MA Krisis Hakim Agung ”Ad Hoc” Tindak Pidana Korupsi
Setiap tahun MA menerima ratusan perkara korupsi, tetapi pada bulan Juli ini jumlah hakim agung ”ad hoc” tipikor tersisa tiga orang. Kondisi itu dikhawatirkan membuat perkara korupsi tak tertangani dengan baik.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Susana Rita
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sebanyak tiga hakim ad hoc yang baru dilantik oleh Ketua MA Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/3/2020). Tiga hakim ad hoc yang dilantik ialaha Agus Yunianto (hakim ad hoc tindak pidana korupsi tingkat kasasi), Ansori (hakim ad hoc tindak pidana korupsi tingkat kasasi), dan Sugianto (hakim ad hoc hubungan industrial tingkat kasasi).
JAKARTA, KOMPAS — Empat hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi atau tipikor akan memasuki usia pensiun pada Juli ini. Setelah itu, Mahkamah Agung hanya akan memiliki tiga hakim ad hoc tipikor. Dengan banyaknya perkara yang ditangani di MA, dikhawatirkan akan ada banyak perkara tak tertangani dengan baik.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro saat dihubungi, Minggu (4/7/2021), membenarkan bahwa ada empat hakim agung yang akan berakhir masa baktinya pada 22 Juli 2021. Mereka adalah Krisna Harahap, Mohammd Askin, Latief, dan Syamsul Rakan Chaniago. Mereka pensiun sebagai hakim agung ad hoc karena usianya sudah mencapai 70 tahun.
Sepeninggal mereka, MA hanya memiliki tiga hakim agung ad hoc tipikor yang akan menangani perkara korupsi, baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
Minimnya jumlah hakim ad hoc tipikor ini, diakui Andi, akan berdampak pada penanganan perkara korupsi. Setiap tahun ada ratusan perkara korupsi yang masuk ke MA. Pada 2020, misalnya, ada 412 perkara kasasi korupsi yang masuk. Ditambah dengan sisa perkara pada 2019, beban yang ditangani MA sebanyak 440 perkara kasasi. Adapun di tingkat PK, ada 216 perkara korupsi yang masuk. Ditambah beban pada 2019, beban yang ditangani MA sebanyak 232 perkara.
Selain tingginya beban perkara, kinerja hakim agung ad hoc tipikor itu juga terbatas. Sebab, sesuai dengan ketentuan undang-undang, anggota majelis yang sudah menangani perkara kasasi tidak boleh menangani perkara PK.
Menurut Andi, dari ketiga hakim agung ad hoc tersebut, ada yang pernah bertugas sebagai hakim ad hoc di pengadilan tinggi. Oleh karena itu, hakim agung ad hoc tersebut tidak boleh menangani perkara yang pernah mereka tangani sebelumnya meskipun diajukan upaya hukum kasasi ataupun PK.
”Hakim ad hoc yang menangani perkara kasasi tentu tidak boleh duduk lagi sebagai anggota majelis PK jika perkara itu diajukan ke tingkat PK,” kata Andi.
Melihat permasalahan tersebut, ujarnya, MA akhirnya memperpanjang masa bakti salah satu hakim ad hoc yang usianya belum mencapai 70 tahun, yaitu Abdul Latif. Dia akan diperpanjang masa jabatannya sembari menunggu ada pengganti hakim ad hoc tipikor. ”Sebenarnya yang sudah habis masa tugasnya ada lima orang, masa tugas mereka juga telah diperpanjang selama satu tahun. Tetapi, ada satu yang belum mencapai usia pensiun, yaitu Prof Dr H Abdul Latif,” ujar Andi.
Meskipun demikian, Andi menyadari bahwa proses seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan DPR tidak mudah dan memakan waktu lama. Sementara itu, penyelesaian perkara tidak boleh menunggu waktu yang lama. Sebab, jika terlalu lama, ada potensi terdakwa yang sudah habis masa penahanannya akan bebas demi hukum.
Saat ini, KY memang sedang melakukan seleksi hakim agung sesuai dengan permintaan MA. Namun, dari seleksi yang sedang berlangsung itu, belum ada permintaan spesifik dari MA untuk menyeleksi hakim ad hoc tipikor. Pada seleksi calon hakim agung 2021, MA hanya meminta 13 hakim agung untuk kamar perdata, kamar pidana, hakim agung militer, dan tata usaha negara khusus pajak.
Aris Setiawan Yodi untuk Kompas
Miko Ginting
Terkait dengan minimnya jumlah hakim ad hoc tipikor ini, Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, dalam hal seleksi calon hakim ad hoc di MA, KY bersifat pasif dan menunggu permintaan MA untuk menyelenggarakan seleksi. Hal itu diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) dan (3) UU Komisi Yudisial serta Peraturan KY Nomor 3 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor di MA. Jika memang ada kebutuhan hakim ad hoc tipikor, MA akan bersurat melalui Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial. Selain itu, sesuai dengan UU KY, enam bulan sebelum masa jabatan seorang hakim atau hakim ad hoc berakhir, MA dapat mengirimkan permintaan kepada KY.
”Mekanismenya adalah KY menunggu penyampaian permintaan dari MA terkait kebutuhan, baik calon hakim agung maupun calon hakim ad hoc tipikor di MA,” ujar Miko.
Berdasarkan data KY, pada 2020, misalnya, MA meminta calon hakim ad hoc tipikor sebanyak enam orang. Jumlah pendaftar yang masuk saat itu mencapai 103 calon. Kemudian, setelah dilakukan seleksi di KY, hanya satu hakim ad hoc tipikor yang disetujui oleh DPR. Pada tahun 2021 belum ada permintaan dari MA untuk seleksi hakim ad hoc tipikor.
Menurut Miko, jumlah peminat calon hakim ad hoc tipikor yang mendaftar seleksi di KY relatif banyak setiap tahun. Animo pendaftar calon hakim ad hoc tipikor hampir sama dengan calon hakim agung.
Kewenangan KY diuji
Sementara itu, Burhanuddin yang pernah mengikuti seleksi calon hakim agung ad hoc di Komisi Yudisial pada 2016 saat ini tengah menguji kewenangan KY dalam melaksanakan seleksi calon hakim agung ad hoc. Kewenangan tersebut dinilai tidak sesuai dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 yang secara jelas menyebut kewenangan limitatif KY, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung, bukan hakim agung ad hoc.
TANGKAPAN LAYAR
Tangkapan layar suasana konferensi pers secara daring yang digelar Komisi Yudisial terkait dengan pengumuman hasil seleksi kualitas calon hakim agung Republik Indonesia 2021, di Jakarta, Rabu (5/5/2021).
KY pada saat berdiri hingga tahun 2011 tidak memiliki kewenangan untuk menyeleksi hakim agung ad hoc. Kewenangan itu baru diberikan oleh pembentuk undang-undang saat mereka merevisi UU KY (menjadi UU No 18/2011) yang memperluas kewenangan KY selain menyeleksi hakim agung juga bertugas mengusulkan hakim agung ad hoc (Pasal 13 Huruf a). Seleksi hakim agung ad hoc pun dilakukan dengan menggunakan tata cara yang sama dengan seleksi calon hakim agung.
Keberadaan hakim ad hoc tipikor merupakan amanat dari UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang menyebutkan bahwa hakim pengadilan tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc. Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas dan kekhususan perkara tindak pidana khorupsi, baik menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan korupsi, antara lain bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa, pemerintah, dan lainnya.
”Pembentuk undang-undang tidak diberikan kewenangan untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikuat. Dengan demikian, jelas bahwa kewenangan Komisi Yudisial merupakan kewenangan yang limitative, seperti termaktub dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945,” ujar Zainal Arifin Hoesein, kuasa hukum Burhanuddin, dalam sidang di MK pada 9 November 2020.
Perkara tersebut sedianya akan dilanjutkan pada 12 Juli mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak terkait, dalam hal ini KY dan MA. Namun, persidangan tersebut ditunda sampai jadwal waktu yang ditentukan kemudian. Penundaan dilakukan terkait dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19.