Menanti Bukti Suara Rakyat Tak Sekadar Pelengkap dalam Pembahasan RKUHP
Pemerintah dan DPR telah sepakat membahas kembali RKUHP pada 2021 ini. Kedua lembaga pembuat UU itu berjanji membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi publik dalam pembahasan RKUHP.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej memberikan sambutan dalam acara sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Penyerapan aspirasi publik dalam pembuatan regulasi di Tanah Air belakangan ini menjadi ungkapan yang problematik. Di satu sisi janji penyerapan aspirasi publik itu menumbuhkan harapan, tetapi di sisi lain juga mengingatkan akan praktik yang berkebalikan dari yang dijanjikan.
Beberapa UU yang diputus ”kilat” masih hangat di ingatan publik, mulai dari UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU MK. Beberapa prosedur dalam pembahasan UU itu dipandang mengabaikan aspirasi publik, terlebih ketika situasi pandemi Covid-19 sangat tidak ideal untuk menyerap aspirasi publik seluas-luasnya. Pembatasan waktu rapat serta pembatasan jumlah orang yang dilibatkan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di gedung DPR menjadi salah satu faktor yang tak dapat diabaikan dari pembentukan regulasi di era pandemi.
Apa yang terjadi sepanjang 2020-2021 menguatkan laporan Freedom House (2020) yang menunjukkan bahwa pandemi acap kali dimanfaatkan oleh rezim untuk melakukan tindakan-tindakan otoriter dengan dalih pandemi. Hal ini tidak khusus terjadi di Indonesia karena penurunan kualitas demokrasi terjadi merata di hampir semua negara. India, misalnya, karena kebijakan penguncian (lockdown) yang ketat di awal 2020 berujung pada kekerasan aparat keamanan kepada warganya. India menjadi salah satu contoh bergesernya rezim demokratis menjadi ”kurang demokratis” dengan pandemi menjadi faktornya.
Gejala konsolidasi kekuatan pemerintahan juga dirasakan di Indonesia selama pandemi. Dalam satu titik, hal itu dapat dipahami sebagai upaya untuk menguatkan pemerintahan dalam menjalankan komando menghadapi krisis. Di titik lain, hal itu dipandang secara berbeda ketika dalam beberapa pembuatan kebijakan, kritisi publik dipandang angin lalu, dan ketika aspirasi tidak mungkin dilakukan dengan leluasa, legislasi krusial berisi ribuan pasal dan menyangkut berbagai kluster disahkan hanya dalam hitungan bulan.
Baca juga : Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja

Ribuan buruh dan mahasiswa berunjuk rasa memperingati Hari Sumpah Pemuda di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (28/10/2019). Mereka menuntut revisi UU KPK dan menolak RUU KUHP. Demonstrasi berjalan tertib.
Dalam konteks pandemi yang masih membelit negeri dan penyaluran aspirasi sulit dilakukan dengan maksimal, pemerintah dalam waktu dekat ini akan mengusulkan revisi Kitab Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Keinginan untuk segera memiliki kitab pidana yang berwatak Indonesia dan lepas dari sisi-sisi kolonialis adalah suatu harapan yang sangat baik. Upaya menuju ke arah sana telah dirintis oleh para begawan hukum pidana Indonesia sejak 1960-an.
RKUHP yang saat ini drafnya masih dimatangkan oleh pemerintah juga merupakan salah satu warisan dari almarhum Profesor Muladi, yang pada 2019 menjadi ketua tim ahli dan penyusun RKUHP bersama-sama, antara lain, Eddy OS Hiariej (kini Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia), dan Enny Nurbaningsih (kini hakim MK).
Pada 2019, harapan untuk memiliki KUHP yang berwatak Indonesia itu sebenarnya tinggal selangkah lagi karena Komisi III DPR telah menyetujui draf RKUHP itu pada tingkat pertama. Seharusnya, RUU itu tinggal dibawa ke paripurna untuk mendapatkan persetujuan tingkat kedua, yang artinya adalah pengesahan. Setelah di paripurna diambil persetujuan, draf itu tinggal menunggu diundangkan di Lembaran Negara yang ditandai dengan pemberian nomor UU.
Belum sampai menuntaskan mekanisme itu, gejolak unjuk rasa besar-besaran terjadi di sejumlah daerah hingga menimbulkan jatuh korban. Narasi penolakan ketika itu, September 2019, boleh jadi masih bercampur dengan aneka kepentingan di tengah konsolidasi kekuatan politik yang belum final pasca-Pemilu 2019. Pada saat bersamaan, RUU KPK disahkan hanya dalam dua pekan.

Ratusan mahasiswa dari sejumlah kampus yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Ciayumajakuning berunjuk rasa di Kantor DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (23/9/2019) siang. Mereka menuntut anggota Dewan setempat menolak revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan sejumlah rancangan peraturan yang dinilai menyimpang.
Tumpang tindih situasi itu membuat tidak mudah membedakan mana pasir dan tanah. Namun, satu persoalan agaknya dapat disimpulkan dari suara yang berkembang, yakni susbtansi RKUHP yang dipandang problematik dan diseminasi informasinya yang tidak sampai kepada publik dengan baik.
Pemerintah dan parlemen sepakat pengesahan RKUHP ditunda dan RUU itu dimasukkan sebagai salah satu RUU carry over (luncuran) bagi parlemen periode berikutnya hasil Pemilu 2019. Waktu penundaan itu disebutkan akan dimanfaatkan untuk sosialisasi dan penyerapan aspirasi publik oleh pemerintah.
Baca juga : Pemerintah Keluarkan RUU KUHP dan Pemasyarakatan Dikeluarkan dari Prolegnas
Kini, hampir dua tahun berlalu, pemerintah ingin kembali memulai pembahasan RKUHP bersama DPR. Sinyal dukungan diberikan oleh DPR. Dalam rapat kerja terakhir Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, 9 Juni 2021, dorongan untuk segera menyelesaikan RKUHP itu bahkan menjadi simpulan rapat pertama. Secara garis besar, DPR tidak berkeberatan dengan draf RKUHP yang kini sedang diperbaiki oleh pemerintah. Bahkan, apa pun isi draf itu, pada dasarnya DPR tidak memiliki keberatan mendasar lantaran draf RKUHP itu pun sudah disetujui, bahkan sejak 2019.
Sesuai ketentuannya, sebuah RUU luncuran tidak perlu dibahas dari awal di DPR. Draf legislasi itu dapat langsung diteruskan pembahasannya dan dapat saja draf yang ada itu langsung diteruskan ke persetujuan tingkat kedua. Namun, apakah itu yang akan terjadi?
Bahas isu krusial
Wamenkumham Eddy OS Hiariej mengatakan akan ada waktu bagi diskusi publik sebelum draf yang sedang disempurnakan itu disahkan. Sesuai target pemerintah, draf itu akan disahkan tahun ini sehingga dari lima bulan waktu yang ada, dua bulan di antaranya, yakni sekitar Agustus-September, akan dijadikan waktu untuk penyerapan aspirasi publik.
”Kami tidak alergi pada masukan publik. Sepanjang 2020, perbaikan pun telah kami lakukan pada draf September 2019 dengan mendengarkan masukan publik dan masyarakat sipil juga. Tetapi, draf terbaru belum tentu kami publikasikan karena itu masih harus mendapatkan persetujuan dari DPR,” ujarnya.

Daftar 14 isu krusial versi pemerintah dalam RKUHP
Pembahasan RKUHP pun akan tetap dilakukan, tetapi pada isu-isu krusial. Pemerintah telah menetapkan 14 isu krusial yang akan dibahas dengan DPR dan dikonsultasikan dengan publik. Sayangnya, tidak semua isu-isu krusial yang ditetapkan oleh pemerintah itu melingkupi semua isu yang menjadi perhatian masyarakat. Isu masuknya living law ke dalam RKUHP tidak termasuk ke dalam 14 isu krusial itu. Ada pula isu demonstrasi yang harus mengajukan pemberitahuan, tetapi tidak termasuk ke dalam 14 isu krusial itu.
Senada dengan Wamenkumham, pimpinan Komisi III DPR pun menyatakan hanya akan membahas isu-isu krusial dalam kelanjutan pembahasan RKUHP. ”Kami hanya membahas pasal-pasal yang krusial dan hasil sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Saya tegaskan lagi bahwa DPR tidak akan membongkar ulang pasal per pasal,” kata Herman Herry, Ketua Komisi III DPR, pekan lalu.
Baca juga : Komisi III DPR Hanya Akan Bahas Pasal-pasal Krusial di RKUHP
Isu-isu krusial apa saja yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR boleh jadi menjadi perdebatan. Sebagai perbandingan, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sedikitnya ada 24 isu krusial yang perlu dibahas mendalam, tidak hanya 14 isu. Kemudian, soal aspirasi publik, bagaimana mekanisme penyerapannya dan apakah akan efektif?
Seperti dikatakan pengajar sosiologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P Wiratraman, ada beberapa pertanyaan kunci terkait hal ini. Pertama, apakah partisipasi yang baik akan melahirkan produk hukum yang baik atau positif pula? Misalnya, lebih melindungi hak asasi manusia, lebih ramah terhadap warga yang seharusnya dilindungi atau dijamin kehidupannya.
Kedua, apakah partisipasi itu mekanisme hukum yang lepas dari kepentingan politik ataukah sangat dipengaruhi kepentingan politik? Jika iya, apakah ini dapat pula dikatakan sekadar formalitas semata serta menjadikan manipulasi dan kooptasi atas nama partisipasi.
Poin pentingnya ialah bagaimana memastikan partisipasi publik itu benar-benar diperkuat, dan bukan sekadar sosialisasi dan hearing. Publik berharap apa yang mereka sampaikan diakomodasi, tidak sekadar didengarkan lalu diabaikan. Untuk memastikan hal itu, pelibatan masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam kegiatan advokasi RKUHP harus dilakukan.
Baca juga : Pembahasan RKUHP Dinilai Belum Libatkan Partisipasi Publik
Jangan sampai pembuatan kebijakan yang mengatasnamakan penyerapan aspirasi publik ternyata menggunakan partisipasi publik itu sebagai prasyarat semata agar tidak disebut otoriter. Jika itu yang terjadi, menurut Herlambang, praktik yang berkembang adalah otokrasi legalisme.

Tim ahli penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyampaikan sosialisasi perubahan rancangan undang-undang, terutama pada 14 isu krusial yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat, di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Ada tiga kunci mendasar yang mendukung kecenderungan itu. Pertama, hal itu melibatkan partai berkuasa, dominasi di legislatif, membuat UU yang melayani kuasa eksekutif. Aspek otokratis itu terkubur di antara klausul yang tampaknya memberdayakan partisipasi warga negara, tetapi klausul yang diserahkan pada eksekutif jauh lebih banyak dan membuat UU begitu otokratis. Kedua, mudahnya terjadi penyalahgunaan hukum atau kesewenang-wenangan di tengah pembentukan hukumnya, ditandai dengan bekerjanya hukum secara tidak konsisten dan bias. Ketiga, penyelenggara kekuasaan justru sesungguhnya tidak sedang menjalankan hukum.
Dari sudut pandang ini, tidak mengejutkan jika akhirnya lahir sejumlah peraturan perundang-undangan yang bertolak belakang dengan suara publik luas. Kini, untuk membuktikan itu semua tidak benar, menjadi tugas pemerintah dan DPR untuk menggalang kepercayaan publik bahwa suara mereka kali ini akan benar-benar didengar dan diserap serta tidak sekadar menjadi pelengkap penderita dari sahnya suatu legislasi.