Pegawai KPK kembali meminta keterbukaan hasil tes wawasan kebangsaan kepada KPK. Data yang diminta tentang keputusan yang menetapkan pegawai tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi aparatur sipil negara.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi kembali meminta keterbukaan hasil tes wawasan kebangsaan kepada KPK. Informasi yang diminta adalah data yang diserahkan oleh Badan Kepegawaian Negara kepada KPK pada 27 April lalu di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Hal itu disampaikan Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi nonaktif Hotman Tambunan dalam pernyataan tertulis, Rabu (30/6/2021). Menurut Hotman, data dan informasi tersebut diserahkan dalam suatu seremoni yang dihadiri banyak pihak yang juga ditunjukkan dalam rapat yang dihadiri pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, dan pejabat struktural KPK pada 5 Mei 2021.
Data yang diminta pegawai KPK adalah informasi yang berhubungan dengan keputusan pimpinan menetapkan tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi aparatur sipil negara.
Adapun data yang diminta pegawai KPK adalah informasi yang berhubungan dengan keputusan pimpinan KPK menetapkan tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terkait dengan hal tersebut, Hotman mengaku dapat memahami jika data yang bersifat pribadi tersebut berhubungan dengan hasil milik orang lain.
”Jika dalam lembar yang sama ada data orang lain, dapat dihitamkan sehingga tidak terbaca lagi. Saya hanya ingin melihat data saya,” kata Hotman.
Pada permintaan sebelumnya, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPK menyatakan masih melakukan koordinasi dengan pihak Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk pemenuhan informasi tersebut. Jawaban PPID itu dinilai aneh karena serah terima hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) dari BKN kepada KPK sudah dilakukan pada 27 April 2021, yang berarti berarti hasil TWK seluruh pegawai telah berada di KPK.
Menurut Hotman, permintaan baru tersebut dibuat agar ia dapat segera melihat hasil asesmen TWK yang menyatakan dirinya tidak memenuhi syarat menjadi pegawai KPK lagi. Hasil asesmen tersebut penting untuk diketahui karena berdampak signifikan bagi pegawai KPK.
Dampak signifikan tersebut adalah adanya pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat serta diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung. Selain itu, pegawai tersebut juga mendapat stigma sebagai warga negara yang tidak taat, tidak setia, atau tidak bisa dibina lagi karena bermasalah dalam syarat kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta pemerintahan yang sah.
”Dua poin tersebut merupakan penghukuman yang mendasarkan pada hasil TWK sehingga sudah sewajarnya yang dihukum harus mengetahui alasan-alasan penghukuman,” terang Hotman.
Sesuai dengan aturan yang berlaku, Hotman meminta hasil asesmen tersebut dalam bentuk salinan fotokopi yang dilegalisasi atau disahkan oleh KPK. Melalui permintaan ini, Hotman berharap agar KPK bisa segera memberikan hasil TWK kepada pegawai.
Sebelumnya, Kepala BKN Bima Haria Wibisana seusai memberikan keterangan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, TWK yang dilaksanakan terhadap pegawai KPK tersebut melibatkan banyak instansi, yakni Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (AD), Pusat Intelijen TNI AD, Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelijen Negara (BIN). Materi TWK berupa indeks moderasi bernegara (IMB) yang ditambah dengan instrumen berupa wawancara dan profiling.
Menurut Bima, BKN tidak dapat membuka hasil asesmen TWK karena informasi detail orang per orang tidak dimiliki BKN, melainkan instansi pemilik instrumen TWK, yakni IMB yang dimiliki Dinas Psikologi TNI AD dan profiling yang dimiliki BNPT. Kedua lembaga tersebut menolak membuka hasil asesmen karena bersifat rahasia.
”Apakah ini bisa dibuka? Ya bisa. Informasi ini bisa dibuka kalau ada ketetapan pengadilan supaya orang-orang yang memberikan informasi ini tidak disalahkan karena melanggar aturan,” terang Bima.
Hasil asesmen TWK bukanlah informasi rahasia negara maupun informasi kegiatan intelijen, melainkan informasi dalam rangka tes alih status kepegawaian. (Zaenur Rohman)
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, hasil TWK bukan termasuk kategori informasi yang dikecualikan. Sementara Pasal 18 Ayat (2) Huruf a dan b juga menyatakan bahwa informasi dapat dibuka jika pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
Selain itu, lanjut Zaenur, hasil asesmen TWK bukanlah informasi rahasia negara maupun informasi kegiatan intelijen, melainkan informasi dalam rangka tes alih status kepegawaian. Jika informasi hasil TWK dianggap sebagai kegiatan intelijen, justru tidak memiliki dasar hukum sama sekali. Sebab, dasar pelaksanaan TWK adalah Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang mendasarkan pada UU No 19/2019 tentang KPK meski UU tersebut tidak memerintahkan demikian.
”Di dalam perjanjian kerja sama seharusnya sudah ada ruang lingkup, apa yang menjadi kewajiban dari para pihak. Dan menurut saya tidak masuk akal kalau hasil tes itu tidak diserahkan kepada user-nya, dalam hal ini KPK,” kata Zaenur.
Terkait dengan sikap Dinas Psikologi TNI AD dan BNPT yang menolak membuka, hal itu merupakan tanggung jawab BKN dan KPK, bukan peserta tes. Alasan bahwa untuk membuka hasil asesmen TWK memerlukan perintah pengadilan justru melanggar UU tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kalaupun KPK dan BKN tidak mau membuka kepada publik, menurut Zaenur, hasil asesmen tersebut sekurangnya dibuka kepada para peserta tes. Mereka mesti mendapatkan informasi mengenai nilai yang didapatkan, proses yang dilakukan, serta instrumen yang digunakan.