat tanggal lahirnya berbeda. Mereka membuat data ganda tersebut sebelum program KTP elektronik diterapkan. Akibatnya, data ganda mereka tidak terdeteksi di sistem kependudukan.
Mereka tidak akan bisa membuat data ganda setelah ada KTP elektronik karena datanya terkunci oleh sistem. KTP elektronik sudah terintegrasi. Mereka akan terdeteksi melalui foto wajah yang ada di KTP elektronik.
Adapun dalam kasus Adelin, Zudan mengungkapkan, Adelin sudah membuat KTP elektronik. Namun, ia juga sudah memiliki data dengan nama Hendro Leonardi. Karena itu, Adelin tidak bisa membuat KTP elektronik lagi dengan data Hendro.
Agar hal serupa tidak terjadi lagi, Zudan berharap semua instansi wajib menggunakan data KTP elektronik. Setiap orang tidak akan bisa membuat data ganda karena tertutup secara sistem.
Sebelumnya, Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arya Pradhana Anggakara mengatakan, pemalsuan yang dilakukan keduanya cenderung pada pemalsuan data identitas diri, seperti KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, mengungkapkan, sebelum ada KTP elektronik, memang banyak orang yang membuat KTP ganda di tempat yang berbeda. Mereka biasa mempergunakannya untuk pembuatan paspor. Mereka tidak lagi bisa melakukannya ketika sudah ada KTP elektronik. Sebab, di KTP elektronik terdapat cip yang merekam semua kondisi fisik seseorang, salah satunya sidik jari.
Agar tidak terdapat data ganda, Trubus mengingatkan pentingnya validitas. Jika kasus serupa berulang, dampaknya akan besar. Salah satunya adalah seseorang akan kesulitan dalam mengakses bantuan sosial.