Memperkuat literasi digital dan membangun komunikasi publik yang tepercaya dan lengkap dinilai lebih baik dalam menangkal hoaks daripada membuat pasal pidana baru di UU ITE yang justru rentan jadi pasal karet baru.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga melintasi mural yang dibuat untuk melawan penyebaran informasi palsu atau hoaks di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Senin (22/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Banjir informasi yang melanda dunia berdampak pada maraknya penyebaran berita bohong. Masyarakat membutuhkan peningkatan literasi digital agar tidak menerima dan memercayainya begitu saja.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, mengatakan, banjir informasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari perkembangan era digital yang semakin pesat. Jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2021 pun mencapai 202,6 juta orang atau 73,7 persen dari total penduduk. Sebanyak 170 juta orang atau 61,8 persen dari total penduduk adalah pengguna media sosial.
Di tengah kondisi tersebut, lanjutnya, masyarakat membutuhkan literasi digital. Tanpa pembekalan literasi digital, informasi akan mudah diterima dan diyakini kebenarannya. Padahal, salah satu dampak banjir informasi adalah maraknya hoaks atau berita bohong.
”Literasi digital perlu untuk ditingkatkan karena akan membantu masyarakat dalam menyaring informasi yang diterima. Menjadi tugas pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk secara berkesinambungan memberikan pendidikan literasi digital kepada masyarakat,” kata Christina saat dihubungi dari Jakarta, Senin (28/6/2021).
Menurut Christina, pers juga berperan penting dalam menangkal berita bohong. Media massa yang tetap memproduksi dan mendistribusikan informasi dengan standar jurnalisme profesional bisa menjadi penuntun bagi masyarakat agar tidak terpapar informasi menyesatkan. Masyarakat juga dapat mengidentifikasi berita yang benar di tengah banjir informasi.
Oleh karena itu, ia mengajak institusi pers untuk tetap bekerja sesuai etika.
”Cek fakta sebelum menyajikan berita bisa diupayakan secara lebih serius untuk menangkal berita bohong yang beredar sembari tetap konsisten menghadirkan informasi yang bermutu untuk masyarakat,” kata Christina.
Ancaman pidana
Untuk menangkal hoaks, pemerintah juga berupaya mengaturnya dalam undang-undang, yaitu dengan mengusulkan penambahan Pasal 45C dalam draf revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tengah disusun.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD (tengah) didampingi jajaran kementerian dan lembaga lain menyampaikan hasil rekomendasi Tim Kajian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di kantor Kemenko Polhukam, Kamis (29/4/2021).
Ketua Tim Kajian UU ITE Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sugeng Purnomo menjelaskan, dalam usulan rumusan Pasal 45C yang diajukan, Ayat (1) menyebutkan bahwa orang yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan melalui sarana elektronik dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.
Adapun Ayat (2) diatur tentang orang yang dengan sengaja, tanpa hak menyebarluaskan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan tidak pasti, berkelebihan, atau tidak lengkap, sedangkan ia patut menyangka bahwa hal itu dapat menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan secara elektronik diancam pidana maksimal empat tahun penjara dan denda maksimal Rp 4 miliar. ”Keonaran yang dimaksud adalah keonaran di ruang fisik, bukan onar di ruang digital,” kata Sugeng.
Ia menambahkan, Pasal 45C dirujuk dari luar ketentuan UU ITE, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Pasal 14 mengatur tentang orang yang menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat maupun menyiarkan pemberitahuan yang dapat memicu keonaran, sedangkan dia mengetahu bahwa berita itu bohong.
Pasal 15 mengatur tentang kabar yang tidak pasti, kabar yang berkelebihan, tidak lengkap, sedangkan penyebar mengerti bahwa dapat menyebabkan keonaran. Ancaman hukuman untuk pelanggaran pasal itu maksimal dua sampai sepuluh tahun penjara.
Maraknya berita bohong (hoaks) di media sosial menjadi keprihatinan warga yang dituangkan melalui mural di kolong jembatan di kawasan Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (20/6/2021).
Sugeng menambahkan, pasal baru itu dimasukkan dalam usulan karena maraknya penyebaran berita bohong di ruang digital. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengatur lebih rinci di revisi UU ITE.
Ia menegaskan, pasal itu tidak ditujukan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Pasal dimasukkan untuk mengatur bahwa pendapat atau informasi elektronik yang disampaikan tidak bermuatan berita bohong dan tidak menimbulkan keonaran.
Koalisi masyarakat sipil juga masih bisa menyampaikan kritik dan aspirasi ke Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Hukum dan HAM. Sebab, saat ini draf tengah diproses di kedua kementerian tersebut.
”Rekomendasi dari tim kajian UU ITE itu bukan harga mati, masih bisa berubah karena sifatnya baru usulan revisi. Untuk menjadi UU, prosesnya masih panjang sehingga masukan dari koalisi masyarakat sipil bisa diserap,” kata Sugeng.
ARSIP MAFINDO
Proporsi lokasi penyebaran hoaks, berdasarkan temuan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) untuk tahun 2019. Facebook menyumbang 718 atau 68,9 persen dari total hoaks yang mencapai 1.042 hoaks.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil Serius UU ITE telah menemui Menko Polhukam Mahfud MD untuk menyampaikan pandangan tentang beberapa poin draf revisi UU ITE. Beberapa di antaranya dinilai masih bermasalah, termasuk Pasal 45C.
Koalisi meminta pasal tersebut tidak dimasukkan dalam UU ITE karena rentan disalahgunakan. Definisi berita bohong yang menimbulkan keonaran juga berpotensi multitafsir.
”Masuknya Pasal 45C sangat bertentangan dengan harapan publik soal dihapusnya pasal-pasal bermasalah UU ITE. Jika pasal ini tetap dimasukkan, akan berpotensi pelanggaran hukum apabila praktiknya tidak dapat diterapkan secara tebang pilih,” kata Nenden.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, alih-alih memidanakan, pemerintah semestinya mengembangkan rencana aksi nasional yang komprehensif untuk menangkal berita bohong. Model yang dimaksud adalah dari literasi digital yang melibatkan semua aspek masyarakat. Aturannya dibuat dalam peraturan presiden (perpres), tidak perlu dimasukkan dalam undang-undang.
Menurut Wahyudi, pemidanaan untuk menangkal berita bohong di usulan Pasal 45C pun sebaiknya dihapus. ”Pemidanaan itu, kan, sifatnya limitatif, dia membatasi. Ini yang kemudian sering kali memunculkan pembatasan terhadap kebebasan masyarakat sipil,” katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, antisipasi hoaks tidak bisa dilakukan dengan ancaman pidana. Hal itu bertentangan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
”Antisipasi penyebaran hoaks sebaiknya dilakukan dengan upaya membangun komunikasi dan informasi publik yang tepercaya dan komprehensif karena ini tugas pemerintah sebagai penyelenggara negara,” ujarnya.
Usman menambahkan, informasi yang terbuka akan bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan kehati-hatian publik dalam menyaring kabar yang beredar. Sementara itu, informasi yang tertutup akan memberikan sinyal dan arah yang keliru, bahkan menurunkan kewaspadaan masyarakat terhadap hoaks yang beredar.