Eksaminasi Penting untuk Ungkap Kejanggalan Putusan Pinangki
Eksaminasi terhadap putusan pengadilan untuk Pinangki dinilai penting. Selain mengungkap kemungkinan adanya kejanggalan dalam peradilan, hasil eksaminasi juga bisa menjadi dasar pertimbangan putusan kasasi.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah akademisi dan pegiat antikorupsi sepakat mengenai pentingnya eksaminasi putusan pengadilan terhadap Pinangki Sirna Malasari, baik putusan di tingkat pertama maupun banding. Ini penting untuk memberikan rekomendasi yang bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim pada putusan berikutnya, terutama jika jaksa mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Eksaminasi juga bisa digunakan sebagai pertimbangan pada kasus-kasus serupa yang terjadi di kemudian hari. Selain itu, eksaminasi juga penting untuk menemukan kejanggalan-kejanggalan di dalam putusan hakim. Sebab, putusan dapat menjadi ruang gelap atau area gelap yang dapat dipermainkan.
”Eksaminasi putusan Pengadilan Tipikor untuk melihat apakah ada yang keliru. Kalau tidak ada yang janggal dengan putusan pengadilan tingkat pertama, maka ketika di Pengadilan Tinggi muncul sesuatu yang aneh, patut diduga pasti ada sesuatu yang tidak betul. Waktu seleksi hakim agung pada 2011-2015, saya selalu menanyakan kepada calon, apakah hakim bisa menyembunyikan kepentingan-kepentingan tidak profesional di dalam putusan, seperti di dalam pertimbangan. Dijawab dengan tegas, iya. Dan jawaban itu diberikan bukan dari satu calon hakim agung,” ujar mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dalam diskusi ”Menyoal Putusan Jaksa Pinangki: Jalan Mundur Pemberantasan Korupsi”, Minggu (27/6/2021). Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Selain Suparman, hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang digelar secara daring itu adalah pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Nefa Claudia Meliala; Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu; dan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Dalam diskusi tersebut, semua pembicara sepakat perlunya eksaminasi putusan terhadap jaksa Pinangki. ”ICW akan mengeksaminasi putusan Pengadilan Tipikor dan PT DKI Jakarta,” ujar Kurnia.
Seperti diketahui, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengorting hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Salah satu pertimbangannya, karena Pinangki adalah perempuan dan ibu dari seorang anak balita.
Sementara Erasmus mencoba melihat kasus Pinangki dari sisi lain, yakni keadilan jender dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Seperti diketahui, hukum pidana dan konsep pemenjaraan kita sangat maskulin. Semua dibangun dengan konsep bahwa yang dapat melakukan tindak pidana adalah laki-laki, sementara perempuan adalah korban.
Namun, pada beberapa tahun belakangan, ada tren kenaikan jumlah perempuan penghuni penjara. Ini menjadi tren global pada 2000-2017, ada peningkatan 53 persen penghuni penjara perempuan. Sementara pemenjaraan laki-laki meningkat 20 persen. Indonesia termasuk dalam peningkatan paling tinggi bersama Kamboja dengan jumlah kenaikan enam kali lipat sejak tahun 2000. Menurut data World Female Prison List 2017, Indonesia menduduki peringkat ke-9 populasi perempuan terbanyak dalam penjara.
Khusus di Indonesia, kenaikan jumlah perempuan dalam penjara naik setelah implementasi UU Narkotika tahun 2009. Dari 2011 hingga 2019, ada kenaikan jumlah penghuni perempuan 158 persen dari 4.230 orang menjadi 10.907 orang.
Menurut Erasmus, peran perempuan dalam kejahatan ini, misalnya dalam kejahatan narkotika, adalah perempuan tidak pernah dalam posisi sentral kejahatan. Ia dalam posisi pendukung tindak pidana. Dalam perkembangannya, sistem hukum pidana lebih responsif dengan kebutuhan perempuan mengingat perempuan merupakan primer care giver atau pengasuh anak yang utama.
”Kalau saya ditanya mengenai pertimbangan dalam kasus ini (Pinangki), saya akan bilang bahwa niatnya baik. Tidak ada yang akan bilang bahwa niatnya buruk. Namun, itu menjadi aneh karena pertimbangan itu ditempelkan dalam suatu kasus yang sebenarnya menimbulkan tanda tanya dari awal. Pertama, dalam penanganannya. Dalam kasus narkotika, posisi perempuan itu support. Dia enggak penting-penting amat dalam kasus ini. Kasus Pinangki berbeda. Dia core-nya. Kalau lihat dakwaannya, dia ini core-nya. Dia yang datang nyamperin (ke Kuala Lumpur), dia yang rapat dan lain-lain. Dia enggak dalam posisi support,” ujar Erasmus.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, pertimbangan keadilan jender tidak tepat diberikan kepada Pinangki. Pertimbangan itu seharusnya diberikan kepada perempuan-perempuan yang dalam perannya dalam kejahatan tidak sebagai pelaku utama. Terkait dengan hal itu, menurut dia, banyak hal yang harus dijawab hakim ketika mempertimbangkan keadilan jender.
Salah penanganan
Suparman mengungkapkan, sejak awal, kasus Pinangki salah penanganan. Ada konflik kepentingan yang sedemikian besar jika kasus itu ditangani kejaksaan. Seharusnya, kasus tersebut ditangani oleh institusi yang lebih independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hal ini diamini Kurnia Ramadhana. Banyak hal janggal di dalam kasus tersebut. Ia mengingatkan tentang pernyataan dari Persatuan Jaksa yang akan memberi bantuan hukum untuk Pinangki. Padahal, perbuatan Pinangki jelas-jelas menampar citra kejaksaan.
Seperti diketahui, jaksa mendakwa Pinangki menerima suap dari buron kasus hak tagih piutang (cessie) Bank Bali, Joko S Tjandra. Ia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dan melakukan pemufakatan jahat untuk meloloskan Joko Tjandra dari hukuman dua tahun penjara yang harus dijalani berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2008.
Selain itu, Kurnia juga menyoroti terbitnya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan, dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana yang dikeluarkan pada 6 Agustus 2020. Meskipun akhirnya Pedoman No 7/2020 dicabut pada 11 Agustus 2020 karena menimbulkan kontroversi, ia mencatatnya sebagai sebuah kejanggalan. Selain itu, ketertutupan akses terhadap Komisi Kejaksaan saat hendak memeriksa Pinangki. Ada resistensi dari Kejaksaan Agung.
Ia menyoroti pula adanya beberapa kejadian yang tidak terbongkar dalam kejadian ini. Misalnya, bukti komunikasi antara Pinangki dan pengacara Anita Kolopaking yang memuat dua diksi, yaitu ”bapakku” dan ”bapakmu”. Hingga kini, menurut Kurnia, sebutan bapakku dan bapakmu tersebut tidak terjawab merujuk kepada siapa. Ia pesimistis kasus tersebut dapat terkuak hingga tuntas.