Riset Mendalam Hindarkan Kebijakan dari Disinformasi
Untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik, pemerintah diharapkan melakukan riset mendalam terkait dengan berbagai informasi yang beredar di lapangan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik, pemerintah diharapkan melakukan riset mendalam terkait dengan berbagai informasi yang beredar di lapangan. Hasil riset itu juga diyakini akan lebih valid karena terhindar dari disinformasi yang banyak beredar.
Pengajar Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan, disinformasi sulit untuk dikendalikan penyebarannya karena datang bersamaan dengan banjir informasi. Untuk memilah dan memastikan mana informasi yang benar sebagai basis dalam pengambilan kebijakan, pemerintah idealnya membuat riset dan kajian mendalam.
”Kalau memang membutuhkan data yang valid, ya harus melakukan riset yang valid juga. Kalau mau mendapatkan kebijakan publik yang memang sesuai dengan kenyataan, riset itu jalan terbaik. Upaya pengecekan data secara saling silang juga dapat dilakukan, antara lain dengan menggunakan data dari BPS ataupun Bappenas,” ujarnya saat dihubungi, Senin (28/6/2021), dari Jakarta.
Cara lain yang dapat menghindarkan pemerintah dari hoaks atau disinformasi ialah dengan melalui kajian media massa yang tepercaya. Upaya memastikan data dan informasi bisa juga dengan melihat apa yang ditulis oleh media massa.
”Pelibatan media massa ini penting dalam memilah mana informasi yang benar dan valid. Pemerintah juga agar tidak langsung percaya dengan yang banyak beredar di media sosial (medsos). Jika memang dari hasil cross-check data itu tidak sesuai, yang harus diubah ialah kebijakannya, bukan datanya,” ucap Hendri.
Tidak hanya berlaku bagi pemerintah, sikap kritis dan kemauan untuk mengecek kebenaran juga seharusnya menjadi pola tindakan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak terjerumus pada disinformasi.
Di sisi lain, pemerintah yang juga penyampai informasi harus pula memberikan informasi dengan jelas.
”Informasi yang muncul dari pemerintah jangan malah membuat masyarakat bingung. Contoh terbaru ialah penggunaan obat cacing untuk obat Covid-19. Sebelumnya, BPOM mengatakan, ivermectin adalah obat cacing. Tetapi, kemudian BPOM mengatakan, obat itu dapat juga digunakan sebagai obat mengatasi Covid-19. Ini, kan, membuat publik bingung, sebenarnya itu obat apa. Hal-hal seperti ini, kan, menimbulkan keraguan,” ujarnya.
Peran media massa sebagai pemilah informasi, menurut anggota Dewas Pers, Agus Sudibyo, sudah selayaknya mendapatkan perhatian manakala pemerintah mengalami keraguan ketika membuat suatu kebijakan publik. Pemerintah tidak perlu ragu dalam membuat suatu kebijakan publik sepanjang mereka memang memutuskan sesuatu berdasarkan hasil kajian serta informasi yang valid.
”Salah satu cara paling mudah ialah dengan melakukan kajian analisis pemberitaan dari media massa arus utama. Karena media massa itu bekerja berdasarkan metodologi yang jelas,” katanya.
Kajian atau analisis isi terhadap pemberitaan media massa, lanjut Agus, setidaknya memberikan pandangan bagi pemerintah apa sebenarnya yang menjadi perhatian publik dan hal-hal apa yang mesti diperhatikan.
Disinformasi atau hoaks pun sebaiknya tidak direspons secara berlebihan. Tidak semua orang mengonsumsi media sosial, dan selama ini, lanjut Agus, belum ada hasil kajian yang menunjukkan informasi yang diperoleh dari medsos itu lebih dipercaya publik daripada informasi dari media massa arus utama.