Terungkapnya modus Adelin Lis dan Hendra Subrata untuk bisa kabur dari kejaran aparat penegak hukum hendaknya dapat menjadi bahan evaluasi untuk membenahi sistem pembuatan paspor.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terungkapnya kasus Adelin Lis dan Hendra Subrata hendaknya dapat menjadi bahan evaluasi untuk membenahi sistem pembuatan paspor. Di sisi lain, dua kasus ini harus diusut aparat penegak hukum bersama dengan instansi terkait sampai tuntas agar hal serupa tidak terjadi lagi.
Sebelumnya, buronan kasus pembalakan liar Adelin Lis dan terpidana percobaan pembunuhan Hendra Subrata telah dideportasi dari Singapura. Adelin menjadi buronan 13 tahun, sedangkan Hendra buronan 10 tahun.
Selama menjadi buronan, Adelin memalsukan identitasnya sehingga dapat memperoleh paspor atas nama Hendro Leonardi. Sementara itu, Hendra ditemukan saat memperpanjang paspor atas nama Endang Rifai di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, mengatakan, pemalsuan paspor yang digunakan Adelin Lis dan Hendra Subrata tidak bisa dilihat kasus per kasus. Berulangnya modus yang dilakukan buronan harus menjadi evaluasi untuk membenahi sistem pembuatan paspor secara komprehensif.
Gabriel menduga, ada keterlibatan pihak yang memahami sistem pembuatan paspor untuk membantu memalsukannya. Pihak yang dimaksud diduga memahami cara kerja sistem dan kelemahannya.
”Menariknya, pemalsuan tidak dilakukan sembarang orang, tetapi oleh mereka yang high profile. Artinya, ada sindikat yang bisa saja (terbentuk secara) situasional atau sistematis. Sudah ada cara kerja seperti ini oleh pihak tertentu, dan itu tidak pernah ditindak sehingga praktik serupa akan terus berulang,” kata Gabriel saat dihubungi dari Jakarta, Senin (28/6/2021).
Selain itu, Gabriel menilai, sistem pengelola data kependudukan juga masih lemah. Berkaca dari Pemilu 2019, masih banyak ditemukan data ganda pemilih. Oleh karena itu, tidak heran jika dokumen kependudukan yang menjadi basis pembuatan paspor pun masih bisa diakali.
Ia mengusulkan agar Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri serta kepolisian membentuk tim investigasi bersama untuk mendiagnosis kelemahan sistem pembuatan dokumen kependudukan dan paspor. Selanjutnya juga perlu ada sinergitas untuk mengintegrasikan data dan sistem antarlembaga agar permasalahan yang sama di kemudian hari bisa ditangani dengan cepat.
Data penduduk yang saat ini ada perlu diintegrasikan dengan data buronan, kasus korupsi, pembunuhan, dan kejahatan internasional. ”(Integrasi data dan sistem) ini harus ada percepatan. Kalau tidak, kasus-kasus seperti ini (Adelin Lis dan Hendra Subrata) akan terus terjadi,” ujar Gabriel.
Hal senada diungkapkan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan. Ia menduga, paspor yang digunakan Adelin dan Hendra adalah asli, tetapi datanya palsu.
”Kita menduga pembuatan paspornya benar. Paspor tidak mungkin keluar tanpa ada dokumen kependudukan. Kalau ada dokumen kependudukan, itu berarti palsu. Apakah ada yang memalsukan atau melibatkan orang dalam?” ujar Pohan.
Ia mempertanyakan, jika memang dokumen untuk pembuatan paspor tersebut palsu, mengapa bisa tidak terdeteksi ketika membuat paspor. Pohan berharap, hal tersebut ditelusuri oleh aparat penegak hukum.
Pohan mendorong lembaga penegak hukum proaktif mendalami kasus ini. Mereka harus melakukan penyelidikan. Di sisi lain, instansi terkait, seperti Ditjen Imigrasi dan Ditjen Dukcapil, bekerja sama dengan aparat penegak hukum agar hal serupa tidak terjadi lagi.
Ia menduga kasus serupa tidak hanya terjadi pada Adelin dan Hendra. Menurut Pohan, kepemilikan paspor dengan data palsu atau mempunyai paspor lebih dari satu sangat berbahaya karena bisa digunakan untuk tindak pidana.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Andi Rian R Djajadi mengatakan, perkembangan pengusutan paspor palsu Adelin Lis semestinya ditanyakan pada Direktorat Jenderal Imigrasi. Begitu juga mengenai persoalan tidak berbalasnya tiga surat Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) Singapura yang meminta klarifikasi identitas Adelin pada otoritas keimigrasian di KBRI Singapura.
Ia menambahkan, sampai saat ini paspor atas nama Hendro Leonardi yang digunakan Adelin masih disimpan di KBRI Singapura dengan pengamanan Atase Kepolisian RI di Singapura. ”Sampai hari ini penyidik belum menerima surat P.21 dari jaksa penuntut umum. Kalau sudah diterima, tentu penyidik akan koordinasi terkait waktu dan teknis pelimpahan tersangka dan barang bukti,” kata Andi.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arya Pradhana Anggakara tidak merespons ketika ditanya terkait dengan perkembangan pengusutan paspor Adelin yang saat ini masih diamankan oleh Atase Kepolisian RI di Singapura.
Sementara itu, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengaku saat ini masih dilakukan pendalaman terhadap penerbitan dokumen-dokumen atas nama Hendro Leonardi yang digunakan Adelin dan Endang Rifai yang digunakan Hendra Subrata untuk membuat paspor selama menjadi buronan.